Table Of ContentJURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 16, NOMOR 2, OKTOBER 2015, 74-91
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?”:
GENDER DISCRIMINATION AGAINST RELAPSED EX-SEX
WORKERS
Resna Anggria Putri
1
Johanna Debora Imelda
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai subordinasi dan marginalisasi
yang dihadapi oleh mantan pekerja seksual komersial (PSK) di Kabupaten Indramayu.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui observasi dan wawancara mendalam
(in-depth interview) yang dilakukan secara intensif terhadap 5 (lima) studi kasus menarik di
mana data yang terkumpul ditriangulasi dengan beberapa informan kunci lainnya untuk
menjada validitas dan realibilitas data. Hasil penelitian menunjukan adanya gender
discrimination dalam bentuk sub-ordinasi dan marginalisasi di bidang pendidikan dan
pekerjaan pada kurun waktu yang berbeda, sebelum dan sesudah mereka terjerumus dan bekerja
sebagai PSK, yang kemudian menyebabkan mereka terpaksa kembali bekerja sebagai PSK tanpa
ada pilihan lain untuk mendapatkan peker-jaan yang lebih normatif.
ABSTRACT
This study aims at describing the subordination and marginalization of ex-commercial sex workers in
Indramayu District. This qualitative research was conducted through in-depth interview and ob-
servation on 5 (five) interesting case studies whose data, then, was triangulated to ensure the valid-ity
and reliability of the data. The results of the study showed that there were gender discrimination in the
form of subordination and marginalization in education and employment which are applied at
different periods, i.e.: before and after they worked as prostitutes. Hence, it is then caused them
relapse working as prostitutes without any other opportunity to get more normative jobs.
KEY WORDS: Marginalization, commercial sex workers, women, prostitution, subordination.
1 Alumni Program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia
2 Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia
74
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?” (RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA)
PENDAHULUAN an perempuan di Indonesia masih tergolong
rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.
Dengan jumlah yang hampir separuh dari
Budaya patriarki yang berkembang di dalam
total penduduk, peran perempuan dalam
masyarakat menumbuhkan gender discrimi-
pembangunan bangsa Indonesia sangat besar
nation yang menempatkan kaum perempuan
dan merupakan aset bangsa yang potensial
pada posisi subordinat (subordinasi), termar-
dan kontributor yang signifikan dalam pem-
ginal (marginalisasi), dan terdiskriminasi
bangunan bangsa sebagai agen perubahan
(diskriminasi) menyebabkan perempuan di-
(Jajuli, 2012). Sayangnya, posisi mereka ti-
anggap lebih rentan mengalami kemiskinan
dak menguntungkan karena tingginya ang-
dibandingkan laki-laki (Arjani 2007, hal. 10;
ka perempuan yang mengalami kemiskinan.
Moghadam, 2005, hal.2-7).
Data Badan Pusat Statistik Republik Indone-
Faktor-faktor tersebut menyebabkan ba-
sia pada tahun 2008 dalam Curumur (2009,
nyak perempuan yang tidak memiliki hu-man
hal. 138) menunjukkan bahwa 70% dari
capital yang cukup untuk hidup layak; tidak
jumlah penduduk miskin di Indonesia yang
memiliki pendidikan dan ketrampilan yang
mencapai 34,96 juta jiwa adalah perempuan.
cukup untuk mendapatkan pekerjaan dengan
Apalagi kenyataannya mereka yang bekerja
penghasilan yang memadai; terpaksa
pun kebanyakan masih ditempatkan di posisi
terjerumus dalam pekerjaan yang tidak nor-
yang lebih rendah dibandingkan dengan re-
matif seperti menjadi pekerja seks komersi-al
kan lelaki mereka. Sari (2005) menyatakan
(PSK). PSK yang biasanya merujuk pada
bahwa sejumlah 89,25% tenaga kerja perem-
pelacur perempuan adalah perempuan yang
puan di Indonesia bekerja di sektor informal
menggunakan atau menjajakan tubuhnya
dengan pendapatan rendah.
untuk memperoleh keuntungan berupa uang
Selain pekerjaan, rendahnya pendidikan
atau barang (Soedjono, 1977, hal. 17). Menu-
merupakan salah satu faktor yang menyebab-
rut studi yang dilakukan oleh International
kan perempuan Indonesia menjadi miskin.
