Table Of ContentProf. Mardjono Reksodputro, S.H., M.A.
Perenungan Perjalanan
Reformasi
Hukum
KOMISI HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Bertekad untuk Turut Mendorong Reformasi Hukum di Indonesia
Prof. Mardjono Reksodputro, S.H., M.A. :
PERENUNGAN PERJALANAN
REFORMASI HUKUM
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI
Cetakan Pertama : Oktober 2013
Jl. Diponegoro 64
Jakarta Pusat 10310
Website : http//www.komisihukum.go.id
ISBN : 978-979-3452-43-2
Tim Penerbitan :
Mohammad Saihu
Agus Surono
Farakh
Desain & Layout :
Hak cipta dilindungi undang-undang
Diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI
Pengutipan, pengalihbahasaan dan penggandaan (copy)
isi buku ini demi pembaruan hukum diperkenankan
dengan menyebutkan sumbernya.
PRAKATA PENULIS
Prof. Mardjono Reksodputro, S.H., M.A.
Pada waktu buku ini akan diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional,
masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita ditangkapnya
Ketua Mahkamah Konstitusi kita dengan tuduhan antara lain
menerima suap. Kita dikejutkan oleh berita ini karena tersangka
korupsinya adalah ketua dari suatu lembaga muda yang didirikan
pada awal Era Reformasi untuk mengawal penyempurnaan
undang-undang kita Melalui putusan-putusannya Mahkamah
Konstitusi akan memperjelas arah pembangunan bangsa dan
negara ini menjadi negara hukum yang demokratis dan yang
mensejahterakan rakyatnya dengan berpedoman kepada Pancasila.
Menurut saya, selama kurun waktu Presiden Sukarno dan Presiden
Suharto diduga cukup banyak undang-undang diterbitkan yang
isinya tidak sesuai dengan Konstitusi/UUD 1945.Tentu juga dalam
alam Era Reformasi ini, mungkin sekali telah diterbitkan undang-
undang yang mengandung pasal (-pasal) yang tidak sesuai dengan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
telah mendapat tugas dan kepercayaan mulia untuk menyelesaikan
sengketa tentang undang-undang bersangkutan.
Sebagai tugas kedua yang tidak kalah pentingnya, adalah
kepercayaan yang diberikan kepada kesembilan hakim konstitusi
untuk memutuskan sengketa pemilihan umum. Menilai apakah
suatu undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dan
memutuskan siapakah yang berhak menjadi pemenang dalam suatu
pemilihan umum yang dipersengketakan, tidaklah mudah. Kecuali
kemampuan intelektual diperlukan juga integritas – pendeknya
diperlukan seorang “negarawan”. Di sinilah kecewanya rakyat
Indonesia, tenyata hukum di Indonesia tidak dapat ditegakkan juga
dalam alam reformasi ini oleh Mahkamah Konstitusi.
Tulisan-tulisan dalam buku ini sedikit banyak ingin mengungkapkan
pula kekecewaan penulis atas berjalannya usaha reformasi di
bidang hukum. Tidak cukupkah 15 tahun kita menjalani usaha
reformasi di bidang hukum, sehingga suatu lembaga yang didirikan
khusus untuk mengawal hal tersebut ternyata masih tercemar
juga ? Saya tidak sepakat untuk menyalahkan hal ini semata-mata
kepada keserakahan individu atau oknum. Kita juga tidak dapat
menyalahkan hal ini pada kebudayaan kita yang pernah oleh Bung
Hatta dianggap telah tercemar korupsi.Sebenarnya pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah berjalan lebih setengah abad, dimulai
sejak Orde Lama (1963-Operasi Budhi), dlanjutkan oleh Orde
Baru (UU Tipikor 1971) dan Orde Reformasi (pembentukan KPK).
Sehingga mungkin memang masih lama Indonesia akan keluar dari
keterpurukan sebagai Negara yang terkorup di Asia Tenggara !
Tulisan-tulisan yang disajikan tidak akan memberi jawaban,
namun dari bermacam segi pembicaraan yang dilakukan, mungkin
Pembaca dapat memahami bahwa untuk memperoleh “Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” seperti yang
dicita-citakan Tap MPR No.XI/MPR/1998, masih akan diperlukan
perjuangan yang terus menerus dan tanpa putus-asa dari Anda !
Mardjono Reksodiputro - November 2013
v
KATA SAMBUTAN
Prof. Hkmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D
Guru Besar dan Mantan Dekan Fakultas Hukum UI
Profesor Mardjono Reksodiputro, SH, MA adalah sosok yang sudah
sejak lama saya kenal secara dekat. Kedekatan saya berawal ketika
saya mendapat tugas sebagai staf di Sekretariat Dekan di bulan
September 1987. Saat itu Dekan dijabat oleh Prof. Mardjono yang
akrab dipanggil dengan Pak Boy.
