Table Of ContentParadox 2: The Blood of Pomegranate
by Itami Shinjiru
Category: Naruto
Genre: Adventure, Fantasy
Language: Indonesian
Characters: Naruto U., OC
Status: In-Progress
Published: 2014-12-23 13:35:51
Updated: 2016-04-10 14:39:41
Packaged: 2016-04-27 06:35:31
Rating: T
Chapters: 25
Words: 229,243
Publisher: www.fanfiction.net
Summary: Sekuel dari Paradox: Setelah menjadi pahlawan dunia dalam
Perang Dunia Naga IV, Naruto masih tidak bisa tenang. Pesan misterius
yang disampaikan melalui pembunuhan tak biasa mengantarkannya dan
Ardhalea menuju teka-teki dan ... musuh baru. Tidak ada yang tidak
bisa mereka tangani, namun sang musuh memiliki kekuatan yang bahkan
Sang Paradoks sekalipun tidak mengetahui tentangnya ...
1. Chapter 1: Entering the Trouble
**Author** : _Itami Shinjiru_
**Disclaimer** : _Naruto by Masashi Kishimoto. Sedikit bumbu
"Parody," dari __**Eragon**__, __**How to Train Your Dragon,
**__dan__** Percy Jackson & The Olympians**_
**Note** : _Semua nama naga, peralatan, atau kemampuan dan seluruhnya
yang tidak terkait dengan Naruto merupakan hasil pemikiran Author dan
__**TIDAK**__ terkait dengan fanfiction manapun, semirip apapun judul
atau plotnya. Beberapa OC baik karakter manusia atau makhluk mitologi
diambil dari legenda dan mitologi nyata dengan pengubahan
seperlunya._
**Rated :**_ T_
**Warning** : _Alternate Universe, Original Characters. _Maybe
contains some_ Out of Characters _and_ Typographical Error_
**About this fic : **_Ini merupakan sekuel dari fic Paradox –by
Itami Shinjiru_
**Genre****: **_ Fantasy, Adventure, Action, Romance. _Little bit of
Mystery
**Any Little Note****:**_ Tebak sendiri POV dalam tiap chapter_
* * *
><p><strong>~ PARADOX 2 ~ <strong>
**The Blood of Pomegranate**
**パラドックス ****2 ****- ****ザクãƒ-㕮血液**
CHAPTER SATU:
**Entering the
Trouble**
**Konohagakure**
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
PADA DASARNYA, BERJALAN-JALAN DI MUSIM GUGUR di taman bunga bersama
sese_orang_ bukan hal buruk.
.
Ini semua ide Naruto. Dengan berdalih dia terlalu banyak meringkuk
dalam selimut dan bergelung di tempat tidurnya yang nyaman ketika
musim gugur tiba tahun lalu, dia mengajakku jalan-jalan keluar. Kau
bukan beruang yang berhibernasi tiga bulan –apalagi di musim gugur.
Aku sudah mengingatkannya, tapi dia tetap dia yang kukenal, selalu
ceroboh dan bodoh, dan aku tidak mau berlagak keibuan.
Atau pacar, barangkali?
.
_Tidak bisa_ disebut begitu, sih. Kami sudah menyusuri taman ini
sekitar sepuluh menit lamanya, tapi tidak ada tempat yang tepat untuk
meregangkan kaki –dan selama itu aku dan Naruto berjalan beriringan
tapi terpisah dengan jarak sekitar empat puluh senti. Beberapa orang
mencuri-curi pandang ke arah kami, tapi aku tidak
mempedulikannya.
"Cari tempat untuk beristirahat," dengusku, "atau kuceburkan kau ke
sungai selagi airnya masih dingin."
Naruto hanya menyeringai seperti biasa, memamerkan deretan gigi-gigi
putihnya dengan sepaket ekspresi jahil yang mulai bosan kulihat tujuh
kali seminggu, dua puluh delapan sampai tiga puluh satu kali sebulan.
Rambut kuning blondenya berkibar diterpa angin, yang turut membawa
ratusan helai daun mapel, _birch_, dan ek di sekitar kami dengan
warna merah tua sampai kuning. Dia mengenakan jaket oranye tipis dan
lengannya dimasukkan ke dalam saku, terlihat cukup memenuhi standar
_cowok keren_ sampai kakinya terantuk sebuah batu dan nyaris
jatuh.