Labour Organization (1998, hal. 47) terhadap
Data yang diperoleh dari Survei Sosial Eko-
50 PSK di Indramayu, sebanyak 46% PSK
nomi Nasional (2010) menunjukkan sebesar
terjun ke dunia prostitusi karena kemiskin-an
9,20% perempuan dari penduduk di Indonesia
(faktor ekonomi), 28% di antara mereka terjun
yang berusia di atas sepuluh tahun mengalami
ke dunia prostitusi karena rendahnya
buta huruf pada tahun 2009 dan 8,47% pada
pendidikan, serta sebanyak 26% disebabkan
tahun 2010. Sedangkan, data yang sama me-
karena faktor sosial dan budaya. Hingga saat
nunjukkan bahwa laki-laki yang mengalami
ini, belum ada informasi yang pasti mengenai
buta huruf hanya 3,88% pada tahun 2009 dan
jumlah PSK di Indonesia karena banyaknya
4,19% pada tahun 2010. Selain itu, sebanyak
PSK yang tidak terdata. Namun, berdasarkan
9,41% perempuan berusia sepuluh tahun ke
estimasi Kementerian Kesehatan pada tahun
atas tidak atau belum pernah sekolah pada ta-
2012, jumlah PSK di Indonesia tergolong
hun 2009 (Survei Sosial Ekonomi Nasional,
tinggi, yaitu diperkirakan mencapai 230.000
2009-2010). Data tersebut pun memperlihat-
orang (Febrida, 2012). Selain itu, data Uni-ted
kan bahwa hanya 3,84% laki-laki yang tidak
Nations Developement Program (UNDP) pada
atau belum pernah sekolah pada tahun 2009.
tahun 2003 pun menunjukkan bahwa di
Hal itu merupakan bukti bahwa pendidik-
75
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 16, NOMOR 2, OKTOBER 2015, 74-91
Indonesia terdapat 190.000-270.000 pekerja Padahal, pada saat melakukan pekerjaan ter-
seks komersial yang sebagian besar merupa- sebut, mereka mendapatkan upah yang ren-
kan perempuan dalam usia produktif (Supri- dah, perlindungan yang minim, pekerjaan
adi, 2008). yang melelahkan; berjam-jam dan hampir
Permasalahannya adalah perempuan yang tidak ada hari libur; serta sering diperlaku-
bekerja sebagai PSK rentan mengalami keke- kan kasar dan buruk. Akhirnya, mereka
rasan, baik secara verbal, psikis, maupun fi- lebih memilih untuk bekerja sebagai PSK di
sik, dan juga rentan tertular penyakit menular panti pijat atau klub malam.
seksual. Aditya (2012) menyatakan bahwa Penelitian ini dilakukan di Indramayu,
PSK sering kali mengalami kekerasan yang khususnya Kabupaten Indramayu, yang ter-
dilakukan oleh oknum Satuan Polisi Pamong kenal sebagai salah satu pemasok pekerja seks
Praja dan pelanggan, seperti pemukulan, ni-lai komersial di Indonesia. Berdasarkan studi
transaksi yang tidak disepakati, hingga yang dilakukan di Kramat Tunggak, le-bih dari
ancaman. Lebih jauh, Aditya menganggap separuh pekerja seks komersial yang bekerja
bahwa PSK harus menerima stigma negatif di sana berasal dari Indramayu. Letak
dan sanksi sosial yang diberikan masyara-kat geografis sebagian daerah Kabupaten Indra-
kepada mereka. Selain rentan mengalami mayu yang dilalui jalur yang dikenal sebagai
kekerasan, PSK pun rentan terjangkit HIV/ Jalur Pantura (Pantai Utara) turut mempe-
AIDS. Data yang diperoleh Cirebon News dari ngaruhi tingginya prostitusi di daerah terse-
wawancara dengan Sekretaris Komisi but. Selain itu, masalah kemiskinan, rendah-
Penanggulangan AIDS Kabupaten Cirebon, nya pendidikan, perjodohan yang dilakukan
sebanyak 68% dari mereka mengidap penya- orang tua terhadap anaknya di usia muda, dan
kit tersebut. Bahkan, menurutnya, PSK men- tingginya angka perceraian banyak terjadi di
duduki tingkatan tertinggi dalam penularan Kabupaten Indramayu. Penelitian lapangan
HIV/AIDS (Cirebon News, 2011). yang dilakukan pada tahun 1991 dan 1994 di
Yang sangat mengejutkan adalah bahwa Indramayu memperlihatkan bahwa perempu-
tidak sedikit mantan PSK yang kembali ter-jun an yang bercerai lebih rentan untuk terjun ke
ke dunia prostitusi. Data menunjukkan bahwa dunia prostitusi (International Labour Orga-
sekitar 80% mantan PSK yang bera-sal dari nization, 1998, hal. 47-49). Selain itu, selama
beberapa wilayah di Jawa Barat yang peneliti melakukan penelitian, terlihat bahwa
dimasukkan ke Badan Rehabilitasi Sosial terdapat nilai-nilai yang cenderung patriarkis
Karya Wanita (BRSKW) di Cirebon untuk dalam masyarakat di Kabupaten Indramayu.
diberikan pembinaan dan pelatihan sela-lu Kebanyakan, perempuan bekerja sebagai ibu
kembali menjajakan diri karena berbagai rumah tangga dan mengasuh anak di rumah.