Bagi saya merupakan suatu kehormatan untuk memberi kata
sambutan buah karya Prof. Mardjono yang berjudul “Perenungan
Perjalanan Reformasi Hukum.” Beliau adalah figur yang punya
pengaruh pada diri saya dalam memahami hukum.
Di mata saya Prof. Mardjono memiliki dedikasi yang luar biasa
terhadap hukum. Nafas dan pikiran beliau tidak akan lepas dari
dunia hukum. Berbagai pemikiran terhadap hukum di Indonesia
dan kritik serta kegalauan beliau atas berjalannya hukum terus
beliau ungkap baik lisan maupun tertulis.
Sudah banyak karya tulis yang beliau telurkan. Sebagian dari tulisan
tersebut kini terangkum dalam buku ini.
Bila membaca secara seksama berbagai torehan Prof. Mardjono
dalam buku ini maka ada tiga hal yang dapat ditarik.
v
Pertama, Prof. Mardjono sangat gundah dengan perjalanan hukum
di Indonesia.
Kedua, dalam kapasitasnya sebagai anggota sekaligus sekretaris
Komisi Hukum Nasional (KHN) beliau berkesempatan untuk
memunculkan pendapatnya, bahkan mengkritisi, terhadap sejumlah
rancangan Undang-undang (RUU) dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ada RUU Advokat, RUU Amandemen KUHAP serta Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang diterbitkan
Presiden untuk menyelematkan Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, meski Prof. Mardjono dikenal sebagai ahli hukum pidana
dan kriminologi namun berbagai tulisan justru memperlihatkan
luasnya wawasan beliau terhadap masalah hukum yang menyentuh
cabang ilmu hukum lainnya.
Bila saya harus menarik benang merah dari berbagai pemikiran Prof.
Mardjono yang beliau sebut sebagai ‘perenungan’ atas reformasi
hukum maka tema besarnya adalah kegundahan beliau terhadap
berjalannya hukum di Indonesia.
Pada saat sekarang Prof. Mardjono menggambarkan kondisi hukum
Indonesia dalam tahap gawat darurat. Untuk terlepas dari kondisi
ini maka beliau menyarankan agar dilakukan perawatan oleh para
sarjana hukum terpilih. Perawatannya pun harus dilakukan secara
ahli, profesional dan hati-hati.
v
Kegundahan Prof. Mardjono disampaikan ketika banyak orang
berharap banyak terhadap hukum. Bahkan hukum diharapkan
dapat dijadikan alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool for
social engineering) sebagaimana diungkap oleh Roscoe Pound.
Prof. Mardjono seolah mengkritisi bagaimana mungkin hukum
akan dijadikan alat untuk mengubah masyarakat, bila fungsi
hukum sebagai alat pengendali masyarakat (law as a tool for social
control) belum berhasil di Indonesia.
Memang hukum sebagai alat pengubah masyarakat telah
ditunjukkan keberhasilannya oleh Lee Kuan Yew (LKY) mantan
Perdana Menteri Singapura. Masyarakat disana diubah perilaku
joroknya menjadi perilaku bersih. Ini yang membuat Singapura
berubah dari negara yang kotor menjadi negara yang bersih.
Namun keberhasilan LKY tentu didahului dengan peran hukum
sebagai pengendali masyarakat. Ini menjadi prasyarat agar hukum
dapat menjadi instrumen pengubah masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh LKY? Mengingat LKY adalah seorang
yang mengenyam pendidikan hukum dari Universitas Cambridge,
Inggris, maka bisa jadi beliau sangat tahu bahwa hukum tidak bisa
direduksi sebagai aturan atau norma saja.
Mengacu pada pendapat Lawrence M. Friedman dalam bukunya
American Law an Introduction maka makna hukum ada tiga hal
yaitu norma atau aturan (substantive law), institusi hukum berikut
aparat (structure) dan budaya hukum masyarakat (legal culture).
v
Bagi LKY mengubah perilaku masyarakat Singapura tidaklah
sekedar membuat aturan yang menyatakan perilaku jorok tertentu
seperti membuang sampah, merokok sembarangan dan lainnya
sebagai tindak kriminal yang bersanksi denda. Bila denda tidak
dapat dibayar maka pelaku harus menggantinya dengan hukuman
penjara.
LKY sangat tahu diawal kepemimpinannya masyarakat Singapura
memiliki budaya hukum dalam tingkatan ‘takut’ pada hukum.
