Table Of ContentPETUNJUK TEKNIS PENERAPAN
SEKOLAH/MADRASAH
AMAN DARI BENCANA (SMAB) BAGI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Diadaptasikan dari Petunjuk Teknis
Penerapan SMAB yang diterbitkan oleh BNPB
DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TAHUN 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Tujuan ............................................................................ 5
C. Dasar Hukum ................................................................... 5
D. Rujukan Teknis Pelaksanaan SMAB ..................................... 6
E. Lokasi Sekolah ................................................................. 6
F. Kriteria Sekolah ................................................................ 6
G. Tahapan Penyelenggaraan ................................................. 6
H. Fasilitator ........................................................................ 6
I. Ruang Lingkup Pelaksanaan di daerah ................................. 7
J. Prinsip-prinsip Pelaksanaan ................................................ 8
BAB II PELAKSANAAN ........................................................... 9
A. Workshop persiapan penerapan sekolah dan madrasah aman
bencana oleh pemangku kepentingan bidang pendidikan dan
kebencanaan di daerah ..................................................... 9
B. Penilaian Mandiri Awal oleh Sekolah (Baseline) .................... 12
C. Pelatihan PRB dan Sekolah Aman berbasis inklusi Tenaga
Pendidik, Tenaga Kependidikan, Komite Sekolah dan
Pemerintah Desa ............................................................. 14
D. Pelatihan PRB dan Sekolah Aman untuk Siswa/i................... 18
E. Workshop Kajian Risiko Bencana Partisipatif ........................ 23
F. Workshop Penyusunan Rencana Aksi dan Pembentukan Tim
Siaga Bencana di Sekolah/Madrasah .................................. 25
G. Workshop Penyusunan Prosedur Tetap Kedaruratan Bencana
Sekolah dan Pembuatan Media Publikasi Sekolah ................ 27
H. Simulasi Kesiapsiagaan di lingkungan Sekolah/Madrasah ...... 30
I. Penilaian Mandiri Akhir (Endline) ....................................... 31
J. Workshop Evaluasi Pelaksanaan dan Rencana Tindak Lanjut . 33
BAB III PELAPORAN ............................................................ 35
LAMPIRAN ............................................................................ 37
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis, Indonesia terletak di rangkaian lempeng tektonik:
Australasia, Pasifik, Eurasia dan Filipina yang membuat Indonesia
menjadi rentan terhadap perubahan geologis. Hasil pertemuan tiga
lempeng ini dihasilkan lempeng tektonik (garis merah) yang
merupakan gempa bumi dan deretan gunung api. Terdapat 129
gunung api aktif yang ada di Indonesia, yang saat ini dimonitor oleh
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (ESDM). Untuk
lempeng tektonik dimonitor oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) yang secepatnya akan memberikan informasi
mengenai gempa bumi dan tsunami. Kekayaan Indonesia dengan
beragam gunung berapi sekaligus dapat menjadi ancaman bencana
gunung meletus. Selain itu, terdapat 5.590 daerah aliran sungai
(DAS) yang terletak antara Sabang dan Merauke juga telah
berkontribusi membantu membentuk Indonesia.
Iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik
geografis yang membentang di 6.400 km antara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia. Indonesia memiliki 3 pola iklim dasar:
monsunal, khatulistiwa dan sistem iklim lokal. Hal ini telah
menyebabkan perbedaan dramatis dalam pola curah hujan di
Indonesia. Posisi geografis dan lokasinya yang berada di rangkaian
lempeng tektonik: Australasia, Pasifik, Eurasia dan Filipina
mengakibatkan pergerakannya dapat menimbulkan bencana gempa
bumi atau tanah longsor. Gempa bumi dengan kekuatan tertentu
dan di lokasi tertentu dapat diikuti dengan bencana tsunami dan
banjir. Gempa bumi yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 telah
menyebabkan tsunami yang berdampak luas dan mengakibatkan
korban jiwa lebih dari 230.000 di lebih dari 14 negara.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun terakhir (1982-
2014) terjadi 13.729 kejadian bencana, yang didominasi oleh banjir
dan diikuti oleh tanah longsor, angin kencang, kekeringan dan
bencana lain. Namun bencana yang paling banyak memakan korban
adalah bencana gempa bumi yang diikuti oleh tsunami
(mengakibatkan 174.101 orang meninggal), gempa bumi (15.250
orang meninggal), banjir dan tanah longsor (7.555 orang meninggal)
dan bencana lain (28.603 jiwa). Data-data terakhir yang berhasil
direkam juga menunjukkan bahwa rata-rata setiap tahun terjadi
sepuluh kegiatan gempa bumi yang mengakibatkan kerusakan yang
1
cukup besar di Indonesia. Kondisi yang kompleks dan menantang ini
diperumit lagi oleh dampak perubahan iklim. Perubahan iklim akan
terus memberikan dampak yang cukup besar bagi intervensi
program kemanusiaan dan program pengembangan, dan akan terus
memberikan tantangan bagi pengembangan dan penyelenggaraan
sektor pendidikan.