alasan (Setianingsih, 2011). Menurut Hey-zer Sedangkan, laki-laki, sebagai kepala rumah
(1986, hal. 62), banyaknya perempuan yang tangga, bekerja di luar rumah.
kembali menjadi PSK, disebabkan ka-rena Artikel ini akan membahas bagaimana
adanya pendekatan tradisional di mana gender discrimination dalam bentuk sub-
perempuan-perempuan tersebut dianggap ordinasi dan marginalisasi, terutama di bi-
hanya bisa melakukan pekerjaan di ranah dang pendidikan dan pekerjaan, dihadapi
domestik, seperti pembantu rumah tangga. oleh mantan PSK dalam kehidupan mereka
76
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?” (RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA)
membuat mereka terpaksa kembali bekerja an lain peneliti menggunakan studi kasus
sebagai PSK. Diskriminasi tersebut dialami adalah peneliti akan menggunakan lebih dari
dan disosialisasikan jauh sebelum mereka satu informan yang merupakan pekerja seks
terjerumus dalam dunia prostitusi dan bahkan komersial dalam usia produktif dan memper-
menjerat mereka sedemikian rupa sehingga hatikan sumber-sumber bukti lainnya, seperti
menyulitkan mereka untuk mendapatkan pe- keluarga atau teman dekat informan.
kerjaan yang lebih normative sehingga ter-
paksa harus kembali menjerumuskan diri di 2. Teknik Pengumpulan Data
pekerjaan yang sama sebagai PSK. Creswell (2010, hal. 266-270) menyata-kan
bahwa dalam penelitian kualitatif, pe-
METODE
ngumpulan data dapat dilakukan melalui
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian wawancara, observasi, dokumen kualitatif, dan
materi audio visual. Akan tetapi, per-lu
Penelitian ini menggunakan pendekat-an
diperhatikan bahwa fokus penelitian ini
kualitatif di mana peneliti harus menjadi
merupakan masalah yang cukup sensitif di
instrumen utama dalam penelitian di mana
Indonesia karena masih terdapat stigma ne-
peneliti mengumpulkan sendiri data melalui
gatif terhadap PSK dalam masyarakat. Oleh
interaksi langsung terhadap informan dengan
karena itu, peneliti harus mempertimbangkan
menggunakan pandangan-pandangan menye-
secara matang teknik yang akan digunakan
luruh (holistik) yang subjektif dan beragam
dalam mengumpulkan data dalam penelitian
terhadap situasi yang dihadapi PSK.
ini. Peneliti haruslah menghargai para par-
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini
tisipan dan tempat yang akan diteliti karena
adalah studi kasus (case study). Stake dalam
banyak masalah etis yang mungkin muncul
Creswell (2010, hal. 20) menganggap bahwa
selama tahap pengumpulan data.
“studi kasus menekankan pada eks-plorasi
Teknik yang dilakukan untuk mengum-
proses atau aktivitas-aktivitas yang terjadi
pulkan data dalam penelitian ini adalah ob-
secara spesifik pada lembaga, kelom-pok, atau
servasi, yaitu melihat perilaku dan aktivitas
individu tertentu”. Lebih jauh, Yin (1989)
partisipan di lokasi penelitian, kemudian
menekankan bahwa penggunaan mul-ti
mencatatnya. Observasi tersebut dilakukan
sumber bukti merupakan salah satu prin-sip
sebelum dan pada saat penelitian. Observasi
penting pengumpulan data dalam studi kasus.
yang dilakukan sebelum penelitian
Studi kasus dipilih mengingat pene-liti ingin
dilakukan untuk mendapatkan gambaran
menitikberatkan penelitian ini pada
awal menge-nai kondisi serta permasalahan
identifikasi bagaimana gender discrimination
yang berada di lokasi penelitian. Sedangkan,
yang secara spesifik terjadi pada kelompok
observasi yang dilakukan pada saat
tertentu, yaitu pekerja seks komersial. Oleh
penelitian dilaku-kan bersamaan dengan
karena itu, penggunaan strategi ini pun akan
wawancara menda-lam dan triangulasi.
