Table Of ContentLinda Christanty
Rahasia Selma
Buat adik saya Budhi dan teman masa kecil kami Aldes
Buat Fahmi dan Dik Nur
Buat Edward dan Nathan
RAHASIA SELMA
Penulis: Linda Christanty
Editor: Tia Setiadi
Tata Sampul: Genta Shimaoka
Tata Isi: Ika Setiyani
Pracetak: Kiki
Cetakan Pertama, Juni 2017
Penerbit
BASABASI
Jl. Malabar No. 16, Sorowajan Baru,
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198
Telp: (0274) 484360
HP: 087808058023 dan 081316320671
Email: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Christanty, Linda
Rahasia Selma/Linda Christanty; editor, Tia Setiadi–cet. 1–Yogyakarta: BASABASI,
2017
144 hlmn; 14 x 20 cm
ISBN 978-602-6651-10-5
1. Tia Setiadi I. Judul
Daftar Isi
Daftar Isi .............................................................. 5
Pohon Kersen ....................................................... 7
Menunggu Ibu ..................................................... 23
Kupu-Kupu Merah Jambu .................................... 37
Mercusuar ............................................................ 49
Rahasia Selma ...................................................... 65
Kesedihan ............................................................ 81
Drama ................................................................. 89
Para Pencerita ...................................................... 101
Jazirah di Utara ................................................... 115
Rahasia Selma 5
Ingatan ................................................................ 123
Babe .................................................................... 127
Keterangan Publikasi ............................................ 141
Tentang Penulis .................................................... 143
Pohon Kersen
RUMAH kami menghadap pantai. Namun, pantai tak
terlihat dari jendela-jendelanya yang terbuka. Pantai belum
juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan
telapak kakiku yang telanjang bagai diserbu jarum-jarum
halus-panas di siang terik itu. Pantai cuma gemuruh laut
dan peluit kapal, meski aku bertengger di dahan tertinggi
pohon kersen yang menjulang pongah di sudut halaman.
Tebing curam yang dihampari tanaman rambat ber-
duri telah menyembunyikan pantai di bawah sana. Dan
sebatang pohon nangka yang kurang subur di pinggir
tebing, dengan ranting-ranting tua meranggas, berdiri
murung mengawasinya. Menjelang malam, ketika sedikit
cahaya memberi siluet pada benda-benda di alam raya,
6 Linda Christanty Rahasia Selma 7
pohon nangka tadi benar-benar menyerupai makhluk SAAT aku masih di sekolah dasar, sebagian waktuku habis
asing kesepian merenung di tebing. Hitam. Bisu. Sebatang di atas pohon kersen itu. Bukan sekadar membayangkan
kara. pantai yang tersembunyi, melainkan untuk tujuan lain.
Pandanganku yang linglung segera membentur garis Sepulang sekolah dan seusai makan siang, aku me-
pertemuan langit dan tebing. Bukan garis lurus yang ter- manjat sambil menyandang tas kain berisi buku-buku
lihat, bukan semacam garis yang dihasilkan mistar dan cerita, kemudian duduk di salah satu dahannya yang kokoh
pensil di atas kertas gambar, melainkan gelombang garis untuk membaca dan menyimak bualan para pendongeng
dengan ketinggian puncak dan kedalaman lembah yang serta terpengaruh oleh kata-kata mereka. Komik Tin Tin,
berbeda. Semak, pohon, tonggak kayu, tonjolan tanah… serial detektif Nancy Drew, Kisah dari Lima Benua…
telah mencemarinya. Langit yang kulihat pun selalu Angin tipis berembus dan memberi sejuk di kulitku,
berubah warna. Biru, abu-abu, hitam, atau putih menyilau- lalu mulai mengusap-usap pelupuk mata. Lama-kelamaan
kan. Seperti warna-warna bersemburat di benak. Sulur- huruf-huruf saling berimpitan atau menggandakan diri
sulur tumbuhan liar yang menjalar dan menyelimuti tebing mereka.
selalu terlihat hijau cerah di musim hujan, tapi kering
Aku mulai mengantuk, tapi tak berani lelap. Bukan
kecokelatan di musim kemarau dan lebih mirip rajutan
lantaran ulat-ulat hijau gemuk yang tiba-tiba merayap,
kawat berkarat ketimbang tumbuhan yang pernah hidup,
men jengkali tubuh sewaktu-waktu, lalu menebar rasa
pernah segar.
gatal di pori-pori, melainkan lebih pada rasa takut jatuh.