"Mengalahkan Keturunan Ketiga, menggagalkan pemekaran bunga Shinjuu,
dan menyelamatkan dunia," ujarku. "Dan kau hampir kalah oleh sebuah
batu?"
"Mengangkat gunung, membantai Kaum Kolosal, dan menjadi naga terkuat.
Tapi minta istirahat setelah berjalan-jalan sepuluh menit," balasnya
enteng.
Kalau saja aku baru mengenalnya satu-dua hari, isi keranjang piknik
di tangan kananku pasti sudah berhamburan. Ditambah sebuah pohon
mapel yang tercabut sampai ke akar-akarnya, barangkali. Aku mengibas
tangan. Telingaku sudah terlalu sering mendengar ocehan Naruto yang
semacam itu.
"Disana," aku menuding sebuah tanah datar dengan hamparan rumput yang
masih hijau seluas lapangan tenis. Naruto mengiyakan dan menggelar
karpet disana, langsung berbaring dan menghirup napas dalam-dalam.
"Udaranya akan jauh lebih dingin tiga bulan kemudian," katanya pada
dirinya sendiri. "Ah, biasanya dingin-dingin begini aku sedang berada
di rumah, meringkuk dalam selimut sambil ..."
"Minum secangkir teh panas," pungkasku, lantas menyodorkan gelas
plastik berisi teh hijau yang uapnya masih mengepul.
Dia terkekeh. "Kau selalu tahu apa yang kuinginkan."
Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan sedikit rona merah
yang mendadak terbit, tapi Naruto sudah hafal semua bahasa tubuhku
sejak setahun terakhir ini kami banyak –eh, yang kira-kira sekali
seminggu –oke deh, _minimal_ dua kali seminggu, aku dan Naruto
biasanya bersama, entah sedang melakukan apa. Baiklah, baiklah. Aku
tidak bisa jauh-jauh darinya, puas? Pokoknya, keadaan
berangsur-angsur membaik setelah Perang Dunia Naga Keempat dinyatakan
selesai, tuntas dengan kemenangan besar digenggam di pihak kami,
Aliansi _Dracovetth_ Lima Negara Besar dan _Etatheon_ beserta seluruh
naga pendukung dari berbagai penjuru dunia.
Kami merenovasi rumah Naruto sebulan setelah itu, tidak begitu banyak
dipreteli atau dipasang ulang karena dia lebih suka desainnya yang
dulu, tanpa mengabaikan ruangan rahasia di bawah tanah dan koleksi
perpustakaan pribadi ayahnya sekaligus pengendaraku
sebelumnya.
Rouran menjalin kerjasama dengan Sunagakure –tidak lagi terasing
seperti dulu, meskipun keduanya masih independen. Keberadaan
Perpustakaan Besar Alexandriana di Gurun Utara Tsuchi no Kuni sempat
membuat Yondaime Raikage agak berang karena perpustakaan di
Kumogakure tidak lagi menjadi yang terbesar dan terlengkap, namun
setelah berdiskusi selama beberapa pertemuan, kami sepakat hanya
mengedarkan nama Perpustakaan Alexandriana –berikut Oedipus dan
Ladon beserta para harpy dan potongan kecil Shinjuu di ruangan
rahasia itu, pada Lima Kage saja.
Deavvara kakakku telah mengucapkan permintaan maaf secara pribadi dan
juga mewakili Styx dan Droconos kepada Rouranian atas pembunuhan tiga
ratu sebelumnya, nenek dan ibu Sara, juga Konohagakure, dan
Sunagakure; garis besarnya, Lima Negara Besar. Tidak ada yang
mempertimbangkan permintaan maafnya lebih dari tiga puluh detik
karena Deavvara terbukti sangat membantu dalam Perang Dunia Naga
Keempat.
Kedelapan naga dewa sedang bebas-bebasnya. Dalam artian lain: mereka
tercerai-berai lagi. Deavvara menghilang entah kemana, Styx memeriksa
buku-buku di Perpustakaan Alexandriana, Pyrus seperti biasa, keliling
dunia dengan maksud tidak jelas, Hermes dan Beleriphon barangkali
sudah keluyuran sampai Kutub Selatan. Parthenon berada di Pulau
Apocalypse untuk sementara, dan aku di Konoha sini, bersama remaja 17
tahun yang mengidap penyakit hiperaktifitas.
"Kau imut waktu tersenyum," celetuk Naruto tiba-tiba dengan mata
setengah terpejam.