menentukan pertanyaan penelitian yang di-
Selain observasi, teknik lain yang dilaku-
ajukan. Karena studi kasus bertujuan untuk
kan adalah wawancara mendalam. Menurut
melihat proses, maka pertanyaan penelitian
peneliti, dalam penelitian ini, teknik yang
berawal dari pertanyaan “bagaimana”. Alas-
paling cocok digunakan untuk memperoleh
77
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 16, NOMOR 2, OKTOBER 2015, 74-91
gambaran mengenai gender discrimination penduduk di Kabupaten Indramayu menganut
yang terjadi pada PSK dalam usia produktif agama Islam yang taat dan cenderung kon-
ialah wawancara mendalam dengan infor- servatif, yaitu sebanyak 1.676.373 orang atau
man. Melalui wawancara secara langsung, 99% dari total penduduk (Laporan Data Pen-
peneliti mendapatkan data mengenai cara duduk Kabupaten Indramayu Berdasarkan
pandang, perasaan, dan persepsi PSK dalam Agama, 2010) yang mana telah mempenga-
usia produktif yang menggambarkan gender ruhi nilai-nilai yang terdapat dalam masya-
discrimination yang terjadi pada mereka se- rakat. Siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) wajib
cara mendalam. untuk masuk madrasah pada siang hingga sore
hari selepas sekolah formal. Kemudian,
3. Lokasi Penelitian biasanya mereka mengaji setelah pulang dari
madrasah. Namun, menariknya, selain diang-
Peneliti melakukan penelitian di sa-lah satu
gap negatif dan tabu, prostitusi pun dianggap
kecamatan di Kabupaten Indrama-yu. Dalam
sebagai hal yang wajar. Warung-warung yang
preliminary observation terlihat bahwa
menyediakan jasa prostitusi mudah ditemu-
terdapat nilai-nilai yang cenderung patriarkis
kan di pinggir jalan besar sekali pun. Peker-
dalam masyarakat di Kabupaten Indramayu.
jaan di dunia prostitusi secara informal sudah
Kebanyakan, perempuan beker-ja sebagai ibu
dianggap sebagai salah satu mata pencaha-
rumah tangga dan mengasuh anak di rumah.
rian. Berdasarkan hasil wawancara yang di-
Sedangkan, laki-laki, sebagai kepala rumah
lakukan peneliti, beberapa orang tua bahkan
tangga, bekerja di luar rumah. Kemiskinan
meminta anak perempuannya untuk bekerja
yang terjadi di Kabupaten In-dramayu
sebagai pekerja seks komersial untuk meme-
bukanlah kemiskinan dalam sudut pandang
ekonomi saja, melainkan juga ke-miskinan nuhi kebutuhan keluarga.
kultural, yakni pendekatan nilai budaya dalam
4. Informan
memahami kemiskinan meli-hat bahwa
kemiskinan tidak hanya dikaitkan dengan Dalam penelitian ini, peneliti mengguna-
berapa banyak sumber ekonomi yang dimiliki kan teknik nonprobability sampling, yaitu
seseorang, tetapi juga melihat meng-apa teknik pemilihan informan yang tidak mem-
seseorang gagal mencapai tingkat eko-nomi berikan kesempatan yang sama bagi setiap
yang lebih tinggi. Kemiskinan kultural ini anggota populasi untuk dipilih menjadi in-
terutama dialami oleh kaum perempuan yang forman (Sugiyono, 2011, hal. 125). Teknik
dalam budaya patriarki berada di posisi nonprobability sampling yang digunakan
subordinat dan termarginal sehingga mereka adalah purposive sampling. Sugiyono (2011,
kesulitan untuk keluar dari kemiskinan. Pada hal. 126) menganggap purposive sampling
akhirnya, banyak dari mereka menganggap sebagai teknik penentuan sampel dengan
bahwa tidak memiliki kemampuan lain se-lain pertimbangan tertentu di mana sumber data
bekerja sebagai pekerja seks komersial untuk merupakan orang yang dianggap paling me-
memenuhi kebutuhan mereka. ngetahui informasi yang kita harapkan.
Hal menarik lainnya adalah adanya nilai-- Dalam penentuan informan, dipilih orang--
nilai yang paradoxical dan kontradiktif yang orang yang dianggap dapat memudahkan
bisa hidup bersandingan bersama. Mayoritas peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial
78
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?” (RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA)
yang akan diteliti. Seperti dalam penelitian ini, yang miskin jauh lebih banyak dibandingkan
informan yang dipilih merupakan perem-puan dengan laki-laki, serta terkait dengan femi-
usia produktif yang kembali sebagai PSK nisasi kepala rumah tangga, yaitu banyak
karena mereka lah yang mengalami sub- perempuan yang menjadi kepala rumah tang-
ordinasi dan marginalisasi sehingga dianggap ga dewasa ini. Perempuan miskin dianggap
mampu memberikan informasi yang menda- lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki
lam untuk menggambarkan masalah tersebut. yang juga hidup dalam kemiskinan yang
Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa menyebabkan kemiskinan menjadi identik
teknik pemilihan informan tersebut merupa- dengan perempuan (Moghadam, 2005, hal. 2).
kan teknik yang paling tepat dilakukan dalam Gimenez dalam Moghadam (2005, hal.
penelitian ini. Selain itu, untuk mendapatkan 7) pun mengatakan bahwa kemiskinan yang
keakuratan dan kelengkapan data mengenai terjadi pada laki-laki merupakan konsekuen-
gender discrimination yang dihadapi oleh si dari adanya pengangguran sehingga dapat
PSK, peneliti juga memilih informan pendu- ditanggulangi dengan memberikan pekerja-
kung, antara lain keluarga informan, teman/ an. Akan tetapi, kemiskinan yang dihadapi
peer group informan, serta mucikari. oleh perempuan akan tetap terjadi walaupun
Dalam penelitian ini, relapsed ex-sex perempuan bekerja dalam waktu penuh. Hal
workers yang menjadi informan kunci adalah itulah yang mengakibatkan perempuan di-
mereka yang menjadikan pekerjaan di dunia anggap lebih rentan mengalami kemiskinan.
