Table Of ContentPENGAWETAN MAKANAN YANG AMAN
0LEH :
Nenni Dwi Aprianti Lubis SP., MSi
NIP. 132 303 833
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
PENGAWETAN MAKANAN YANG AMAN
Mengetahui,
Kepala Departemen Penulis
Dr. Zaimah Z. Tala, MS., SpG Nenni Dwi A. Lubis, SP., Msi
NIP. 132 014 898 NIP. 132 303 833
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN................................................................................................ 1
MAKANAN YANG SEHAT DAN AMAN........................................................ 1
PENGAWETAN MAKANAN ........................................................................... 2
CARA MEMPERPANJANG DAYA SIMPAN DI RUMAH TANGGA........... 9
PENUTUP............................................................................................................ 11
PUSTAKA............................................................................................................ 12
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
PENGAWETAN MAKANAN YANG AMAN1
Nenni Dwi Aprianti Lubis, SP., MSi
Departemen Ilmu Gizi – Fakultas Kedokteran USU
PENDAHULUAN
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, selain pakaian dan
perumahan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, makanan memiliki arti
penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat sebagai roda penggerak
pembangunan nasional untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu,
dalam bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih baik di masa yang akan datang
yaitu makanan yang lebih bergizi, aman dikonsumsi, lebih bermutu, dan lebih mampu
bersaing dalam pasar global.
MAKANAN YANG SEHAT DAN AMAN
Makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi dapat ditinjau dari aspek gizi
(nutrisi) dan cemaran (kontaminasi). Dari segi nutrisi, kandungan gizi makanan
hendaknya tidak kekurangan ataupun kelebihan yang dapat menyebabkan berbagai
penyakit malnutrisi seperti kekurangan energi dan protein (KEP), kurang vitamin A
(KVA), anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan
penyakit-penyakit degeneratif (misalnya jantung, Diabetes Mellitus, kanker dan lain
sebagainya). Aman yang dimaksud di sini berarti bebas dari cemaran fisik, intrinsik dan
ekstrinsik berupa toksin alami dan zat antinutrisi dalam bahan pangan, kontaminasi
biologis, mikrobiologis, kimia, logam berat serta cemaran lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Dengan dikeluarkannya UU nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, yang memuat
pengaturan keamanan pangan, mutu dan gizi pangan, tanggung jawab industri pangan,
ketahanan pangan, peran serta masyarakat dan ketentuan pidana, maka diharapkan dapat
mendorong terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab, serta
1 Disajikan pada Seminar Awam “Dampak Penyalahgunaan Formalin”, Medan, 14 Januari 2006,
Ruang Seminar – Fakultas Kedokteran USU
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
terwujudnya tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai kebutuhan manusia.
Aturan tersebut tercakup dalam 14 bab dan 65 pasal.
Di salah satu pasal dalam UU Pangan, dijelaskan tentang pelarangan pengedaran
pangan tercemar (pasal 21). Dari pasal tersebut, dapat diambil pengertian tentang
makanan yang aman sebagai berikut :
a. tidak mengandung bahan beracun, berbahaya atau dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia,
b. tidak mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan,
c. tidak mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan,
d. tidak mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai atau mengandung bahan
nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan
pangan tidak layak dikonsumsi manusia, dan
e. bukan makanan yang sudah kadaluarsa.
PENGAWETAN MAKANAN
Di Indonesia, bahan pangan dari hasil pertanian (termasuk di dalamnya hasil
peternakan dan perikanan) banyak mengalami kerusakan sebelum dikonsumsi. Data
menunjukkan sekitar 35-40% sayuran dan buah-buahan mengalami kerusakan sehingga
tidak dapat digunakan. Demikian pula susu, telur, daging, ikan, umbi-umbian serta
produk pertanian dan perikanan lainnya yang hanya sebagian saja dapat dimanfaatkan,
dan sisanya terbuang percuma.
Keadaan demikian memang sering terjadi pada bahan pangan hasil pertanian
karena sifatnya yang mudah rusak (perishable foods). Tanpa adanya pengolahan lebih
lanjut, bahan pangan tersebut lama kelamaan akan mengalami perubahan akibat
pengaruh fisiologi, mekanik, kimiawi, mikrobiologi yang dapat menyebabkan
kerusakan dan selanjutnya tidak dapat dikonsumsi. Oleh karena itu, diperlukan usaha
untuk menghambat kecepatan kerusakan bahan pangan agar daya simpannya menjadi
lebih panjang.
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai kerusakan bahan pangan baik
akibat aktivitas mikroorganisme maupun proses oksidasi. Sebagai contoh susu menjadi
basi, roti berjamur, pembusukan pada daging, sayur melunak serta ketengikan pada
makanan yang mengandung lemak dan minyak. Contoh tersebut merupakan bentuk-
bentuk kerusakan makanan yang disebabkan mikroorganisme patogen, yang dapat
dikenali dengan :
- Berjamur
Terdapat di bagian luar permukaan makanan yang tercemar akibat adanya kapang
anaerob. Makanan menjadi lekat, berbulu dan berwarna sebagai hasil produksi
miselium dan spora kapang.