Aku tidak menanggapinya. Pertama kali memulai perjalanannya
meninggalkan desa sebagai _Draco P_, dia canggung kalau berada di
dekat perempuan. Sekarang ... tidak. Atau mungkin itu hanya berlaku
untukku saja?
Ia duduk dari posisi tidurnya.
"Ardhalea."
Aku menoleh.
"Kau tidak terlihat menua, ya," desisnya lirih.
"Begitulah."
Ia meneguk ludah. "Kalau aku –suatu saat, mati karena usia tua ...
kau akan mencari pengendara lain, kan?"
Aku terdiam sejenak.
"Manusia bukan makhluk abadi, Naruto," bisikku. "Setidaknya tidak
sepertiku. Tapi ... apa yang kau maksudkan?"
Naruto mengangkat satu alis, lantas menggosok kepala. "Duh. Kau ini
memang kurang peka, ya."
"Soal apa?"
"L-lupakan," katanya tergagap. Ia membuka keranjang piknik dan
mengeluarkan dua potong roti segitiga. Membelah bagian tengahnya
dengan pisau, lantas mengisinya dengan selada, tomat, potongan
daging, dan mustard. Ia menyodorkan satu padaku.
Kami makan dalam hening. Memperhatikan beberapa _Dracovetth_ yang
beterbangan bersama naganya, menukik menyentuh sungai berarus tenang
kemudian melancong jauh lagi. Awan-awan berarak damai diiringi
hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Taman ini sedang lumayan
ramai, tapi mereka semua cukup tahu diri untuk tidak mengusik dua
pahlawan penyelamat dunia yang sedang bersantai bersama.
Aku dan Naruto tidak membawa apa-apa selain keranjang piknik dan
terpal. Aku nyaris tertawa memikirkannya, sebab aku hampir tidak
pernah meninggalkan pedang perunggu-perak yang senantiasa bertengger
di pinggangku, atau setidaknya sebuah belati. Aku membaringkan
tubuhku diatas terpal, menyilang kedua tangan ke belakang kepala, dan
memejamkan mata. Semilir angin yang membawa aroma bunga dan dedaunan
kering membuat kedua mataku serasa seberat timbal.
Naruto beringsut mendekatiku, tidur di sampingku. Ia mengecup pipiku
singkat dan tersenyum kecil.
"Aku selalu tahu kau tidak akan pernah meninggalkanku," bisiknya
lirih. "Banyak hal yang bisa menjelaskan itu. Dan sekarang ini aku
tidak perlu bukti untuk memberitahu bahwa itu semua benar,
kan?"
"Tidak," jawabku singkat dengan pipi memerah. "L-lain kali kau harus
melakukannya di tempat yang lebih sepi," gerutuku.
Ia mengedikkan bahu. "Seperti di tepian tebing danau dekat rumahku
dulu?"
"Itu kejadian lain, bodoh."
Dia tertawa.
.
.
.
"AKH!"
Naruto berjengit, lantas berdiri. "Suara apa itu?"
Sudut mataku melihat kerumunan orang berkumpul dibawah pohon mapel
besar. Tanpa menunggu Naruto, aku berlari ke arah kerumunan, dan
orang-orang membukakkan jalan. Naruto menyusul setengah menit
kemudian, dan kami mendapati seorang laki-laki berjas terkulai di
akar pohon. Matanya terbuka, dan dari mulutnya keluar buih.
"Mati?" Selidik Naruto, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Beberapa orang mengangguk-angguk. Aku mendekat dan memeriksa denyut
nadinya.
"Ya," konfirmasiku. "Ada yang melihat detik-detik
terakhirnya?"
"Tentu," salah satu perempuan mengangkat tangan. "Keadaan sekitar
pohon tempat orang ini berjalan tadi sepi, lebih banyak orang
berkumpul di sebelah sana," tudingnya, "karena ada pertunjukan
panggung boneka. Tapi aku sendiri melihatnya meminum ini, lantas
mendadak bangkit dari kursinya, sempoyongan seperti orang mabuk,
menabrak pohon, lalu jatuh," lapornya sambil menyerahkan gelas
minuman plastik itu padaku.
Aku mengamatinya. Tidak ada yang aneh. "Minuman apa ini?"
"Jus kacang hijau," seseorang mendadak menyeruak diantara kerumunan
orang. "Dia membelinya di tokoku tadi."