Lebih tepatnya mereka takut pada ‘aparat penegak’ hukum.
Takut pada hukum merupakan tingkatan terendah dari suatu
masyarakat dalam bersikap terhadap hukum. Tingkatan yang lebih
tinggi adalah ‘taat’ pada hukum dan lebih tinggi dari itu adalah
menyatunya (internalized) antara tujuan hukum dengan keinginan
dari masyarakat.
Pada masyarakat yang takut pada hukum maka aparat penegak
hukum haruslah tegas. Disini penting untuk memperhatikan sub
sistem institusi berikut aparat penegak hukum.
Aparat penegak hukum harus memiliki integritas dan kepandaian
luar biasa. Integritas penting karena dengan sogokan atau suap
kepada aparat maka hukum akan bengkok. Aparat penegak hukum
juga harus pandai karena jangan sampai ketika menegakkan hukum
mereka menjadi tidak berdaya dalam berargumentasi karena yang
mereka hadapi adalah masyarakat yang pandai.
Disini berlaku istilah Prof. Mardjono dalam perekrutan aparat
penegak hukum “garbage in garbage out” bila tidak memperhatikan
v
kualitas sumber daya manusia yang menduduki institusi-institusi
penegak hukum.
Tentu untuk mendapatkan aparat penegak hukum yang pandai dan
memiliki integritas tidak mungkin dengan memberikan insentif
yang dibawah standar. Mereka harus diberi kesejahteraan yang
sangat memadai. Kesejahteraan ini juga penting untuk menarik
minat para generasi muda agar mau menjadi aparat hukum seperti
hakim jaksa dan polisi.
Kiritik yang sering ditujukan pada Universitas Indonesia, dimana
Prof. Mardjono dan saya menjadi pengajar dan pernah menjadi
Dekan, adalah para lulusan lebih tertarik memasuki dunia penasehat
hukum dan swasta daripada institusi-institusi publik. Kalaupun
mereka mau memasuki institusi publik maka mereka memilih ke
Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan
bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
LKY secara konsisten telah membenahi aparat penegak hukum
ketika aturan untuk berperilaku bersih hendak ‘dipaksakan’ kepada
masyarakat Singapura yang berkarakter takut pada hukum.
Di awal memang masyarakat banyak mengeluh. Membuang
sampah sedikit didenda sangat tinggi. Bila tidak mampu membayar
harus mendekam di penjara.
Tipe masyarakat yang takut pada hukum bila penegakan hukum
lemah maka akan kembali pada kebiasaannya. Tidak heran bila
masyarakat Singapura saat itu melancong ke Malaysia ataupun
Indonesia mereka akan kembali ke kebiasaan lama mereka.
x
LKY selama 30 tahun memerintah secara konsisten tidak
mengendurkan ketegasan aparat penegak hukumnya. LKY tahu
betul merubah sikap masyarakat atas hukum membutuhkan
generasi, tidak cukup hitungan tahun.
Generasi pertama Singapura yang harus beradaptasi dengan aturan
dan suasana penegakan hukum yang berbeda dari sebelumnya akan
memberitahu kepada generasi berikutnya agar mereka ‘mematuhi’
aturan. Ini dilakukan agar anak-anak mereka tidak mengalami
ketegasan hukum ketika melakukan pelanggaran.
Sebenarnya yang terjadi adalah telah terjadi perubahan budaya
hukum masyarakat di Singapura. Dari sebelumnya masyarakat yang
takut pada hukum menjadi masyarakat yang taat pada hukum.
Konsistensi penegakan hukum yang tegas bahkan diteruskan
hingga generasi berikutnya. Generasi ketiga biasanya akan
melakukan replikasi dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya.
Tanpa harus diberi tahu bahwa membuang sampah sembarangan
merupakan tindakan kriminal, mereka akan membuang sampah
pada tempatnya karena mencontoh pada tindakan orang tuanya.
Bagi mereka membuang sampah sembarangan merupakan tindakan
yang tidak pantas dan tidak seharusnya, tidak sekedar memenuhi
aturan.
Pertanyaannya apakah Indonesia saat ini dapat mencontoh apa
yang dilakukan oleh LKY? Bukankah Singapura sebagaimana
diistilah oleh Presiden BJ Habibie sebagai titik merah kecil (little red
dot) dalam peta. Tentu tidak sebanding bila hendak diberlakukan
di Indonesia.
x
Description:Pada waktu buku ini akan diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional, . hukum karena gagal belajar ilmu yang bergengsi dan daripada Pernak-Pernik Reformasi Hukum: 1. WARISAN untuk Presiden Yang Akan Datang . 2 sekolah-sekolah negeri yang masih buruk dan pengangguran yang.