Selain kehilangan jiwa, juga banyak aset yang mengalami
kerusakan, di antaranya gedung-gedung pelayanan publik yang pada
akhirnya kerusakan ini akan mengganggu kehidupan keseharian. Di
antara gedung pelayanan publik yang ada, bangunan pelayanan
dasar seperti gedung sekolah dan gedung yang terkait dengan
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, pustu, posyandu adalah
fasilitas sosial yang di dalamnya terdapat kumpulan manusia yang
perlu diprioritaskan.
2004: Gempa Bumi dan tsunami di Aceh menyebabkan
173,000 Korban Jiwa and menghancurkan 2000 Sekolah
2006: 2900 Sekolah di Yogyakarta ambruk disebabkan oleh
Gempabumi yang menyebabkan 6000 orang meninggal
2009: Gempa bumi di Jawa Barat menyebabkan 79 korban
jiwa, 2,091 bagunan sekolah rusak berat, dan 35 sekolah rata
dengan tanah.
2009: Gempa Bumi di Sumatera Barat menyebabkan 1,247
bangunan sekolah rusak berat, 919 rusak sedang dan 670
rudak ringan. Gempa bumi ini menyebabkan 1,100 meninggal.
2010: Gempa Bumi dan Tsunami di Mentawai menyebabkan 7
sekolah rusak berat
2013: Gempa bumi di Bener Meriah and Aceh tengah
menyebabkan 327 sekolah and 30 madrasah rusak berat.
2013: Erupsi Gn. Sinabung di Sumatera utara menyebabkan
185 sekolah rusak dan beberapa diantaranya harus direlokasi.
2013: Gempa bumi di Lombok Utara menyebabkan 30 sekolah
rusak berat
2014: Erupsi Gn. Kelud di Jawa Timur menyebabkan 394
sekolah rusak di Kediri
Kebanyakan dari kejadian bencana tersebut di luar jam sekolah
sehingga tidak menimbulkan korban meninggal, kecuali di Padang,
Sumatera Barat pada tahun 2009 di mana banyak siswa yang
terluka dan ada yang meninggal. Bangunan sekolah yang tidak
tahan bencana sangat rentan dari segi keamanan, bukan saja
mengancam jiwa anak-anak, tapi kerusakan atau kehancuran
prasarana fisik ini merupakan kehilangan aset ekonomi bagi negara;
biaya untuk membangun ulang atau memperbaiki akan memerlukan
biaya yang besar sehingga dapat mengganggu keuangan negara dan
perekonomian secara umum.
2
Upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam empat tahun
terakhir mencakup pendataan secara menyeluruh kondisi sekolah di
Indonesia dalam kategori rusak berat, rusak sedang, rusak ringan
dan rusak total. Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan perbaikan
kontsruksi sebagian besar dari sekolah yang terdata. Di saat yang
bersamaan sekolah baru akan terus dibangun. Bangunan sekolah
yang sebelumnya rusak ringan dalam beberapa tahun dapat menjadi
rusak berat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
kondisi fisik bangunan sekolah akan terus berubah. Sangat
disayangkan bila dalam pembangunan sekolah unsur-unsur yang
menunjang penerapan sekolah aman secara struktural kurang
diperhatikan. Dalam hal ini, rehabilitasi, perbaikan dan
pembangunan gedung sekolah baru perlu menerapkan prinsip-
prinsip sekolah aman.
