Table Of ContentKRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP
SUNNAH IMÂM AL-SYÂFI’Î
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Rino Ardiansyah
1113034000020
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/ 2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
ا
b be
ب
t te
ت
ts Te dan es
ث
j je
ج
h h dengan garis bawah
ح
kh Ka dan ha
خ
d de
د
dz de dan zet
ذ
r er
ر
z zet
ز
s es
س
sy es dan ye
ش
s es dengan garis di bawah
ص
d de dengan garis di bawah
ض
t t dengan garis di bawah
ط
z z dengan garis di bawah
ظ
‘ koma terbalik di atas hadap kanan
ع
gh ge dan ha
غ
f ef
ف
q ki
ق
k ka
ك
l el
ل
m em
م
n en
ن
w we
و
h ha
ه
` apostrof
ء
y ye
ي
i
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I Kasrah
و U dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي
Ai a dan i
و Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
Arab
اى â a dengan topi di atas
يى î i dengan topi di atas
ىى û u dengan topi di atas
ii
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرَ وْ رُ ضَّ لا tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang bersiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
nomor 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata
sifat (na’t) (lihat nomor 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut doalihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat nomor
3). Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1 تقيرط tarîqah
2 تّيملاسلإا تعماجلا al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 دىجىلا ةدحو wahdat al-wujûd
iii
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
iv
Kata Arab Alih Aksara
ذُ اَخسْ ُلأا بَ َهذَ dzahaba al-ustâdzu
رُ جْ َلأا جَ َبَث tsabata al-ajru
تَّيرِ صْ عَ لا تكَ رَ حَ لا al-harakah al-‘asriyyah
الله لََِّإ َهلِإ لََ نْ َأ دُ َهشْ َأ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
حِلاصَ لا كِلامَ اَنلََىْ مَ Maulânâ Mâlik al-Sâlih
الله مُ كُ رُ ِّثؤَ ُي yu`atstsirukum Allâh
ثارَ ىْ ُظحْ مَ لا حُ يِْبُح ةرَ وْ رُ ضَّ لا al-darûrah tubîhu al-mahzûrât
v
ABSTRAK
Tulisan ini pada dasarnya ingin menemukan konsep sunnah yang sesuai
dengan perkembangan zaman. Dinamika kajian terhadap sunnah tersebut memang
tidak pernah menemukan jalan buntu sejak zaman Nabi hingga zaman kontemporer
saat ini. Pembahasan mengenai sunnah memang membutuhkan sebuah metode serta
pembaharuan yang dikembangkan secara berkala dan terus-menerus agar dapat
menjawab tantangan zaman yang semakin berkemabang. Pada awal abad ketiga
hijriah muncullah seorang ‘ulama ternama yang mencoba merumuskan gagasan
konsep sunnah. Adalah Imâm al-Syâfi’î yang merupakan ‘ulama klasik pertama yang
berasumsi bahwa seluruh sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah yaitu sunnah
al-hikmah. Apalagi al-Syâfi’î menggunakan gagasan ‘ishmah (suci dari dosa) sebagai
sifat dari seluruh Nabi, dan terutama Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, gagasan klasik yang sudah diutarakan oleh al-Syâfi’î ini
dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, Nasr
Hâmid Abû Zayd mencoba melakukan pembokaran framework klasik yang sudah
eksis sedemikian lama. Metode deskriptif-analisis serta melakukan komparatif antara
konsep sunnah klasik dengan kontemporer sampai kepada kesimpulan bahwa sunnah
bukan merupakan bagian dari wahyu. Bagi Abû Zayd khususnya sebagai tokoh
kontemporer, sunnah merupakan ijtihad Nabi dalam memahami wahyu, karena
sebagai sebuah produk pemahaman, maka sunnah memiliki sisi dimensi kemanusiaan
(bashari), berbeda dengan al-Qur’an yang memiliki wahyu dalam dimensi ketuhanan.
Menyejajarkan keduanya sama saja menyejajarkan dua hal yang berbeda.
Abû Zayd menyadari bahwa di dalam kajian ini sebenarnya sunnah yang
bersumber dari Nabi terbagi menjadi dua kategorisasi yaitu sunnah al-wahyi dan
sunnah al-âdah wa al-taqalid. Sunnah al-wahyi merupakan perkataan Nabi yang
berfungsi sebagai penjelas ketentuan di dalam al-Qur’an yang masih bersifat global.
Lebih lanjut, sunnah ini berfungsi sebagai komplementer al-Qur’an sehingga sunnah
ini harus diikuti serta mengikat baik ketika Nabi Muhammad masih hidup maupun
generasi setelahnya. Sedangkan sunnah al-‘âdah wa al-taqalid sebagai sunnah yang
mencerminkan sejumlah tindakan Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berada
pada penggal waktu dan tempat tertentu dalam konteks sosio-historis masyarakat
Arab pada abad ke-7 M. Dalam konteks ini, tindakan Nabi Muhammad terkait dengan
kebiasaan dan adat-istiadat masa tersebut serta menggambarkan kondisi baik historis,
sosial maupun kultural serta tidak memiliki ikatan bagi komunitas di luar masyarakat
pewahyuan pada masa tersebut.
Kata kunci: Nasr Hâmid Abû Zayd, Imâm al-Syâfi’î, sunnah, pemahaman
vi
Description:dengan menggunakan analisa “wacana” serta pendekatan hermeneutika. 22 dan semiotika Rasulullah sebagai penyampai dan pengurai wahyu.