Beberapa kali aku diajak Kakek pergi ke pantai. Kami Meski angin kencang lebih sering datang pada bulan ter-
terpaksa mengambil jalan memutar. Sudut kemiringan tentu, musim tertentu, perasaan takut diterbangkan dan
tebing tersebut hampir 90 derajat. Mustahil dituruni. di hempas angin itu memaksaku segera turun saat rasa
Begitu kakiku menyentuh pasir, aku segera berbalik kantuk mulai menyerang.
menatap tebing. Sungguh tinggi. Pohon nangka tampak Angin kencang memang menakjubkan. Butir-butir
sayup. pasir terangkat, melayang, dan menyepuh udara. Lantai
teras berpasir. Kaca-kaca jendela berdebu. Dinding rumah
***
kami makin kusam. Mak Sol, keponakan kakekku yang
tinggal bersama kami, akan sibuk menyapu teras dan
8 Linda Christanty Rahasia Selma 9
mengelapi kaca pintu serta jendela selama berminggu- mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, celengan
minggu, lebih sering dari hari-hari biasa. Yu Ani, yang hadiah dari keponakan Kakek yang bekerja di perusahaan
hampir setahun ini membantu memasak dan mencuci pelayaran. Setelah itu amplop uang disimpan dalam
pakai an di rumah kami tergopoh-gopoh mengangkat brankas. Celengan gajah digeser kembali ke sudut meja.
ember dan mengepel lantai. Diam-diam aku pernah mengorek-orek celengan gajah
Kadang kala aku memandangi angin kencang dari itu dan berusaha menjatuhkan beberapa keping logam
jendela paviliun, tempat Kakek tinggal. Paviliun itu di dalamnya. Jarang berhasil. Tapi suatu kali jumlahnya
memiliki jendela-jendela besar. Kusen-kusennya yang dicat cukup untuk membeli lima bungkus ham lam, manisan dari
putih terbuat dari kayu meranti. Bidang kaca yang luas di sejenis buah yang bentuk bijinya seperti kacang almond dan
kamar Kakek membuatku leluasa melihat angin melanda ukurannya dua kali lipat kacang almond. Rangkaian huruf
dan meliukkan cabang dan ranting kersen. Daun-daun kanji yang tertera pada kertas pembungkus sama sekali tak
gugur. Ulat-ulat terpental dan terkapar di pasir seperti kupahami. Tulisan ‘ham lam’ dalam huruf Latin di bawah
korban tabrak lari. Anehnya, musim ulat selalu bersamaan rangkaian huruf kanji itulah yang kuartikan sebagai nama
waktunya dengan kedatangan angin kencang. manisan buah tersebut.
“Angin Barat sudah sampai,” kata Kakek, seraya Kukira, Kakek mengetahui perbuatanku, mencuri
menyim pan buku belanja di laci mejanya yang bisa keping-keping logamnya. Suatu hari ia membelikan aku
menam pung seluruh kuitansi pembelian barang, kartu sebuah celengan ayam dari tanah liat dan berkata, “Tabung
iuran televisi dan radio, surat-surat penting, dan botol- uang logammu di sini. Nanti pecahkan kalau sudah
botol bekas obat batuk yang berisi bermacam akar-akaran penuh.” Aku tiba-tiba merasa sedih dan malu.
(dan sebuah botol istimewa berisi koleksi gigi Kakek yang Kualihkan pandanganku dari bidang kaca, mengamati
tanggal!). Kakek yang duduk memunggungiku. Sebenarnya, kakeklah
Kakek kemudian memisahkan uang kertas dari uang yang menjadi pemimpin keluarga kami, bukan ayah. Setiap
logam atau sebaliknya, dengan cekatan. Uang kertas di- hari ia memeriksa tetek-bengek keperluan rumah, dari
masukkan ke amplop cokelat bertulis UANG BELANJA soal garam dapur sampai mendatangi tetangga kami yang
BULANAN, sedang uang logam disuapkan ke mulut mencuri air dari pipa ledeng di belakang rumah. Kakek
seekor gajah tembikar yang tengah mendongak seraya juga yang datang ke kantor polisi untuk membebaskan
10 Linda Christanty Rahasia Selma 11
sopir kami yang dituduh menabrak orang. Ayah malah orang setelah diangkat dari laut. Begitu rombongan duka
ingin memberi uang sogok pada polisi agar urusan cepat menikung di sudut jalan, aku buru-buru memanjat pohon
selesai. “Jangan! Kalau benar, kita harus berani sampai kersen dan terus mengamati mereka membawa Kang Haw.