prostitusi sebagai sumber mata pencahariaan Menurut Arjani (2007, hal. 10), kemis-
utama serta tidak memiliki pekerjaan lain ke- kinan berkaitan dengan budaya patriarki yang
tika bekerja sebagai PSK atau yang disebut berkembang di dalam masyarakat. Lebih jauh,
juga sebagai professional prostitute, yakni Arjani menjelaskan bahwa hal tersebut dapat
mereka yang melakukan pelacuran sebagai terlihat dari subordinasi atau penempatan
sumber kehidupan, mendapatkan penghasil-an kaum perempuan pada posisi subordinat,
hanya dari melacur, dan tidak memiliki marginalisasi atau penempatan kaum
pekerjaan lain selain itu. Sebagai professi-onal perempuan pada posisi marginal, serta
prostitute, mereka bisa dikategorikan sebagai diskriminasi. Penelitian ini mengangkat gen-
brothel prostitute, yakni PSK yang menjajakan der discrimination sebagai konsep utama dan
tubuhnya secara terorganisir di suatu tempat, melihat subordinasi dan marginalisasi seba-gai
yaitu di warung-warung kecil. Salah seorang dua subkonsep yang menyebabkan terja-dinya
dari informan kunci bahkan pernah bekerja discrimination terhadap perempuan.
dengan satu orang saja atau disebut sebagai Penempatan kaum perempuan pada po-
one-man prostitute . Namun, karena hubungan sisi subordinat disebut sebagai subordinasi.
mereka diketahui oleh istri pelanggannya, ia KP3A Republik Indonesia (2010) mendefi-
pun memutuskan untuk ti-dak lagi bekerja nisikan subordinasi sebagai “suatu penilaian
sebagai one-man prostitute. atau anggapan bahwa suatu peran yang dila-
Chant (2007, hal. 1) menganggap pada kukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah
umumnya mayoritas masyarakat miskin di dari yang lain.” Subordinasi terhadap perem-
dunia adalah perempuan, ketidakseimbang- puan tersebut dapat terlihat dari beberapa as-
an proporsi kemiskinan di mana perempuan pek, yaitu: 1.) banyaknya kegiatan dan ciri-
79
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 16, NOMOR 2, OKTOBER 2015, 74-91
-ciri kaum perempuan yang dianggap kurang marginalisasi di bidang pekerjaan dapat di-
penting, lemah, kurang berharga, dibanding- tunjukkan dengan pekerjaan perempuan
kan dengan kegiatan dan ciri-ciri kaum pria yang cenderung kurang dihargai, baik secara
(Bemmelen, 1995, hal. 183); 2.) perempuan sosi-al maupun ekonomi, dan adanya
memiliki otoritas yang lebih sedikit diban- anggapan bahwa perempuan merupakan
dingkan laki-laki karena adanya anggapan pencari nafkah sekunder.
bahwa perempuan hanya dapat mengurusi hal-
hal dalam arena rumah tangga (domestik) saja HASIL DAN PEMBAHASAN
di saat laki-laki dianggap memiliki kapa-bilitas
1. Subordinasi yang Dihadapi
dalam arena publik (Ridjal, Margani,
& Husein, 1993, hal. 33-34). Konsep subor- Temuan lapangan menunjukan bahwa
dinasi yang digunakan dalam penelitian ini subordinasi yang dihadapi ex-relapsed sex
dibatasi pada subordinasi dalam bidang pen- workers, yang menjadi informan dalam pene-
didikan dan pekerjaan; di mana konsep sub- litian ini, bukan hanya subordinasi di bidang
ordinasi di bidang pendidikan dibatasi pada pendidikan, tetapi juga subordinasi di bidang
tidak adanya pemberian prioritas bagi anak pekerjaan. subordinasi yang menyebabkan
perempuan untuk bersekolah dalam keluar-ga; mereka kembali bekerja sebagai PSK tidak
serta adanya anggapan bahwa pendidikan hanya terlihat ketika mereka memutuskan
kurang penting bagi perempuan. Sedangkan, untuk berhenti bekerja sebagai PSK, tetapi
subordinasi di bidang pekerjaan dapat terli-hat juga subordinasi sudah terjadi jauh sebelum
dari adanya anggapan bahwa perempuan mereka terjerumus dalam pekerjaan sebagai
hanya dapat bekerja di ranah domestik saja. SW dan telah tersosialisasi sejak dulu di ling-
Menurut Dejardin & Awad (1995, hal. 10), kungan keluarga dan juga teman sebaya (peer
marginalisasi terhadap perempuan tersebut group). Subordinasi ini terjadi ketika priori-tas
dapat terlihat dari: 1.) Adanya anggapan bah- untuk bersekolah diberikan lebih kepada anak
wa tanggung jawab domestik dan reproduktif laki-laki di dalam keluarga dibanding-kan
perempuan sebagai merupakan fungsi utama dengan anak perempuan. Apalagi ke-mudian
mereka; 2.) perempuan menghadapi hambat-an adanya anggapan bahwa pendidikan bagi
dalam mengakses jasa dan sumber daya perempuan kurang penting. Sementara itu,
produktif; 3.) perempuan dianggap sebagai subordinasi di bidang pekerjaan terjadi dalam
pencari nafkah sekunder, sedangkan laki-laki ingkungan keluarga dan juga teman sebaya
dianggap pencari nafkah utama; 4) pekerjaan hanya terjadi ketika mereka berhenti menjadi
perempuan cenderung kurang dihargai. Da- pekerja seks komersial; dan bukan subordinasi
lam penelitian ini, konsep marginalisasi yang yang sudah tersosialisasi sejak lama.