- Pembusukan (rots)
Rusaknya bahan pangan menjadi lunak dan berair yang disebabkan oleh rusaknya
struktur jaringan bahan pangan tersebut.
- Berlendir
Tumbuhnya lendir pada permukaan makanan, umumnya disebabkan oleh
pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan makanan yang basah sehingga
terjadi perubahan flavor, bau yang menyimpang, atau pembentukan lendir dari
makanan tersebut.
- Perubahan warna
Terjadinya perubahan pigmen dari bahan pangan akibat terbentuknya koloni
mikroorganisme.
- Berlendir kental seperti tali (ropiness)
Perubahan pada makanan yang disebabkan terbentuknya kista pada permukaan
makanan tersebut.
- Kerusakan fermentatif
Kerusakan ini biasa ditandai dengan perubahan flavor dan pembentukan gas pada
makanan hasil fermentasi.
- Pembusukan bahan-bahan berprotein (putrefraction)
Dekomposisi anaerobik protein menjadi peptida atau asam amino mengakibatkan
bau busuk pada makanan, akibat terbentuknya amonia, hidrogen sulfida, amin dan
senyawa bau lainnya.
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
Kerusakan tersebut dapat dikurangi dengan penambahan bahan pengawet baik alami
(yang terdapat dalam bahan pangan seperti vitamin C), maupun sintetis seperti BHA
(butylated hidroxyanisole), dan BHA (butylated hidroxytoluen).
Pada prinsipnya pengolahan lebih lanjut atau pengawetan makanan (food
preservatives) dibedakan atas lama penyimpanan makanan tersebut sebelum digunakan.
Pada makanan yang segera diolah atau dikonsumsi, sebaiknya bahan makanan tersebut
dibiarkan dalam keadaan segar dan hidup. Jika tidak memungkinkan, segera
dibersihkan, kemudian dikemas dan disimpan dalam lemari pendingin. Untuk masa
penggunaan yang lebih lama, diperlukan upaya untuk mengurangi kebusukan akibat
mikroorganisme, berupa :
1. Penggunaan panas atau radiasi ion dan pengemasan untuk mengurangi perusakan
oleh mikroorganisme. Proses yang digunakan adalah pengolahan termal dengan
penggunaan panas atau suhu tinggi (seperti pemasakan, perebusan, penggorengan,
pemanggangan, penyangraian, penceluran/ blansing), dan pengaturan aliran udara
(pengalengan dan pengemasan kedap udara).
2. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan berkadar air
normal dengan pendinginan, pengasapan, perendaman dalam larutan garam
(curring), penambahan bahan pengawet kimia, pengasaman dan penyimpanan
dengan gas.
3. Pengurangan jumlah mikroorganisme dengan mengurangi kadar air, dengan cara
pengeringan, pernambahan gula, garam, pengental dan lain sebagainya.
4. Penghilangan mikroorganisme melalui penyaringan secara steril melalui pasteurisasi
dan sterilisasi.
Umumnya metode pengawetan makanan merupakan kombinasi dari dua atau lebih
dasar-dasar pokok yang disebutkan di atas, misalnya produk selai dapat tahan terhadap
mikroorganisme karena pH-nya rendah, kadar gula tinggi, aktivitas air rendah,
pemanasan saat dimasak, dan juga tekanan oksigen yang rendah (jika dikemas dalam
kemasan hematik selagi panas).
Prinsip pengawetan dapat dijabarkan dalam berbagai teknik pengawetan
makanan yang digolongkan secara alami, biologis dan kimiawi. Ketiga teknik memiliki
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
fungsi yang sama yakni untuk memperlambat pertumbuhan mikroorganisme pada bahan
pangan (sebagai antimikroba) dan mengurangi serta mencegah proses oksidasi.
Teknik pengawetan alami dilakukan dengan pengaturan suhu, kadar air dan
aliran udara. Contohnya, pemasakan, pendinginan, pembekuan, pengeringan dan
pengalengan. Proses pengawetan secara biologis misalnya dengan peragian/fermentasi.
Selain dapat memperpanjang daya simpan, proses ini juga meningkatkan nilai gizi dari
bahan pangan. Terakhir, pengawetan secara kimiawi, yang umumnya menggunakan
bahan tambahan makanan (BTM).
BTM adalah substansi tertentu yang ditambahkan pada makanan untuk
mendapatkan pengaruh tertentu, misalnya memperbaiki tekstur, rasa, penampilan serta
memperpanjang daya simpan. Oleh karena BTM memiliki berbagai fungsi, maka dalam
teknologi pangan dapat dikelompokkan antara lain, sebagai :
- Zat gizi, seperti vitamin, mineral, asam lemak dan asam amino essensial.
