Table Of ContentBAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
Bab  II  ini  akan  membahas  tentang  perilaku  prososial.  Ada 
beberapa    dimensi-dimensi  dan  juga  faktor-faktor  yang  menjadi 
prediktor  bagi  perilaku  prososial  khususnya  dikalangan  siswa  serta 
bagaimana pengaruh pola asuh authoritative dan kecerdasan emosional 
yang menjadi prediktornya. 
2.1 Perilaku Prososial 
2.1.1  Pengertian Perilaku Prososial 
Perilaku  Prososial  adalah  tindakan  yang  memberikan  keuntungan 
pada pihak lain yang terdiri dari berbagi, menyumbang, dukungan emosional 
atau belarasa, pertolongan dan kesediaan diri untuk membantu. (Fabes & 
Eisenberg, 1998). 
Ahli  lain  yang  sepaham  dengan  Eisenberg  mengatakan  bahwa 
perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memberikan keuntungan pada 
pihak  lain  tanpa  harus  menghasilkan  keuntungan  bagi  pelaku  prososial, 
bahkan  dalam  kondisi  tertentu  bisa  mendatangkan  resiko  bagi  yang 
melakukan tindakan itu (Baron & Byrne, 2006). 
Perilaku  Prososial  mempunyai  maksud  untuk  menyokong 
kesejahteraan  orang  lain,  dermawan,  persahabatan,  kerjasama,  menolong, 
menyelamatkan, adalah bentuk-bentuk perilaku prososial yang sangat jelas 
(Eisenberg et al., 1995). 
Ada  tiga  indikator  untuk  mengukur  suatu  perilaku  dapat 
dikategorikan sebagai perilaku prososial yaitu: Pertama, tindakan prososial 
berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan dari pihak pelaku; 
Kedua,  tindakan  itu  dilakukan  secara  sukarela,  dan  Ketiga,  tindakan  itu 
menghasilkan kebaikan bagi penerimanya. 
13
Berdasarakan definisi dan batasan para ahli tersebut dapat ditarik 
kesimpulan bahwa Perilaku Prososial adalah segala bentuk perilaku positif 
yang memberikan ssuatu manfaat bagi penerima, baik dalam bentuk materi, 
fisik  ataupun psikologis serta  memberi keuntungan pada  orang lain atau 
dirinya sendiri. 
2.1.2 Teori Perilaku Prososial 
Teori  Perilaku  Prososial  bisa  dilihat  dari  sudut  pandang  teori 
psikoanalisis, teori behaviorism and social learning dan teori perkembangan 
kognitif.  Dalam  perkembangan  berikutnya  teori  prososial  dilihat  sebagai 
pengertian  pemikiran  yang  berkaitan  dengan  sosialisasi  (Staub,1979), 
sosialisasi (Grusec & Goodnow, 1994), dan empati (Hoffman, 2001).  
Dilihat dari konsep teori maupun hasil temuan empiris di lapangan 
ditemukan bahwa Perilaku Prososial dan empati  sudah ada pada anak-anak 
sejak  awal  kehidupannya.  Hoffman  et  al.  (2001)  telah  menguji 
perkembangan  Perilaku  Prososial  dan  empati  dengan  cara  mendapatkan 
respon yang diberikan oleh anak-anak. Respon yang diberikan oleh bayi dan  
anak-anak dikategorikan dalam beberapa jenis yaitu: respon afeksi, respon 
kognisi,  respon  self-awareness,  respon  self-diferentiation  yang  mengarah 
kepada Perilaku Prososial. Secara khusus Hofman mencatat melalui tahapan 
usia perkembangan bayi dan anak perilaku prososial dapat dilihat dari self-
concern yang mampu memberikan respon terhadap distress orang lain lalu 
membawanya kepada empathic concern. 