digunakan adalah marginalisasi dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan. Marginalisasi di 1.1. Subordinasi di Bidang Pendidikan
bidang pendidikan dapat terlihat dari adanya Dalam penelitian ini, subordinasi di bi-
hambatan bagi perempuan dalam mengakses dang pendidikan ditemukan pada beberapa
pendidikan yang ditunjukkan dengan tidak kasus, yaitu kasus yang dialami Bunga, Indri,
diberikannya kesempatan untuk bersekolah dan Mona. Berdasarkan hasil wawancara de-
hingga jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, ngan Bunga, diketahui bahwa orang tuanya
80
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?” (RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA)
menganggap bahwa pendidikan tidak begitu ia dan adik perempuannya hanya disekolah-
penting bagi perempuan. Anak perempuan kan sampai bangku Sekolah Dasar (SD).
dalam keluarganya memang diprioritaskan
“...itu yang bikin aku bingung mau kerja
untuk menikah muda, bahkan dijodohkan.
apa pas berhenti sama Mama.. Terus gi-
Kakak pertama Bunga dipaksa untuk meni-kah
mana caranya aku bisa tetep hidupin
pada usia 17 tahun. Lalu, pada saat kakak
anak, ade-ade.. Mending balik lagi..
pertama Bunga melahirkan anak pertama, ka-
kembali lagi sama Mama.. Mau kerja apa
kaknya yang kedua pun dijodohkan setelah
Dek kalo Cuma tamatan SD.. kan
tiga tahun lulus dari sekolah dasar. Namun,
dianggepnya ng-gak apa.. nggak
anak laki-laki dalam keluarganya diperbo-
sanggup. Dulu mau pro-tes sama orang
lehkan untuk sekolah hingga tingkat lanjut
tua juga.. kan mereka yang cari duit. Mau
walaupun hanya sampai tingkat SMP. Hal
diapain lagi..” (Mona, 30 Maret 2013)
tersebut pun diakui oleh Bapak T1 yang me-
Berbeda dengan Bunga dan Mona, Indri
rupakan kakak sepupu Bunga. Menurutnya,
mengaku bahwa ia telah terpengaruh dengan
adik laki-laki Bunga memang disekolahkan
teman-temannya. Sebagian besar teman--
hingga tingkat SMP dengan alasan bahwa
temannya menganggap bahwa pendidikan bagi
anak laki-laki harus bekerja.
perempuan itu kurang penting karena nantinya
“...ya gara-gara orang tua anggepnya se-
perempuan tidak perlu bekerja dan akan
kolah gak penting kan sekarang mau ker-
dibiayai oleh suami. Artinya, perem-puan
ja apa pun harus sekolah dulu.. Mau cari
dianggap tergantung dengan laki-laki yang
kerja harus sekolah lanjut dulu.. Harus
dianggap lebih ‘superior’ dibandingkan
ada ijazah. Makanya saya bingung, gak
perempuan. Hal serupa pun diakui oleh T3
ada yang nafkahin, sekarang jadi kerja-
yang merupakan salah satu teman yang mem-
nya begitu...sekarang mau kerja apa pun
pengaruhi Indri. Menurutnya, ia dan teman--
kan sekarang pake ijazah, Mbak, Mau
temannya, termasuk Indri, sempat berpikir
perempuan mau laki. Ya, kayak saya lah
bahwa pendidikan tidak begitu penting bagi
seusia saya terus gak punya ijazah gitu
perempuan. Mereka beranggapan bahwa me-
kan ujung-ujungnya jadi kayak gitu lagi.
reka tidak perlu bekerja karena hanya tinggal
Gak ada lagi kan.. Terus ada apa itu..
menikah dan mengurus anak saja sehingga
uang muka sekarang mah kerja tuh..”