Naruto mengamati orang itu dengan pandangan menyelidik. "Sepertinya
kami perlu menggiringmu ke polisi."
"Hentikan itu," aku menggerutu. "Kau selalu main serobot sana-sini.
Mana ada penjahat yang dengan mudahnya mengaku dia telah membunuh
seseorang dengan minuman yang dia jual?"
Si blonde menggaruk kepala. "Bisa jadi ini pengecualian?"
Aku menghela napas. Kubuka tutup gelas minuman itu dan mengendus
aromanya. Kacang hijau, sih.
Tapi ada yang aneh.
"Racun," desisku, membuat kerumunan orang maki merapat. Kuaduk-aduk
minuman yang baru setengah habis itu dengan tangan, lantas setelah
kurasa cukup, aku mengeluarkannya. Diantara cairan hijau tua kental
berserat kacang hijau di tanganku, ada sedikit bilur hijau yang lebih
muda. "Racun dari seekor _Pinthowra_."
"Seperti naga milik Hanzo di Amegakure itu?" Tabrak Naruto. Aku
mengangguk.
"Tapi bukannya Hanzo no Sashuoo dan naganya sudah mati saat Perang
Dunia Naga Keempat?" Serobot salah satu pengunjung.
Aku mengangguk sekali. "Kalian pikir _Pinthowra_ cuma milik Hanzo?"
Aku melirik si penjual minuman. "Kau punya jenis itu di
rumahmu?"
"Punya naga saja tidak," akunya.
Aku mengedarkan pandangan berkeliling. "Ada yang menemukan bukti lain
selain minuman ini?"
Wanita yang mengaku sebagai saksi itu berjalan ke arahku dan
menyodorkan sebuah tisu. "Ini ditemukan bersama minuman itu."
"Oh, tokoku memang memberi bonus sehelai tisu untuk jaga-jaga
kalau-kalau minumannya tumpah," imbuh si penjual. Aku mengendus
tisu.
Bau kunyit.
"Ada yang melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar sini?" Kali
ini Naruto yang bertanya. Tidak ada yang menjawab.
"Ayo, Naruto," ajakku. "Kita ... pergi dari sini. Yang lainnya,
hubungi ambulans. Kami sendiri yang akan menemukan siapa
pelakunya."
.
.
.
* * *
><p><strong>Naruto's Home<strong>
"Bau kunyit?" Selidik Naruto setelah mengendus tisu tadi. Aku
mengangguk.
"Apa hubungannya kunyit dengan kacang hijau? Kalau keduanya dicampur
bukannya rasanya jadi aneh?"
Aku mendecih. "Sekarang bukan saatnya memikirkan
minuman."
"Sungguh," Naruto bangkit dari kursinya, mencari-cari sebuah buku di
rak perpustakaan mini ayahnya. "Kunyit dan kacang hijau itu bagai
bumi dan langit! Mereka berdua berbeda sekali, kan?"
"Si pelaku menyeludupkan racun _Pinthowra_ dalam dosis yang sangat
tepat," aku menggumam sendiri. "Cukup banyak untuk membunuh manusia,
tapi cukup sedikit sehingga tidak mengubah bau dan rasa serta warna
minuman yang sama-sama hijau. Durasinya juga tepat. Korban sempat
meminum separuh isi gelas sebelum tewas. Kalau terlalu banyak, baru
beberapa teguk saja seharusnya dia mati. Dompet dan barang berharga
si korban tidak diambil, yang menurutku aneh. Ini bukan pembunuhan
biasa."
"Mungkin tidak si pembunuh meninggalkan pesan?" Selidik Naruto
datar.
Aku mengamati tisu, lantas berlari ke kamar mandi.
Dua menit kemudian, aku membeberkan tisu itu diatas meja. Tulisan
samar-samar tampak.
'_Menara Anglelo, 22.22'_
"Bagaimana bisa ini ada disini?" Gerutu Naruto.
"Kunyit adalah senyawa asam," aku menjelaskan. "Dan untuk bisa
melihatnya dengan jelas, kita butuh lawan dari asam, yaitu basa. Dan
bahan basa yang paling mudah ditemukan di rumah seperti ini adalah
... sabun. Membasahinya dengan air sabun sudah cukup untuk
menampakkan tulisan itu."