- Zat pengawet.
- Pewarna baik yang alami (karoten, khlorofil, xantofil, dan lain sebagainya) maupun
sintetis (seperti amaran, tatrazin, allura red).
- Flavor serta zat penguat flavor dan aroma.
Sebagai zat pengawet, BTM yang ditambahkan digunakan untuk meningkatkan
daya simpan dengan cara mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak
dikehendaki. Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk
asam atau garamnya. Aktivitas bahan pengawet tidaklah sama, seperti ada yang efektif
terhadap bakteri, khamir, ataupun kapang.
Zat pengawet organik lebih banyak digunakan daripada yang anorganik, karena
kemudahan dalam pembuatannya. Biasanya zat pengawet organik digunakan dalam
bentuk asam ataupun bentuk garamnya. Contohnya seperti garam, gula, asam sorbat
dengan garamnya, asam sitrat, Na-benzoat, asam propionat dan garamnya, asam asetat
serta epoksida. Sedangkan zat pengawet anorganik yang masih digunakan di antaranya
sulfit (dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K-sulfit, bisulfit, metabisulfit), nitrat/nitrit
beserta garamnya. Penggunaan sulfit selain bertujuan untuk pengawetan, juga dapat
mempertahankan warna dan flavor. Sulfit dapat pula melindungi asam askorbat dan B-
karoten, tetapi merusak tiamin. Selanjutnya, penggunaan nitrit pada produk pengolahan
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
daging tidak boleh melebihi 150 ppm bahkan pada negara-negara Barat hanya diizinkan
50 ppm, serta pada produk makanan bayi tidak boleh digunakan. Hal ini karena
ditemukannya senyawa nitrosamin akibat interaksi nitrit dengan asam amino yang
bersifat toksik dan karsinogenik.
Dengan demikian, pemakaian BTM yang aman membutuhkan pertimbangan
yang bijaksana. Jumlah BTM yang diizinkan digunakan dalam makanan harus
merupakan kebutuhan minimum untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan, dengan
memperhatikan : (i) perkiraan jumlah yang dikonsumsi atau BTM yang diusulkan
ditambahkan, (ii) ukuran minimal yang pada pengujian terhadap hewan percobaan
menyebabkan penyimpangan yang normal pada kelakuan fisiologisnya, dan (iii) batasan
terendah yang cukup aman bagi kesehatan bagi semua golongan konsumen. Selain itu,
pemakaian BTM tidak diperkenankan, bila digunakan :
a. untuk menutupi adanya teknik pengolahan dan penanganan yang salah,
b. untuk menipu konsumen,
c. menyebabkan penurunan nilai gizi produk, dan
d. pengaruh yang dikehendaki dapat diperoleh dengan pengolahan secara lebih baik
dan secara ekonomis lebih visibel.
Berikut ini adalah BTM golongan zat pengawet yang diizinkan sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan no. 722 tahun 1988 dan batas penggunaan BTM yang diizinkan
pada beberapa produk pangan.
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
BTM yang diizinkan :
• Asam benzoat • Kalsium propionat
• Asam propionat • Kalsium sorbat
• Asam sorbat • Natrium benzoat
• Belerang dioksida • Metil p-hidroksi benzoat
• Etil p-hidroksi benzoat • Natrium bisulfit
• Kalium benzoat • Natrium metabisulfit
• Kalium bisulfit • Natrium nitrat
• Kalium nitrat • Natrium nitrit
• Kalium nitrit • Natrium propionat
• Kalium propionat • Natrium sulfit
• Kalium sorbat • Nisin
• Kalium sulfite • Propil-p-hidroksi benzoat
• Kalsium benzoat
Sumber : PerMenKes No. 722/MenKes/Per/IX/1988
Batas penggunaan BTM golongan zat pengawet :
Nama BTM Jenis Bahan Makanan Batas Maksimum
Asam askorbat Tepung 200 mg/Kg
Ikan 1.000 mg/Kg
Aseton peroksida Tepung Secukupnya
Azodikarbonamida Tepung 45 mg/Kg
Kalsium stearoil-2-laktilat Adonan kue 5 gr/Kg bahan kering
Roti dan sejenisnya 3,75 gr/Kg tepung
Natrium staeryl fumarat Roti dan sejenisnya 5 gr/Kg tepung
Hidroklorida Tepung 90 mg/Kg
Roti dan sejenisnya Secukupnya
Nenni Dwi Aprianti Lubis : Pengawetan Makanan Yang Aman, 2009
USU Repository © 2008
Description:dalam bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih baik di masa yang akan datang yaitu makanan yang .. Nutrition for Dummies. Wiley Publishing