Table Of ContentPRAKTIK KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN
ORANG RIMBA DI TAMAN NASIONAL
BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI
FUAD MUCHLIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Praktik Komunikasi
dalam Pemberdayaan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi
Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari peneliti lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2017
Fuad Muchlis
NIM I36212081
RINGKASAN
FUAD MUCHLIS. Praktik Komunikasi dalam Pemberdayaan Orang Rimba di
Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Dibimbing oleh DJUARA P
LUBIS, RILUS A KINSENG dan AULIA TASMAN.
Kebijakan pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi
dengan mengeksploitasi hutan produksi telah mengakibatkan krisis ekologis dan
tergerusnya tatanan sosial-ekonomi-kultural komunitas adat dan masyarakat
sekitar hutan, termasuk Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)
Provinsi Jambi. Sistem dan struktur sosial yang pro terhadap kapitalis tersebut
telah menghilangkan sebagian besar kawasan hutan yang selama ini menjadi
ruang hidup dan penghidupan Orang Rimba dan menyebabkan mereka menjadi
marginal. Kondisi Orang Rimba yang marginal kemudian mengundang berbagai
aktor melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap komunitas ini.
Penelitian berparadigma kritis dengan strategi penelitian studi kasus ini
bertujuan menjelaskan dan menganalisis sejarah marginalisasi Orang Rimba di
kawasan Bukit Duabelas, mendeskripsikan dan menganalisis praktik
pemberdayaan Orang Rimba, menganalisis peran media alternatif sebagai ruang
publik dalam memperjuangkan hak dan membangunkan kesadaran emansipatoris
Orang Rimba serta menyingkap dominasi dan menganalisis tindakan komunikatif
Orang Rimba TNBD dalam membebaskan diri dari dominasi kekuasaan untuk
memperjuangkan hak komunalnya.
Tonggak-tonggak sejarah marginalisasi terhadap Orang Rimba dapat
dirunut dari periode I (1970-1980), era penguasaan hutan negara oleh swasta;
periode II (1980- 1990), era kebijakan transmigrasi; dan periode III (1990-2000),
era pembangunan kebun Kelapa Sawit dan HTI sebagai jalan bagi negara
memenuhi target pertumbuhan ekonomi serta pengembangan wilayah. Praktik
eksploitatif hutan di TNBD sebagai proyek developmentalist sarat dengan
kepentingan kapitalis dan mengabaikan hak-hak Orang Rimba dan menjadikan
mereka marginal dan terpinggirkan. Dominasi kapitalis yang didukung oleh corak
demokrasi liberal, telah memunculkan apa yang disebut oleh Habermas sebagai
kolonisasi. Kolonisasi itu terjadi manakala sistem pengendalian, yaitu uang
(kapitalis) dan kekuasaan (negara) mendominasi sistem integrasi sosial dan
budaya yang disebutnya dunia kehidupan (life word) yang dimediasi oleh
komunikasi dan memunculkan kecenderungan krisis dalam kehidupan masyarakat
kapitalisme lanjut (late capitalism). Itulah argumentasi Habermas yang kemudian
menyatakan modernisasi belum selesai yang artinya bahwa praksis komunikasi
dengan rasionalitas komunikatif di dalamnya harus dikembangkan melalui
kegiatan pemberdayaan karena dengan cara itulah humanisme akan terwujud.
Penelitian ini juga mengungkap dan membandingkan perbedaan berbagai
perspektif dalam memberdayakan Orang Rimba. Negara dengan perspektif
developmentalis memaknai dengan “modernisasi” yang dilakukan dengan cara
“resettlement”. Sementara NGO dengan perspektif eco-populis memaknai
pemberdayaan sebagai sebuah proses membangun kesadaran kritis
(conscienzation) dengan menyelenggarakan pendidikan alternatif dan advokasi.
Dalam praktiknya kontestasi antara perspektif developmentalist versus eco-
populis muncul dan ketika keduanya berada pada dua titik ekstrim yang berbeda,
tidak ada ruang dialog yang dapat digunakan oleh kedua perspektif ini, sehingga
masing-masing aktor berjalan dengan keyakinan dan agendanya masing-masing.