tidak perlu bersekolah hingga lanjut. Ter-
(Bunga, 2 Maret 2013)
nyata, pemikiran teman-teman Indri tersebut
Sama seperti yang dialami Bunga, Mona telah mempengaruhi Indri. Indri menuturkan
pun merasa kesulitan untuk mencari pekerja- bahwa ia menjadi malas untuk bersekolah dan
an yang layak ketika berhenti menjadi PSK. menganggap bahwa pendidikan memang tidak
Hal tersebut disebabkan karena ia tidak me- penting untuk perempuan.
miliki pendidikan yang memadai untuk men-
“...temen-temen kita (saya) semuanya
cari pekerjaan. Orang tua Mona menyekolah-
dulu bilang perempuan nggak usah seko-
kan adik laki-lakinya (anak kedua) hingga
lah, nggak usah kerja.. Kan nanti cari aja
Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan,
suami yang berduit.. Hahahaha... kita ke-
pengaruh itu omongan temen.. Kerasanya
81
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 16, NOMOR 2, OKTOBER 2015, 74-91
sekarang.. Besarin anak-anak ya kita sen- nasi di bidang pendidikan yang sudah terso-
diri. Untunglah bisa makanin anak, gak sialisasi sejak lama dalam keluarga tersebut,
kayak orang-orang. Biar anak cepet besar ia pun memutuskan untuk kembali terjun ke
bagaimana, orang nggak punya suami ya dunia prostitusi setelah sempat berhenti sela-
bagaimana. Orang disakitin suami. Ya, ma satu tahun.
kan anak harus makan, harus minum. Ng- Seperti yang terjadi pada Bunga, pada ka-
gak bisa kerja lain; nggak bisa baca tulis. sus Mona, rendahnya pendidikan akibat sub-
Kita jual diri lagi aja.. kita sih juang yang ordinasi di bidang pendidikan dalam keluar-ga
gampang-gampang aja.. demi anak..” (In- juga membuatnya tidak percaya diri untuk
dri, 16 Maret 2013) mencari pekerjaan lain. Akan tetapi, berbeda
dengan Bunga, ia sempat memiliki pekerjaan
Perlakuan yang berbeda antara anak laki--
ketika berhenti menjadi PSK, yaitu menjadi
laki dan perempuan dalam keluarga Bunga dan
buruh tani. Namun, ia merasa pekerjaannya
Mona, menurut Ridjal, Margani, & Hu-sein,
tersebut kurang untuk memenuhi kebutuhan
merupakan salah satu bentuk subordi-nasi
keluarganya. Padahal, setelah bercerai de-ngan
terhadap perempuan di mana perempuan
mantan suaminya, Mona harus membi-ayai
memiliki otoritas yang lebih sedikit diban-
kehidupan anak hasil pernikahannya de-ngan
dingkan laki-laki. Dalam dua kasus ini, di-
mantan suaminya tersebut. Selain itu, ia pun
temukan bahwa otoritas tersebut merupakan
harus membiayai ibu dan adik-adiknya.
otoritas dalam hal pendidikan. Anak laki-laki
Akhirnya, karena merasa tidak ada jalan lain,
dalam keluarga Bunga dan Mona lebih diberi
ia pun terpaksa kembali bekerja sebagai PSK.
prioritas untuk bersekolah. Sedangkan, anak
Subordinasi dalam bidang pendidikan juga
perempuan kurang diberikan kesempatan
dialami oleh Indri. Berbeda dengan Bu-nga
untuk bersekolah hingga lanjut. Hal tersebut
dan Mona, Indri mengalami subordinasi dalam
menunjukkan bahwa perempuan memiliki
lingkungan peer group. Hal itu terlihat dari
otoritas yang lebih sedikit dalam hal pendi-
adanya anggapan dari teman-temannya bahwa
dikan dibandingkan laki-laki sehingga pendi-
perempuan tidak perlu bersekolah ka-rena
dikan mereka menjadi rendah.