Teknologi “retrofitting” atau „perkuatan‟ juga dapat diterapkan
sehingga bangunan sekolah yang rusak berat tidak selalu harus
dihancurkan sebelum diperbaiki tapi dapat langsung diperkuat
sehingga dapat meminimalkan biaya. Lebih lanjut, perkuatan gedung
sekolah yang disertai dengan peningkatan aksesibilitas fisik bagi
warga sekolah yang berkebutuhan khusus atau penyandang
disabilitas juga mampu berkontribusi pada upaya peningkatan
kemampuan evakuasi mandiri semua warga sekolah.
Selain itu, pendekatan konstruksi dan perkuatan (retrofit) sekolah
yang lebih aman dengan melibatkan masyarakat luas dalam
memadukan pengetahuan baru dan keterampilan pencegahan
bencana dapat berdampak lebih luas bagi sekolah itu sendiri.
Pendekatan sekolah aman dapat menjadi model konstruksi dan
peningkatan tingkat keamanan untuk pembangunan rumah
penduduk, pusat kesehatan masyarakat, dan bangunan umum
lainnya. Sekolah-sekolah juga seringkali menjadi tempat
penghubung dan tempat belajar bagi seluruh masyarakat. Anak-
anak merupakan peserta didik yang paling cepat menerima suatu
pengetahuan. Mereka tidak hanya mampu memadukan pengetahuan
baru ke dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber
inspirasi bagi keluarga dan masyarakat di lingkungannnya dalam hal
perilaku yang sehat dan aman, yang mereka dapatkan di sekolah.
Upaya untuk melindungi warga negaranya terhadap bencana,
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang
tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam
situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi
3
bencana. Melalui pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan
risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat
diperkenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, guru
dan tenaga kependidikan, dengan mengintegrasikan pendidikan
pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah maupun ke
dalam kegiatan ekstrakurikular. Selain itu, juga menerapkan prinsip-
prinsip sekolah aman dalam program pembangunan sekolah baru
atau rehabilitasi bangunan sekolah secara berkesinambungan dan
mengikuti perkembangan kemajuan teknologi pembangunan gedung
dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2010 menerbitkan surat edaran
(SE) No. 70a/SE/MPN/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana (PRB) di sekolah, sekaligus ikut berkomitmen pada
kampanye global „Satu Juta Sekolah dan Rumah Sakit Aman‟ pada
29 Juli 2010. SE tersebut ditujukan kepada para Gubernur dan
Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk memperhatikan tiga poin
penting yakni: (1) perlunya penyelenggaraan penanggulangan
bencana di sekolah; (2) pelaksanaan strategi pengarustumaan PRB
di sekolah dilakukan baik secara struktural dan non-struktural guna
mewujudkan budaya kesiapsiagaan dan keselamatan di sekolah; dan
(3) surat edaran ini adalah pedoman untuk melaksanakan strategi
pengarustumaan PRB di sekolah.
Pada 25 Agustus 2011, Wamendiknas, WamenPU, Deputi pence
BNPB, KemPU, Planas PRB, dunia usaha, Perguruan Tinggi dan
beberapa NGO memprakarsai berdirinya Sekretariat Nasional
Sekolah Aman untuk mengawal penerapan Sekolah Aman di
Indonesia. Pada tanggal 20 Juni 2013 Seknas Sekolah Aman
dialihkan pengelolaannya kepada BNPB atas kesepatan rakor tingkat
direktur yang dimpimpin oleh Deputi Pencegahan dan kesiapsiagaan
BNPB yang pada peringatan bulan PRB tahun 2014 Pengelolaannya
diserahkan kepada Kemdikbud sampai sekarang.
Atas berbagai prakarsa multipihak tersebut, Kepala BNPB
menandatangani penerbitan Peraturan Kepala (PERKA) BNPB No. 4
tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari bencana pada 30 April 2012. Perka tersebut diluncurkan oleh
Mendikbud pada acara peringatan hardiknas tanggal 2 Mei 2012.