Mengacu kepada penelitian Hoffman (2001) yang mengatakan bahwa 
Perilaku  Prososial  sudah  ada  sejak  awal  usia  kehidupan  manusia,  maka 
Eisenberg  &  Lennon  (1983)  menemukan  data  empiris  berkaitan  usia 
perkembangan  perilaku  prososial  pada  bayi  dan  anak-anak  sampai  usia 
dewasa. Pada usia 6 bulan, bayi akan  ikut menangis ketika bayi didekatnya 
menangis. Pada usia 38 sampai 61 minggu, bayi mampu memberikan reaksi 
14
dalam  bentuk  menangis  yang  bersifat  distress  sebagai  tanggapan  atas 
tangisan  bersifat  distress  yang  ada  di  sekelilingnya.  Bahkan  bayi  juga 
sanggup memberikan reaksi afeksi yang positif yang ada di sekelilingnya 
dengan cara senyum dan tertawa (Yarrow et al.,1983). Pada usia 12 sampai 
18  bulan  bayi  sanggup  memberikan  reaksi  terhadap  distress  orang  lain 
dengan memberikan reaksi negatif. Bayi juga mapu memberikan concern 
attention dan perilaku prososial dengan memberikan kontak yang positif dan 
ungkapan verbal (Waxler and Robinson, 1995). 
Pada  awal  kehidupan  anak-anak  menunjukkan  perilaku  prososial 
yang  bersifat  egocentris  dan  unsympathetic  reaction  seperti  tertawa, 
meronta, menagis (Yarrow et al., 1983). Hoffman (2001) mengatakan bahwa 
perilaku prososial berkaitan dengan perkembangan kognitif. Pada fase anak-
anak, perilaku prososial berkaitan dengan pengenalan akan dirinya sendiri. 
Anak-anak juga mampu mengerti mengapa orang lain mengalami kesusahan. 
Pada usia 2 sampai 5 tahun, perkembangan kognitif mereka sudah memiliki 
relasi  dengan  perilaku  prososial.  Fabes  &  Eisenberg  (1998)  mengatakan 
bahwa pada usia 3 sampai 6 tahun perilaku prososial anak-anak berkaitan 
dengan  teman  sebaya  terutama  di  sekolah.  Anak-anak  yang  belum 
bersekolah berperilaku prososial lebih rendah dibanding dengan anak-anak 
yang sudah bersekolah. Pada usia Sekolah Dasar yaitu antara 6 sampai 12 
tahun anak-anak sudah memiliki stabilitas perilaku prososial yang mantab 
hal  ini  berkaitan  dengan  perkembangan  kognisi  mereka  yang  bersifat 
independen. 
Pada  usia  remaja  perilaku  prososial  cenderung  lebih  meningkat 
dibandingkan dengan perilaku prososial mereka pada waktu masih anak-anak 
usia 7 sampai 12 tahun (Fabes & Eisenberg, 1998). Selain itu Bandura juga 
menggunakan  teori  belajar  tradisional,  yaitu  hampir  semua  tingkah  laku 
manusia dipelajari serta dibentuk dari peristiwa yang terjadi di lingkungan. 
15
Konsep  penting  dalam  teori  Bandura  yaitu  observational  learning. 
Observational learning merupakan proses dimana individu mengintimidasi 
apabila mengikuti model, masuk dalam pikiran mengenai apa yang telah 
diobservasi,  serta  dapat  mengartikan  secara  fisik  perilaku  yang  telah 
diobservasi, sehingga memiliki motivasi untuk melakukan hal yang sama 
dengan apa yang telah diobservasi tersebut (Eisenberg & Mussen, 1989). 
Selain itu Eisenberg & Mussen, (1989) menggunakan teori Bandura 
bahwa faktor kognitif internalmengambil keputusan untuk bertindak sangat 
memengaruhi individu dalam. Individu secara simbolis dapat memanipulasi 
informasi  yang  didapatkan  dari  pengalaman  sehingga  mampu  untuk 
menghasilkan pengetahuan baru. Aktivitas kognitif dapat mengarahkan serta 
mengatur  tingkah  laku  individu.  Penggunaan  representasi  kognitif  dapat 
membuat individu mengantisipasi perilaku yang akan dilakukan serta bisa 
memilah tindakan apa yang akan dilakukan. Individu dapat menyusun tujuan 
bagi dirinya dan melakukan evaluasi secara negatif apabila tidak konsisten 
antara  representasi  kognitif  dengan  perilaku  yang  sesuai  (Eisenberg  & 
Mussen, 1989). 
Individu  memiliki  proses  perencanaan  terhadap  seluruh  dimensi 
hidupnya untuk mewujudkan dirinya yang ideal menurut satandar yang telah 
dimilikinya  melalui  proses  sosialisasi  dengan  keluarga  dan  masyarakat. 