nantinya akan ikut suami dan mengurus rumah
Pada kasus Bunga, rendahnya pendidik-an
tangga. Mengacu pada Ridjal, Marga-ni, &
menyebabkan ia tidak percaya diri untuk
Husein, anggapan tersebut merupakan salah
mencari pekerjaan yang layak ketika ia ber-
satu bentuk subordinasi yakni perem-puan
henti menjadi pekerja seks komersial sehing-
dianggap hanya bisa mengurusi ranah
ga memilih untuk diam saja di rumah. Pa-
domestik (rumah tangga) sehingga tidak per-lu
dahal, ia memiliki anak yang harus dibiayai
bersekolah. Walaupun kasus yang dialami
setelah bercerai dengan mantan suaminya. Ia
Indri tidak terkait dengan pemberian prioritas
tidak ingin terus-menerus membebani anak
untuk bersekolah seperti yang terjadi pada
pertamanya serta anak kakaknya yang per-
kasus Bunga dan Mona, tetapi berdasarkan
tama dan kedua yang membiayainya ketika ia
hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemu-
berhenti menjadi PSK. Ia pun ingin dapat
kan bahwa anggapan teman-temannya terse-
hidup secara mandiri dan tidak tergantung
but ternyata sangat mempengaruhi pemikiran
dengan orang lain. Karena merasa tidak bisa
Indri. Ia pun menganggap bahwa pendidikan
mencari pekerjaan yang layak akibat subordi-
82
“WHAT JOB CAN YOU GET WITHOUT A DIPLOMA?” (RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA)
memang kurang penting bagi perempuan yang terlihat dari adanya anggapan bahwa
dan menjadi malas untuk bersekolah. perempuan tidak perlu bersekolah. Subordi-
Namun, setelah bercerai karena sering kali nasi yang sudah tersosialisasi sejak lama ter-
disakiti oleh mantan suaminya, Indri sangat sebut ternyata mempengaruhi mereka untuk
menyesali hal tersebut. Ia baru merasakan kembali bekerja sebagai PSK.
pentingnya pendidikan setelah ia berjuang
1.2. Subordinasi di Bidang Pekerjaan Dalam
menjadi tulang punggung keluarga. Anggap-an
penelitian ini, subordinasi di bi-
yang membuatnya malas untuk bersekolah
dang pekerjaan ditemukan pada kasus Ratu,
hingga lanjut tersebut ternyata membuatnya
Mona, dan Dita. Berdasarkan hasil wawan-
mengalami kesulitan dalam mencari pekerja-
cara dengan Ratu, selain karena keinginan-
an. Pada saat berhenti, Indri memang sempat
nya sendiri, ternyata orang tuanya pun me-
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Na-
mintanya untuk kembali bekerja di warung.
mun, ia merasa tidak nyaman dengan peker-
Orang tuanya menganggap bahwa jika Ratu
jaan tersebut. Ia mengaku bahwa ia tidak bisa
melamar pekerjaan lain, belum tentu ia akan
mencari pekerjaan yang lebih layak karena ti-
diterima karena ia merupakan perempuan.
dak bisa membaca dan menulis. Seperti yang
“...ya kan kita jujur, kita balik juga selain
terjadi pada kasus yang dialami Bunga dan
Indri, subordinasi yang sudah tersosialisasi karena kitanya sendiri, selain karena kita-
sejak lama dalam peer group tersebut mem- nya pengen ya.. disuruh juga sama orang
buat Indri tidak memiliki pendidikan yang tua kita.. Kan katanya daripada kerja-ker-
memadai. Hal itu menyebabkan ia kesulitan ja capek, ngelamar kerja sana-sini, kan
mencari pekerjaan yang layak di saat ia harus belum tentu juga bisa. Namanya perem-
membesarkan kedua anaknya sendirian sete- puan kan.. Susah. Mendingan kerja
lah bercerai dengan suaminya. Akhirnya, ia begini aja lagi..” (Ratu, 29 Maret 2013)
pun memutuskan untuk kembali bekerja se- Begitu pula dengan yang dialami Mona,
b agai pekerja seks komersial. keputusannya untuk kembali terjun ke du-nia
Dari analisis yang telah dijabarkan, jelas prostitusi salah satunya dipengaruhi oleh
terlihat bahwa subordinasi di bidang pendi- teman sesama PSK yang bekerja di warung.
dikan yang terjadi pada Bunga, Indri, dan Teman-temannya membujuk Mona agar
Mona merupakan subordinasi yang sudah kembali bekerja karena menurut mereka,
tersosialisasi jauh sebelum mereka menjadi perempuan sulit mencari kerja. Apalagi, jika
pekerja seks komersial. Subordinasi di bi-dang tidak bersekolah hingga lanjut dan memiliki
pendidikan yang terjadi pada Bunga dan Mona ijazah seperti Mona. Akhirnya, ia terpenga-ruh
merupakan subordinasi yang su-dah dengan ucapan teman-temannya tersebut. Ia
tersosialisasi sejak dulu di dalam ling-kungan
pun merasa bahwa perempuan memang tidak
keluarga yang terlihat dari tidak adanya
memiliki potensi apa pun yang dapat
prioritas bagi anak perempuan untuk
menjanjikan selain bekerja sebagai PSK.
bersekolah hingga lanjut. Sedangkan, subor-
“...iya, katanya ‘udahlah.. kita kan cewe..
dinasi di bidang pendidikan yang terjadi pada
cewe mah bisa apalagi kan, mana seko-
Indri adalah subordinasi yang tersosialisasi di
dalam lingkungan teman sebaya (peer group)
83
Description:(RESNA ANGGRIA PUTRI, JOHANNA DEBORA IMELDA). PENDAHULUAN. Dengan jumlah yang hampir separuh dari total penduduk, peran