Namun demikian, proses negosiasi antar kedua aktor saat ini mulai berjalan di
tingkat lapangan dan didukung oleh beberapa saluran komunikasi.
Radio Benor FM sebagai media alternatif dalam penelitian ini hadir
sebagai media pemberdayaan sekaligus representasi ruang publik Orang Rimba
dalam memperjuangkan ruang kebebasan untuk menyatakan dan menampung
opini publik dan membangun wacana publik, merumuskan dan menyampaikan
berbagai kepentingan-kepentingan Orang Rimba yang selama ini sering diabaikan
oleh lembaga representasi atas hal-hal yang konkrit (seperti sarana kesehatan,
pendidikan, informasi harga hasil-hasil hutan dan diseminasi budaya lokal serta
kearifan menjaga hutan dan lingkungan). Media ini dapat menjadi ruang publik
melawan dominasi dan menjadi pembeda dengan media mainstrem yang sulit
untuk menghindar dari agenda setting pemiliknya. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa ruang publik media alternatif melalui radio komunitas dapat
menggugah optimisme lahirnya kesempatan politik yang besar bagi Orang Rimba
untuk menyuarakan kepentingannya. Diskusi publik dan opini yang berkembang
di ranah Orang Rimba kemudian dapat menggugah kesadaran kritisnya, termasuk
melakukan resistensi atas berbagai kebijakan negara yang dianggap tidak adil
kepada mereka.
Tindakan komunikatif dan resistensi Orang Rimba dalam kasus kontestasi
hak komunal terhadap kawasan hutan yang diberikan izin konsesi kepada PT. WP
di bagian akhir disertasi ini, menegaskan bahwa praktik dominasi suatu sistem
pengelolaan sumber daya hutan masih terjadi di republik ini. Tindakan
komunikatif ditunjukkan melalui ruang publik “musyawarah” untuk mencapai
konsensus. Tindakan komunikatif inilah yang diarahkan oleh Habermas melalui
diskursus sehingga dapat menghasilkan “ideal speech situation”. Sebagai negara
yang demokratis, pilihan ruang publik “musyawarah” oleh Orang Rimba
difungsikan untuk menyuarakan kepentingan publik dan memainkan peran
penting dalam pertimbangan mengoreksi kebijakan negara yang dianggap tidak
adil kepada mereka. Di samping itu diskursus tata kelola hutan TNBD dalam
ruang publik “musyawarah” juga memberikan kesempatan Orang Rimba untuk
menggunakan kekuasaan komunikatifnya. Resistensi Orang Rimba dalam
tindakan protes dengan mengokupasi lahan dapat dipahami sebagai penekan agar
mendapat respon yang serius dari pihak perusahaan merealisasikan konsensus
yang telah disetujui masing-masing pihak dalam “musyawarah” bersama antar
pihak. Diskursus ini terbukti mampu mempengaruhi kebijakan negara terhadap
tata kelola hutan yang selama ini dianggap hanya berpihak kepada korporasi.
Perjuangan ini dikomunikasikan dengan menyampaikan argumen terbaik pada
level birokrasi (negara) dan terbukti mampu menggeser kebijakan negara dengan
memberikan hak kelola lahan seluas 114 hektar yang selama ini dikuasai oleh PT.
WP kepada Orang Rimba Kelompok Terap.
Kata kunci: pemberdayaan, marginalisasi, ruang publik. tindakan komunikatif
SUMMARY
FUAD MUCHLIS. Communication Practices for Empowering Orang Rimba at
Bukit Duabelas National Park in Jambi Province. Supervised by DJUARA P
LUBIS, RILUS A KINSENG and AULIA TASMAN.
Development policy to achieve economic growth through exploiting
production forest has caused the ecological crisis and undermining social order-
economic-community cultural custom and indigenous forest communities,
including the Orang Rimba at Bukit Dua Belas National park “Taman Nasional
Bukit Dua Belas” (TNBD) Jambi Province. The system and social structure which
is known as pro-capitalist has removed most of the forest areas that have been as
living sphere and livelihoods for Orang Rimba caused them to be marginal. The
marginal conditions of Orang Rimba then invite various actors parties to perform
empowerment activities toward the community.