"Bagus sekali," ucapnya pendek, "lalu apa maksud ini? Menara Anglelo
bukannya menara yang di sebelah Timur Otafuku Gai? Itu kira-kira 12
kilometer dari sini, kan. Kudengar Menara Anglelo sudah runtuh dua
tahun yang lalu gara-gara tersambar petir dan tidak pernah dibangun
lagi karena sudah dianggap tidak ada gunanya?"
"Reruntuhannya bisa dijadikan semacam markas," kataku. "Masalahnya
... kita tidak tahu pada siapa pesan ini ditujukan. Bagaimana kalau
ternyata si korban sendiri yang menulisnya, tapi tiba-tiba
dibunuh?"
"Hanya ada satu cara," kata Naruto misterius.
"Apa?"
"Kita harus pergi ke tempat itu pukul 22.22. Jam sepuluh malam lewat
dua puluh dua menit."
"Darimana kau yakin?"
"Menebak-nebak saja. Panggil Kurama dan Demetra bersama untuk
jaga-jaga. Kalau itu benar markas musuh, berarti mereka sudah
memanggil ular ganas nan mematikan ke sarang
tikus."
.
.
.
_BLAAARR!_
Naruto mengumpat. "Ada apa lagi sih?"
Kami berlari keluar. Sebuah kawah berdiameter tiga meter tampak
persis di depan halaman depan rumah. Dari kepulan asap, muncul seekor
naga berwarna abu-abu dengan rahang seperti sumpit –panjang dan
kecil, dengan deretan gigi-gigi seperti jarum di mulutnya. Sekujur
tubuhnya dipenuhi duri dan sepasang sayap besarnya terlihat seperti
jalinan kawat baja. Ia menatap kami dengan mata berwarna merah
marunnya, lantas melontarkan sebuah benda berbentuk duri ke
depan.
Aku menumbuhkan sayap, mengepakkannya. Duri itu berbalik nyaris
menghantam si naga, membuat satu kawah lagi di tanah. Ia berkelit
menghindar dan terbang, menukik langsung ke arah kami. Aku
mengepakkan sayapku untuk kedua kalinya dan dia terlempar
lagi.
"Tipe yang aneh," desis Naruto. Ia melakukan Kagebunshin dan
merengsek maju, masing-masing dengan Rasengan di tangan.
Naga itu gesit, menghindar dari semuanya dan menukik lagi ke rumah.
Kulayangkan tinjuku ke rahang atas depannya –BUK!
Dia jatuh dengan suara berdebum. Momentumnya yang besar membuat
pukulan itu terasa sepuluh kali lebih menyakitkan, pasti menggetarkan
rongga kepalanya dan meretakkan tengkoraknya.
"Semudah itu?" Naruto menggaruk leher. "Hanya cari masalah
saja."
"Kita apakan dia?" Tanyaku, menyadari ada bangkai naga seberat
beberapa kuintal teronggok bisu di halaman rumah Naruto.
_Tapi dia sudah tidak ada._
Naruto menggaruk kepala. "Barangkali dia hanya pura-pura mati.
Sepertinya aku harus mengirim pesan ke Sasuke untuk datang segera,
membantu memecahkan teka-teki ini."
Malam tiba. Kami makan malam lebih awal hari ini –pukul setengah
tujuh, lantas bersiap-siap tidur sebentar pukul sembilan. Cuma
tidur-tidur ayam, tapi itu akan membantu memulihkan tenaga dan
pikiran yang terkuras hari ini.
Membaringkan diri di kamar orangtua Naruto, aku menghela napas. Entah
kenapa hari ini terasa begitu aneh, dan bukan cuma karena misteri
pembunuhan terencana atau seekor naga yang mendadak menyerang rumah,
tapi karena aku merasakan sumber kekuatan lain yang menakutkan di
dekat sini. Tidak begitu jauh ... pasti kurang dari 20 kilometer.
Bahkan dari jarak seperti itu, aku masih bisa merasakannya.
Kekuatan yang bersumber dari makhluk hidup tua yang telah hidup lama
bahkan sebelum _Etatheon_ dibentuk.
Sebelum _Etatheon_ dibentuk?
Aku mengenyahkan pikiran itu. _Tidak mungkin_.
Tidak mungkin _dia_.
_Mustahil_ Laramidia masih eksis. Aku melihatnya sendiri hancur
berkeping-keping, tercacah jadi triliunan atom tak berarti ketika
jutsu Delapan Cincin Naga Penjuru menghantamnya. Kedua saudaranya
juga ... apalagi. _Lebih_ tidak mungkin.