Demikian  juga  secara  sosial  individu  memiliki  perencanaan  hidup  untuk 
mewujudkan diri secara sosial sehingga bisa diterima dan bermakna secara 
sosial.  Pada  keadaan  ini  individu  juga  memiliki  perencanaan  perilaku 
prososial  yang  akan  dilaksanakan  dalam  hidupnya  secara  berkembang 
(Eisenberg & Mussen, 1989). 
 
 
 
16
2.1.3Dimensi-dimensi Perilaku Prososial 
Dimensi-dimensi perilaku prososial menurut Eisenberg dan Mussen 
(1989) dapat dijelaskan sebagai berikut: 
a. Berbagi (sharing) 
Kesediaan pelaku prososial untuk berbagi dengan perasaan orang lain 
dalam  suasana  suka  dan  duka.  Terutama  pada  waktu  penerima 
menyatakan  menunjukkan  kesukaran  lalu  ditindak  lanjuti  melalui 
dukungan.  Perilaku  prososial  dalam  dimensi  berbagi  biasanya 
ditunjukkan dalam bentuk saling mencurahan isi hati, saling berbagi 
pengalaman hidup dan cerita kehidupan lainnya. 
b. Kerjasama (Cooperative) 
Kesediaan  diri  untuk  bekerja  sama  dengan  pihak  lain  demi 
tercapainya suatu tujuan bersama yang saling menguntungkan, saling 
memberi, saling menolong dan saling menyenangkan. 
c.  Kejujuran (Honesty) 
Kesediaan  untuk  hadir,  berkata,  dan  bersikap  apa  adanya  serta 
menunjukkan keadaan yang tulus ikhlas. 
d. Menyumbang (Donating) 
Kesedian memberikan derma, memberikan bantuan secara sukarela 
potensi dan harta yang dimiliki untuk orang lain yang membutuhkan. 
e.  Menolong (Helping) 
Kesediaaan  untuk  berbuat  kepada  orang  lain  yang  sedang  berada 
didalam kesulitan  dalam bentuk membagi sesuatu dengan orang lain, 
memberitahu informasi yang dibutuhkan, menwarkan bantuan dan 
pertolongan,  menawarka  sesuatu  yang  akan  menunjang  kegiatan 
orang lain. 
 
17
f.  Kedermawanan (Generosity) 
Kesediaan memberikan sesuatu secara sukarela untuk orang lain yang 
membutuhkan. 
Caprara & Pastorelli (1993) membagi perilaku prososial menjadi tiga 
dimensi yaitu: 
a.  Altruisme (Altruism) 
Perhatian  yang  tidak  egois  bagi  orang  lain.  Kesediaan  untuk 
melakukan  hal-hal  sederhana  dan  keinginan  membantu  orang 
lain. 
b.  Kepercayaan (Trust) 
Keyakinan bahwa seseorang dapat diandalkan dan jujur. 
c.  Ramah (Agreeableness) 
Individu bersikap ramah, berhati lembut dan selalu mengalah. 
 Dalam  penelitian  ini,  dimensi-dimensi  perilaku  prososial  dari 
Eisenberg  &  Mussen  (1989)  digunakan  dengan  alasan  bahwa  dimensi-
dimensi  tersebut  dapat  mencakup  keseluruhan  perilaku  prososial  yang 
dibutuhkan siswa.  
2.1.2  Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Prososial 
Menurut Eisenberg & Mussen (1989) dari hasil penelitian yang telah 
dilakukan, ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku prososial yaitu: 
a. Faktor Biologis 
Faktor biologis ini berkaitan dengan sifat menurun atau genetis, 
ada  perbedaan  intensi  perilaku  prososial  secara  individual 
berkaitan  dengan  faktor  sifat  menurun.  Faktor  genetik  ikut 
mengendalikan respon prososial. 
 
18
b. Budaya Masyarakat Setempat 
Perilaku,  motivasi,  orientasi,  dan  nilai-nilai  yang  diyakini  oleh 
individu juga diarahkan oleh budaya masyarakat dimana individu 
tersebut tinggal dan bersosialisasi. Semua dimensi perilaku dan 
fungsi psikologis yang dikembangkan individu dipengaruhi oleh 
interaksi individu dengan budaya masyarakat di tempat tinggalnya. 