Penerbitan PERKA ini merupakan aksi tindak lanjut dari Hyogo
Framework for Action (HFA) 2005-2015. HFA merupakan komitmen
dari 168 negara di dunia untuk menciptakan ketahanan komunitas
dan negara dari bencana melalui pelaksanaan PRB dalam Lima area
aksi prioritas. Sebagai kelanjutannya, dalam World Conference DRR
di Sendai Jepang tahun 2015 dihasilkanlah Sendai Framework for
Disaster Risk Reduction 2015-2030.
4
Sampai 2013, tercatat sudah 25.620 sekolah yang mendapatkan
intervensi berbagai program termasuk didalamnya program
pengurangan risiko bencana di satuan pendidikan.
B. Tujuan
1. Membangun budaya siaga, budaya aman dan budaya
pengurangan risiko bencana di sekolah, serta membangun
ketahanan warga sekolah dalam menghadapi bencana secara
terencana, terpadu dan terkoordinasi dengan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia dalam rangka memberikan
perlindungan kepada peserta didik, guru, tenaga kependidikan
dan masyarakat di sekitar sekolah dari ancaman dan dampak
bencana;
2. Menyebarluaskan dan mengembangkan pengetahuan
kebencanaan ke masyarakat luas melalui jalur pendidikan
sekolah;
3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait tentang kondisi
struktur bangunan dan aksesibilitas lingkungan sekolah sebagai
upaya pengurangan risiko bencana yang menjangkau semua
warga sekolah (inklusif);
4. Mengembangkan program sekolah/madrasah aman dari bencana
bagi anak berkebutuhan khusus.
C. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas;
5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif;
6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun
2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota;
7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 72 Tahun
2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus;
8. Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi
pekerti
9. Permendikbud nomor 82 tentang pencegahan dan penanganan
kekerasan di satuan pendidikan
5
10. Permendikbud nomor 18 tahun 2016 tentang kegiatan
pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru
11. Peraturan menteri negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 8
tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak
12. Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana;
13. Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Penangangan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang
Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana;
14. Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana;
15. Surat Edara mendikbud nomor 70a tahun 2010 tentang
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah
D. Rujukan Teknis Pelaksanaan SMAB
1. Petunjuk teknis Bantuan Pemerintah dan Bantuan Sosial PRB
di Direktorat Pembinaan PKLK
2. Lembar Informasi Sekolah/Madrasah Aman Yang
Komprehensif;
3. Pedoman Teknis penerapan SMAB di satuan pendidikan melalui
program PRB di Direktorat Pembinaan PKLK;
4. Roadmap Sekolah/Madrasah Aman, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan 2015 – 2019.
E. Lokasi Sekolah
Lokasi sekolah berada pada kawasan yang memiliki risiko tinggi
terjadi bencana;
F. Kriteria Sekolah
1. Sekolah Umum,
2. Sekolah inklusi dan
3. Sekolah Luar Biasa
G. Tahapan Penyelenggaraan
1. Persiapan
2. Pelatihan dan pembekalan Fasilitator (Guru SLB, LPMP,
Lembaga Swadaya masyarakat, Fasilitator BPBD)
3. Pelaksanaan SMAB inklusif di daerah
4. Monitoring dan Evaluasi
H. Fasilitator
Pelaksanaan implementasi Sekolah dan Madrasah Aman Bencana
di daerah dibantu oleh fasilitator yang terdiri dari Guru SLB yang
sudah dilatih, LPMP, BPBD, Lembaga Swadaya Masyarakat dan
profesional yang memiliki kompetensi di bidang SMAB dan
fasilitator SMAB Nasional yang dibentuk BNPB.