mati pun,” katanya, menghardik menantunya yang lemah Tiupan angin mendadak kencang. Pori-poriku meremang.
hati. Di malam hari, saat aku terbangun untuk ke kamar
Kakek pelan-pelan mengangkat cangkir kopi, lalu mandi, gemuruh angin terdengar lebih keras, serupa
meneguk isinya. Kopi robusta, kental. Aku pernah men- geram raksasa yang berulang-ulang. Aku berlari di lorong
cicipi kopi kakek, seteguk. Pahit. Kumuntahkan di wastafel. panjang itu; penghubung kamar mandi di rumah belakang
Hitam pekat. Warna yang menakutkan, tapi selalu ada. dengan kamarku yang terletak di rumah induk. Kamarku
Kulihat jari-jari Kakek bergetar. lebih dekat ke kamar mandi di ujung lorong ketimbang ke
“Angin kencang ini membawa penyakit. Kalau ber- kamar mandi keluarga di rumah induk.
main, di dalam rumah saja. Lebih aman,” ujar Kakek, Lantai semen sedingin es. Aku sering lupa memakai
seraya meletakkan cangkir di atas piring tatakan. Sebentar sandal flanel. Telapak kaki seolah beku. Bang Husni, cucu
kemudian ia pun beranjak dari kursi, meletakkan kacamata angkat Kakek, sudah berdiri tegak di muka kamarnya yang
baca di atas bufet, lalu berjalan melewati ambang pintu. bersebelahan dengan kamar mandi. Ketukan kaki yang
lembut dan irama langkah yang ringan telah menyentaknya
***
dari lelap. Rumah yang sunyi membuat bunyi lebih nyaring
terdengar. “Seperti dering weker,” ujarnya, menyeringai. Ia
KETIKA pandanganku kembali membentur bidang
mendekat. Jari-jarinya mencengkeram lenganku, “Jangan
kaca itu, kulihat gumpalan awan hitam berarak pelan di
lari terlalu kencang, nanti jatuh.”
langit. Angin masih menggila. Butir-butir tanah terangkat
ke udara, lalu terhempas ke bumi. Laut di bawah tebing Bang Husni sering meminjamiku buku-buku komik. Ia
sana bergelora. Teman sekolahku, Kang Haw, hilang di menyewa buku-buku itu dari kios buku di pasar. “Komik-
laut itu gara-gara ikut mendorong perahu nelayan sampai komik ini boleh dibaca dengan satu syarat,” katanya, suatu
ke tengah. Mayatnya mengapung setelah dua minggu. hari. Matanya berbinar ganjil.
Bengkak. Biru. Penuh lubang bekas gigitan. Meski Kakek Angin terus berembus melalui lubang-lubang jendela
melarang, aku nekat melihat jasadnya yang ditandu orang- kawat di sepanjang lorong. Malam menghitam. Angin
12 Linda Christanty Rahasia Selma 13
mendesis, dingin, tajam. Tubuhku menggigil. Daun-daun beliung sekalipun. Aku akan membangunnya sendiri. Tak
kersen gemeresak. Ia mematikan lampu lorong. seorang pun kuberi tahu. Aku mulai membuka-buka buku
keterampilan pertukangan milik kakek. Tiap memandang
***
pohon kersen, keinginan tinggal di atasnya makin kuat
POHON kersen itu pernah ingin ditebang Kakek. “Kalau dan berakar dalam hati. Aku berkhayal tidur malam di
musim ulat bikin orang jadi jijik. Kau lihat itu… di mana- situ. Dari jendelanya yang mungil kulihat bintang-bintang
mana ulat,” gerutu Kakek, mengarahkan telunjuknya ke berkelip. Oh, ya, aku punya keker pemberian ayah. Kamar
jendela. mandi? Aku bisa buang air dalam kaleng bekas cat. Beres.
