Table Of Content1
Daftar Isi
Definisi ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas....................................................................................2
Kaidah dan Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil -
Dalil
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas....................................................................................3
Makna Ahlussunnah Wal Jama’ah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas....................................................................................6
Makna Salaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas....................................................................................9
Obyek Kajian Ilmu ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas..................................................................................11
Penjelasan Kaidah – Kaidah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil – Dalil..................14
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas..................................................................................14
Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas..................................................................................23
2
Definisi ‘Aqidah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Jumat, 8 Oktober 2004 05:46:14 WIB
‘Aqidah menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqdu yang berarti ikatan, at-Tautsiqu yang
berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-Ihkamu artinya mengokohkan / menetapkan,
dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyah adalah: Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid [2] dan ta’at kepada-
Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir,
taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-
Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang
shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po
Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_______
Foote Note
(1)Lisaanul ‘Arab (IX/311:) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah dan Mu’jamul Wasiith
(II/614:)
(2)Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ dan Shifat Allah.
(3)Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdil Kariem
al-‘Aqil, cet. II, Daarul ‘Ashimah-1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr.
Nashir bin ‘Abdil Kariem al-‘Aqil.
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1074&bagian=0
3
Kaidah dan Prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Mengambil dan
Menggunakan Dalil - Dalil
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rabu, 12 Januari 2005 22:48:44 WIB
1.Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang shahih dan ijma’ Salafush Shalih.
2.Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wajib diterima, walaupun sifatnya Ahad.[2] Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. [Al-
Hasyr: 7]
3.Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah adalah nash-
nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush
Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari
bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi
dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
4.Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu
yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal
tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah
terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:
4
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. [Al-Maaidah : 3].
RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Barangsiapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian
darinya, maka amalan-nya tertolak” [3]
5.Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara
lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Quran dan as-Sunnah yang shahih,
(baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau
penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun
pendapat imam-imam dan lainnya.
6.Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.
Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan
selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli
(ayat ataupun hadits) harus didahulukan.
7.Rasulullah 'Alaihi shallatu wa sallam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari
kesalahan) dan para Shahabat Radhiyallahu ajmain secara keseluruhan dijauhkan
Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang
pun dari mereka yang ma’shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang
selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia
adalah orang yang berijtihad.
8.Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan)
dengan cara yang baik itu masyru‘ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada
dalil dan keterangannya dalam al-Quran dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut
dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan
5
menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam
pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya
(misalnya tentang Sifat Allah, qadha’ dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang
ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah
selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah Azza wa Jalla. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Artinya : Tidaklah sesat suatu kaum setelah
Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan
kemudian membacakan ayat:
Artinya : Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau
dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan
dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar’” [Az-Zukhruf : 58]. [4]
9.Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Quran dan as-
Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu
masalah. Oleh karena itu, suatu bid‘ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi,
kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[5]
10.Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid‘ah.
Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di Neraka." [6]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
________
Foote Note
(1)Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal
Jamaa‘ah fil ‘Aqiidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
(2)Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
(3)HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
(4)HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), disha-hihkan oleh al-Hakim (II/447-
448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan.” Dari Shahabat Abu Umamah al-
Bahily Radhiyallahu 'anhu
(5)Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid’ahnya Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah,
dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti
bid’ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang
tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak
mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang
bid’ah yang dilawan dengan bid’ah. Wallaahu a’lam.
(6)HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-
Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1299&bagian=0
6
Makna Ahlussunnah Wal Jama’ah
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Minggu, 17 Oktober 2004 08:25:52 WIB
Ahlusunnah wal jama'ah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu
Ajma'in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’
(mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu
Ajma'in.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti,
orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H):
“As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa
yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin
dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang
sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali
kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan
al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh
(wafat th. 187 H).” [3]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah
dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang
kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan
Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat,
karena berkumpul di atas kebenaran.[5]
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk
berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya.
Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena
kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-
orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu[6]: “ Artinya : Al-
Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru
dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga
disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan
sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-
Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’ (orang asing).
Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan
perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang
7
yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian
itu.” [8]
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Artinya :
Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka
beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]
Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu
hari menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-
orang yang jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.”
[10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:
“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah
rusaknya manusia.” [11]
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku
(Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” [12]
Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga
Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah
dengan Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena
penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal
ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak,
‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya,
Rahimahullah[13].
Imam asy-Syafi’i [14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat
seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka
telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha
mereka.” [15]
Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah,
“Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah
Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu
Ajma'in dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih,
kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi
sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur
maupun di barat.” [16]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po
Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_________
Foote Note
(1)Lisanul ‘Arab (VI/399).
(2)Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
(3)Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin
Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H.
(4)Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
(5)Syarah Khalil Hirras, hal. 61.
(6)Seorang Shahabat Nabi j, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu
‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika
Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah bintu Khaththab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah,
mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang
yang paling ‘alim tentang al-Qur-an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi.
Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin
dan diutus oleh ‘Utsman ke Madinah. Beliau Radhiyallahu 'anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368
no. 4954).
8
(7)Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman,
Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160.
(8)HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Shahabat Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu.
(9)HR. Muslim no. 145 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
(10)HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah
Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
(11)HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-Laalika-iy dalam Syarh
Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini
shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan
Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273.
(12)HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shabahat ‘Amr bin ‘Auf
Radhiyallahu 'anhu.
(13)Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya Imam
Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-
Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly.
(14)Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi asy-Syafi’i
Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak
paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau
dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud,
wara’, ‘alim, faqih dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab
karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan lainnya. Lihat Siyar
A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah
‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin
‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
(15)Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
(16)Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1105&bagian=0
9
Makna Salaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rabu, 13 Oktober 2004 07:21:02 WIB
Menurut bahasa, Salaf artinya ‘nenek moyang’ yang lebih tua dan lebih utama[1]. Salaf
berarti para pendahulu. Jika dikatakan "salafu ar-rojuli" = salaf seseorang, maksudnya kedua
orang tua yang telah mendahuluinya.[2]
Menurut istilah, kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini,
yang terdiri dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk
pada tiga kurun (generasi/ masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:“Artinya : Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya
(masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” [3]
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih ialah generasi pertama dari ummat ini yang
pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, menjaga sunnahnya, Allah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan untuk menegakkan agama-Nya...” [4]
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Islamiyyah
baina Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dibatasi waktu, bahkan
harus sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang
aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-
Qur-an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf,
maka ia disebut Salafy meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya,
barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafy
meskipun ia hidup pada zaman Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. [5]
Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi
penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama
dari ummat ini, yaitu para Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyun karena mereka mengikuti
manhaj Salafush Shalih dari Shahabat dan Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti
jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka di sepanjang masa, mereka ini disebut
Salafy, karena dinisbatkan kepada Salaf. Dan Salaf bukan kelompok atau golongan seperti
yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam
ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlaq dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap
muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah
dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (wafat th. 728 H) [7] berkata : “Bukanlah
merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada
Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali
kebenaran.” [8]
Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M
_________
Foote Note
(1)Lisanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) Rahimahullah
10
(2)Lihat al-Mufassiruun baina Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin
‘Abdirrahman al-Maghraawi. Mu-assasah ar-Risalah 1420 H.
(3)Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhary (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (211)) dari Shahabat Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu 'anhu
(4)Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
(5)Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush
Shaalih hal 34.
(6)Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin
‘Amir ar-Ruhaily, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim
bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah.
(7)Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdil Halim bin ‘Abdissalam bin ‘Abdillah bin Khidhr bin Muhammad bin ‘Ali
bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran
(daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati
dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk
Mujaddid abad ke-7 H dan hafal al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t mempunyai murid-murid yang ‘alim
dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdil Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat
th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H), Syam-suddin Ibnu Muflih (wafat th. 763
H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir(wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibni Katsiir.
‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau t seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan
kebenaran, berjuang untuk menegakkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat g
tetapi Ahlul Bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau
menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada
penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728
H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan
beliau t ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
(8)Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/149).
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1092&bagian=0
Description:Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka .. 204 H dalam usia 54 tahun.