6
Fasilitator adalah Tim yang akan bertugas untuk bekerjasama
dengan warga sekolah dalam memfasilitasi perwujudan sekolah/
madrasah aman sesuai sasaran yang ditentukan serta
membangun komitmen dan kesepakatan untuk keberlanjutan
program penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana
I. Ruang Lingkup Pelaksanaan di daerah
No. Aktivitas Waktu Jumlah* Sasaran
1 Workshop Persiapan Penerapan SMAB 1 hari 40 orang Stakeholders Pendidikan dan
Stakeholders Pendidikan dan Kebencanaan Kebencanaan
2 Penilaian Mandiri Awal oleh Sekolah (Baseline) 2 hari 20 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Kependidikan, Komite
Sekolah, Siswa termasuk
siswa berkebutuhan khusus
3 Pelatihan PRB dan Sekolah Aman untuk Tenaga 3 hari 40 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Pendidik, Tenaga Kependidikan, Komite Sekolah Kependidikan, Komite
dan Pemerintah Desa Sekolah dan Pemerintah
Desa
4 Pelatihan PRB dan Sekolah Aman untuk 4 hari 30 siswa Seluruh siswa termasuk siswa
Anak/Siswa berkebutuhan khusus
5 Workshop Kajian Risiko Bencana Partisipatif dan 2 hari 10 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
inklusif dengan mempertimbangan kapasitas warga Kependidikan, Komite
sekolah berkebutuhan khusus Sekolah, Siswa termasuk
siswa berkebutuhan khusus
6 Workshop Penyusunan Rencana Aksi dan 2 hari 10 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Pembentukan Tim Siaga Bencana di Sekolah Kependidikan, Komite
Sekolah dan perwakilan
siswa.
7 Workshop Pembuatan Prosedur Tetap Tanggap 4 hari 15 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Darurat Bencana Sekolah, Peta Jalur Evakuasi, Kependidikan, Komite
Rambu Evakuasi, Titik Kumpul Dan Pembuatan Sekolah dan perwakilan siswa
Media Publikasi Sekolah
8 Simulasi Kesiapsiagaan di lingkungan sekolah 2 hari 100 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Kependidikan, Komite
Sekolah dan seluruh siswa
termasuk siswa berkebutuhan
khusus
9 Penilaian Mandiri Akhir (Endline) 2 hari 20 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Kependidikan, Komite
Sekolah, Warga sekitar
sekolah, perwakilan siswa
10 Workshop Hasil Evaluasi Pelaksanaan dan 1 hari 30 orang Tenaga Pendidik, Tenaga
Rencana Tindak Lanjut Kependidikan, Komite
Sekolah, BPBD, Dinas
Pendidikan/Kandepag,
Legislatif, perwakilan siswa
*Catatan:
Jumlah orang yang terlibat kegiatan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi masing-masing sekolah dan jenis ketunaan peserta didik
7
J. Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Pelaksanaan Sekolah/ Madrasah Aman sesuai dengan tujuannya
bersifat multi-sektor dan membutuhkan kerjasama berbagai pihak.
Prinsip-prinsip pokok Sekolah/Madrasah Aman mendasari kerjasama
lintas sektor guna mengupayakan sinergisitas dalam mewujudkan
Sekolah/Madrasah Aman. Prinsip-prinsip pokoktersebut adalah:
1. Berbasis Pengurangan Risiko Bencana
Sekolah/ Madrasah Aman ditujukan untuk mengurangi risiko
bencana dan memastikan kenyamanan dan keamanan proses
pembelajaran. Dalam hal ini, selain berkontribusi pada pengurangan
risiko bencana geologis, misalnya gempa dan tsunami, pelaksanaan
kegiatan Sekolah/Madrasah Aman juga ditujukan untuk mengurangi
risiko bencana yang disebabkan oleh kerusakan Lingkungan misalnya
banjir dan longsor, yang frekuensi kejadiannya semakin meningkat.
2. Inklusif
Penyelenggaran Sekolah/Madrasah Aman secara aktif melibatkan
semua warga sekolah termasuk warga sekolah penyandang
disabilitas atau berkebutuhan khusus guna memastikan tidak ada
pihak yang tertinggal dalam situasi bencana. Dalam hal ini,
penyelenggara Sekolah/Madarasah Aman harus memperhatikan
perluasan aksesibilitas fisik dan non-fisik untuk memastikan
partisipasi aktif warga sekolah penyandang disabilitas.
3. Ramah Anak
Pelaksanaan Sekolah/Madrasah Aman diselenggarakan atas dasar
pemenuhan tumbuh kembang dan perlindungan anak serta,
memperhatikan kemampuan dan partisipasi aktif anak demi
kepentingan terbaik anak.
8
Description:A. Workshop persiapan penerapan sekolah dan madrasah aman bencana oleh . mengancam jiwa anak-anak, tapi kerusakan atau kehancuran.