Aku tak setuju. Di atasnya, aku ingin membangun Kadang kala aku juga putus asa. Apakah aku sanggup
sebuah rumah mungil. Aku ingin punya rumah sendiri. mem bangun sebuah rumah? Pikiranku tiba-tiba jadi kacau.
Bukan kah ulat-ulat tak berlimpah ruah tiap waktu? Bukan- Kepalaku sakit. Namun, selama rumah impian belum
kah pohon itu bisa disemprot dengan racun ulat? ter bangun, aku tetap bisa berlindung di pohon kersen,
sejenak bersenang-senang, dan terus mencari akal me-
“Lebih baik kita tanam pohon rambutan atau jambu,
wujudkannya kelak. Aku juga bisa mengintai dan menge-
lebih bermanfaat,” bujuk Kakek, mengelak berbantahan.
tahui banyak peristiwa yang berlangsung di rumah kami
Ayah dan Ibu mendukung niat Kakek, tapi nasib baik
dari balik daun-daun kersen yang hijau rimbun.
masih berpihak pada pohon tersebut. Perlahan-lahan
semua orang lupa pada rencana semula. Hanya ketika
***
angin kencang datang dan merontokkan ulat-ulat, per-
cakapan tentang penebangan pohon muncul lagi. Rencana PADA hari Minggu, lelaki tua yang membawa ikan-ikan
ters ebut berkali-kali batal terlaksana, lenyap di tengah laut dalam dua keranjang rotan di kanan-kiri sepedanya,
ingar persoalan sehari-hari yang lebih penting. Tentu saja, selalu berhenti di muka rumah kami. Aku menutup buku
aku bersyukur. ceritaku, sengaja mengamati gerak-geriknya dari atas
pohon.
Aku mulai melihat-lihat papan sisa di belakang rumah.
Aku mengamati cara Kakek menggergaji, menyugu, Ia melayangkan pandangannya ke paviliun kakek.
dan mem aku. Rumah kayu itu memerlukan persiapan Ia tak melihatku. Betis-betisnya yang kurus menyangga
yang matang. Ia harus tahan terhadap serbuan angin sepeda dan muatan yang dibawa.
14 Linda Christanty Rahasia Selma 15
Kakek tak pergi ke pasar pada hari Minggu. Ia hati jatuh!” teriaknya padaku. Aku membalas dengan
menunggu gerobak sayur atau sepeda ikan lewat di muka melambai kan tangan dan menjulurkan lidah. Kakek ter-
rumah. tawa.
Si penjual ikan membunyikan bel sepedanya dua Namun, Kakek tak selalu membeli ikan di hari Minggu.
kali, lalu berhenti sebentar dan menekan bel dua kali Penjual ikan itu melarang Kakek membeli ikan-ikannya,
lagi lantaran Kakek belum juga muncul. Tak berapa lama meski ia tetap mampir di muka rumah kami seperti biasa,
Kakek membuka pintu paviliun, melangkah di halaman membunyikan bel sepeda, dan menunggu kakek. Ketika
sambil tersenyum, kemudian berteriak pada lelaki itu, Kakek muncul, ia berteriak, “Hari ini tak ada ikan bagus,
“Apa kabar, Suk? Ada ikan bagus? Udang ada? Kerang? Pak. Nelayan belum pulang dari laut.” Kakek membalas
Ikan pari? Belanak? Selar?” teriakan nya, “Ya, ya… tunggu sebentar!” Aku tahu apa
Lelaki Tionghoa yang berkulit cokelat terbakar dan yang akan dilakukan Kakek. Ia meminta Yu Ani menakar
kerut-merut wajahnya bagai guratan-guratan pisau di kulit dua liter beras kami dan menuangnya ke kantung plastik
kayu itu menyambut Kakek dengan senyum lebar. “Ada, untuk diberikan pada si penjual ikan. Selalu, pada hari-hari
Pak. Semuanya baru datang. Ikan-ikan kembung ini masih tak ada ikan segar, Kakek mengantar sebuah bungkusan
segar. Pari tinggal sedikit,” katanya, bernada riang. pada lelaki tersebut. Bertahun-tahun aku menyaksikan
pagi hari Minggu seperti itu.