This critical paradigm research used case study approach aims to describe
and analyze the historical marginalization of Orang Rimba in Bukit Duabelas,
describe and analyze the empowerment practices to Orang Rimba, analyze the
role of alternative media as a public sphere for supporting Orang Rimba’s rights
and raising emancipatory awareness of Orang Rimba as well as revealing
dominance and analyze the communicative action of Orang Rimba TNBD in
breaking loose from the domination in order to struggle their communal rights.
The Milestones marginalization of the Orang Rimba can be traced from
the Period I (1970-1980), the era where the state forest was controlled by the
private sector; Period II (1980- 1990), the era of transmigration policy; and the
period III (1990-2000), the era of oil palm plantation development and the
industrial forest (HTI) as a way for the country to meet the target of economic
growth and regional development. Forest exploitative practices as
developmentalist project laden with capitalist interests and ignore the rights of the
Orang Rimba caused them to be marginalized. Capitalist domination supported by
the liberal democracy pattern, has led to what is referred to Habermas, as
colonization. The colonization occurs when the control system, the money
(capitalists) and power (state) dominated the social and cultural integration system
which he called the life word mediated by communication and led to crisis
tendencies in late capitalism. That is the argument stated by Habermas which
identified unfinished modernization, which means the communication praxis with
communicative rationality must be developed through empowerment activities
because that is how humanism will be realized.
The current study also reveals and compares the differences in the
perspectives of empowering Orang Rimba. The state with a developmentalist
perspective interprets the "modernization" by "resettlement". However, NGO with
eco-populist perspective interprets the empowerment as a process of building
critical awareness (conscientization) by organizing alternative education and
advocacy. In practice, the contestation between developmentalist perspectives
versus eco-populist emerges when both are at two different extreme points. There
is no space for dialogue that can be used by both perspectives, so each actor is
confidence with their own understanding and agendas. However, the negotiation
processes between the two actors are being starting in the field and it is also
supported by several communication approaches.
Radio Benor FM as an alternative media in this study comes as an
instrument for the empowerment as well as the public sphere representation of
Orang Rimba in enforcing a freedom to express and accommodate public opinion
and build public discourse, to formulate and deliver a range of Orang Rimba
interests which often were neglected by the representative body on concrete things
(such as health, education, information about the price of forest products and
dissemination of local culture and wisdom in maintaining the forest and
environment). This media can be as a public sphere against domination and a
differentiator to the mainstream media which the media is difficult to escape from
agenda setting by the owners. The study also showed that the public sphere can
inspire optimism to a great political opportunity for the Orang Rimba in order to
voice their interests. Public discussion and the growing opinion in Orang Rimba
then can arouse critical awareness, including doing resistance to various state
policies that were considered unfair for them.
Communicative action of Orang Rimba in case of contestation of
communal rights to forest area granted concession to PT. WP at the end of this
dissertation, confirmed that the domination practices of a forest resource
management system still occurs in this republic. Communicative action was
demonstrated through the public sphere "deliberation" to reach a consensus. This
kind of communicative action was directed by Habermas through discourse so as
to produce the "ideal speech situation". As a democratic country, the choice of
public sphere "deliberation" by the Orang Rimba enabled to express public
interest and played an important role in revising state policies that were
considered unfair to them. In addition TNBD forest governance discourse in the
public sphere "consultation" provides an opportunity to Orang Rimba to use its
communicative power. Resistance of Orang Rimba through protest action by land
occupation can be understood as a pressure in order to get a serious response from
the company to realize the consensus that has been approved by each party in the
"deliberation". This discourse has proved can influence the country's policies
particularly on forest governance which previously only considered the
corporation side. This struggle is communicated by providing the best argument
on the level of bureaucracy (state) and proved to be able to direct the state policy
by giving rights in managing land area of 114 hectares that had been controlled by
PT. WP to the Orang Rimba Terap Group, at TNBD.
Key words: empowerment, marginalization, public sphere, communicative action
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Description:(capitalists) and power (state) dominated the social and cultural integration system which he called . kolega dosen di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/SEP-Agribisnis Fakultas. Pertanian UNJA Mereka didukung oleh berbagai omop yang terlibat advokasi dan kalangan ahli antropologi budaya.