Kurasa memang bukan. Kekuatan ini bahkan _lebih_ tua daripada
Laramidia itu sendiri.
Horus dan Haumea? Mana mungkin. Mereka telah melakukan gencatan
senjata seumur hidup –yang mungkin tidak lama lagi karena mereka
sudah sangat sepuh- dan menghilang dari sorotan dunia entah
kemana.
Kaum Kolosal? Masih menunggu 274 tahun lagi untuk bangkit.
Jengah memikirkannya, aku akhirnya
terlelap.
.
.
.
.
"Ardhalea."
Aku membuka mata. Bunyi air mancur terasa akrab di telingaku, dan
delapan ruangan berhiaskan simbol-simbol naga kuno di ruangan mewah
bergaya Yunani mulai mengisi energiku. Kuil Etatheon.
Sosok itu berdiri tepat di sebelah air mancur. Sayap berbulu sehitam
malamnya tampak layu. Wajah tirusnya diprogram untuk menampilkan
ekspresi datar yang membuatku bosan setengah mati, tapi aku sudah
merindukan makhluk beriris ungu di depanku.
"Ada masalah apa, Kak?" Sambutku datar. "Sampai mengirim telepati
mimpi tanpa bilang-bilang."
Deavvara tertawa kikuk –sungguh deh, dia malah lebih cocok tertawa
jahat penuh ambisi daripada tawa akrab yang masih kelihatan
dibuat-buat walau sudah setahun lebih dia memutuskan untuk berubah
baik.
"Kau masih sama, langsung terabas sana-sini ke pembicaraan inti. Apa
Naruto tidak mengajarimu basa-basi dengan lawan bicara sebelum
membahas persoalan utama?"
"Tidak."
Deavvara memijat keningnya. "Ini memakan waktu. Tadinya aku ingin
menghubungimu sore-sore, tapi baru bisa malam ini. Dengar, Ardhalea.
Mengesampingkan sifatmu yang tidak berubah, emm ... apa kau merasakan
tarikan Gaya Koroiois di sekitar Konoha?"
Aku mengernyit. "Gaya Koroiois."
"Iya."
"Apaan tuh?"
Deavvara menabrakkan kepalanya ke mangkuk air mancur.
"Aku pernah mendengarnya, tapi tidak tahu lebih jauh,"
tuntutku.
"Gah," gerutunya, "aku tidak ingat kau belum tahu soal ini. Gaya
Koroiois. Semacam medan magnetik alami yang hanya dimiliki oleh
beberapa spesies naga –antara lain _Saxoen Angelo_,
_Treppondhliala_, _Nrerema_, dan _Koeios_."
"Semua yang kau sebutkan adalah spesies naga yang sudah punah
berabad-abad lalu."
Deavvara mengangguk mengiyakan. "Tepat. Mereka diburu karena semua
naga yang punya Gaya Koroiois dianggap punya kemampuan untuk
memanggil iblis, tapi ya ampun, _makhluk_ macam apa sih itu? Dasar
manusia, mau saja percaya pada isapan jempol begituan. Omong-omong,
Gaya Koroiois ini, adalah medan magnetik yang dapat mengganggu chakra
dan kemampuan dasar naga manapun –tak terkecuali _Etatheon_- kalau
berada di dekatnya dalam radius beberapa ratus meter. Um, semakin
kuat naganya, biasanya semakin kuat Gaya Koroioisnya."
"Dan kau merasakannya."
"Tepat," sahutnya. "Semua naga yang punya Gaya Koroiois adalah
naga-naga kelas atas, bisa disetarakan dengan _Wivereslavia_. Hari
ini aku menjumpai seekor _Saxoen Angelo_ di Takigakure –bukankah
itu sangat hebat? Kita semua mengira mereka sudah punah, tapi ini
satu-satunya _Saxoen Angelo_ yang ada. Dan, Ardhalea ... dia masih
anak-anak. Usianya kira-kira baru 17 tahun, padahal _Saxoen Angelo_
bisa mencapai umur hingga seperempat milenia. Aku akan melindunginya
sampai saat itu tiba, dan ... bisakah kalian kesini? Terlalu beresiko
untukku yang masih punya sedikit stempel naga jahat bagi orang-orang
udik. Kita harus membesarkan naga ini baik-baik sebelum dia mengenal
dunia yang sesungguhnya, dimana ada kemungkinan dia jadi
jahat."
"Kau mau kami kesana kapan?"