Kakek memilih-milih ikan dalam keranjang. Penjual
ikan mengeluarkan dacin. Kakek meletakkan ikan-ikan di Suatu hari Minggu penjual ikan tak datang. Hari
mangkuk timbangan. Penjual ikan mulai menggeser anak Minggu berikutnya bunyi bel sepedanya tak terdengar
timbangan, melihat skala berat pada tongkat dacin. Setelah juga. Hari-hari Minggu berlalu tanpa ikan-ikan. Berbulan-
itu Kakek mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari bulan Kakek mengganti menu ikan dengan daging
saku celana dril-nya. Penjual ikan menganggukkan kepala, sapi atau ayam. Percakapan tentang penjual ikan yang
memamerkan gigi-gigi yang ompong, lalu mengayuh menghilang terdengar berkali-kali di meja makan atau di
sepedanya menjauhi rumah kami. Kring-kring… Ia mem- dapur. “Apa sakit tu orang?” gumam Kakek. Yu Ani malah
bunyikan bel dua kali sebagai ucapan perpisahan. menyangka penjual ikan mengalami musibah yang lebih
berat. “Mungkin meninggal. Sudah tua, Pak. Anak-anaknya
Kakek menenteng plastik ikan, menuju paviliun,
ke mana ya, Pak? Orang sudah tua masih dibiarkan kerja,”
lalu sejenak menengadah ke arah pohon kersen. “Hati-
16 Linda Christanty Rahasia Selma 17
ujar nya, cemas. Namun, perlahan-lahan peristiwa tadi ter- Tubuhku panas, seperti demam. “Pohon kersen itu
lupakan seiring datangnya peristiwa lain. jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba
dahi ku. “Kita lihat nanti,” jawabnya, sambil menepuk-
***
nepuk pundakku. Aku menangis.
TENGAH malam dan selalu tengah malam, aku kembali Apakah Kakek mengetahuinya?
terbangun dan berlari ke kamar mandi. Bang Husni sudah “Taruh pispot ini di kamarmu, biar tak usah menahan
menunggu di depan pintu kamarnya. “Ada komik baru, kencing, nanti anyang-anyangan,” katanya, sepulang dari
Dik,” ujarnya, setengah berbisik. Sebenarnya aku enggan pasar. Kakek menaruh pispot di bawah tempat tidur.
melihat komik-komik itu. Aku buru-buru menekan gagang
Tiba-tiba Bang Husni kabur dari rumah kami.
pintu kamar mandi.
“Tak pandai membalas budi. Disekolahkan, diberi
Ia menyusulku dan menarik tanganku, “Mahabharata
makan, dibelikan kain baju… malah lari,” rutuk Mak Sol,
dan Superman.”
panjang pendek.
Kusentakkan pegangannya.
Bang Husni sebentar lagi menempuh ujian akhir
“Aku sedang malas baca komik,” jawabku, kesal. sekolah menengah atas dan Kakek ingin ia menamatkan
“Ayolah,” bujuknya. Aku enggan mematuhi per- sekolah. Kepergiannya membuat Kakek murung berhari-
syaratan. hari. Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya?
“Cuma sebentar, setelah itu kau bisa baca semua
***
komik.” Suaranya terdengar manis.
RUMAH kayuku akhirnya gagal bertengger di pohon itu,
Ia menuntunku ke kamarnya, membaringkan tubuhku
tapi aku tetap menghabiskan sebagian waktuku dengan
seperti boneka di tilam. Tangan-tangannya membekap
duduk di salah satu dahan dan membaca buku-buku.
mulut ku.
Sesekali aku memandang ke arah pantai. Cuma gemuruh
Keesokan harinya aku sukar buang air kecil. Aku
laut dan peluit kapal yang menandai keberadaannya.
malas berangkat ke sekolah. Kakek menawarkan diri
Sekitar 100 meter dari sini, tebing yang dihampari tanaman
meng antarku ke sekolah. Ayah dan Ibu sudah berangkat
rambat berduri itu telah menyembunyikan pantai di
ke kantor. Kedua adikku naik mobil jemputan.
bawah sana dan sebatang pohon nangka di pinggir tebing
18 Linda Christanty Rahasia Selma 19