Keanggotaan seseorang didalam masyarakat  sebagai kelompok 
budaya  hanya  bisa  digunakan  untuk  memperkirakan  
kecenderungan  hati  individu  untuk  bertindak  secara  prososial 
dalam berbagi dimensi budaya. 
c. Pengalaman Sosialisasi 
Pengalaman sosialisasi  adalah interaksi  anak dengan agen-agen 
sosial seperti orang tua sebagai agen sosial utama, teman sebaya, 
guru  dan  mediamasa.  Pengalaman  sosialisasi  menjadi  faktor 
sangat penting bagi pembentukan perilaku prososial anak. Perilaku 
prososial anak sebagian besar dihasilkan dari proses sosial yang 
dipelajari  melalui  proses  meniru  orang  tua  mereka  pada  masa 
anak-anak.  Hal  ini  sangat  berhubungan  dengan  pola  asuh 
authoritative di mana orang tua memberikan pedoman yang baik 
kepada  anaknya  untuk  menjalani  kehidupan  dengan  batasan-
batasan  yang  jelas.  Sehingga  seorang  anak  bisa  memutuskan 
sesuatu  dalam  kehidupan  mereka,  apabila  ada  tindakan  yang 
menyimpang, orang tua mengambil tindakan tegas baik berupa 
teguran maupun hukuman. 
d. Proses Kognitif 
Perilaku  prososial  melibatkan  beberapa  proses  kognitif 
diantaranya adalah: inteligensi, presepsi terhadap kebutuhan orang 
19
lain, kemampuan memecahkan masalah interpersonal, alih peran, 
dan penalaran moral. 
e. Respon Emosional 
Respon  emosional  adalah  adaanya  perasaan  bersalah  dan 
kepedulian  terhadap  orang  lain,respon  emosional  ini  muncul 
ketika ada orang lain atau tidak ada orang lain yang melihatnya. 
f.  Karakteristik  Individu 
Karakteristik individual yang berkaitan dengan intensi prososial 
adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan usia, tipe kepribadian, 
karakter tertentu pada individu yang menjadi kondisi yang relatif 
menetap, bagaimana seorang individu dapat mengelola emosi diri 
sendiri dan orang lain dengan positif, dan  hasil belajar individu 
semuanya itu berpengaruh terhadap perilaku prososial. 
g. Faktor situasional 
Tekanan  eksternal,  peristiwa  sosial  juga  memberikan  pengaruh 
terhadap perilaku dan respon prososial yang dikembangkan oleh 
individu. Faktor situasional meliputi dua sub kategori, pertama sub 
kategori yang berkaitan dengan peristiwa hidup yang baru saja 
terjadi pada diri individu secara kebetulan tetapi mempunyai efek 
yang sangat panjang serta memberikan dampak kepada seluruh sisi 
kehidupannya.  Bagaimana  cara  orang  tua  mengasuh  juga 
menentukan  perilaku  seorang  anak.  Sub  kategori  yang  kedua 
adalah sesuatu yang berkaitan dengan konteks sosial yaitu keadaan 
yang menghambat individu tersebut seperti  situasi emosi  suatu 
waktu dan karakteristik personal. Seseorang yang dapat mengelola 
emosi diri dan orang lain secara positif akan berdampak pula pada 
kehidupan sosialnya. 
20
Beberapa  penelitian  menemukan  beberapa  faktor  lain  yang 
memengaruhi perilaku prososial  diantaranya adalah pola asuh authoritative 
(Baumrid  ,1966),  kecerdasan  emosional  (Charbonneau  &  Nicol  2002, 
Afolabi, 2013 ),  dan empati (Staub, 1979). Dari semua faktor-faktor di atas, 
dua variabel yang digunakan sebagai variabel prediktor perilaku prososial 
yaitu pola asuh authoritative, dan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis 
kelamin. 
2.2Remaja 
2.2.1  Pengertian Remaja 
Hurlock (1999) berpendapat bahwa secara etimologis dalam bahasa 
Inggris, remaja  memiliki  istilah adolescence   yang berarti dalam  bahasa 
Indonesia  “tumbuh”  atau lebih lengkapnya bertumbuh menuju dewasa. 
Pertumbuhan dalam konteks kata adolescence  kemudian dipakai istilah yang 
sangat umum dan mencakup gambaran pertumbuhan didalam diri individu 
secara  luas  yaitu  mental,  emosional,  sosial  dan  fisik.  Hurlock,  1999 
mengatakan bahwa remaja adalah fase dimana mereka mulai berintegrasi dan 
berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Individu mulai merasakan bahwa 
dirinya berada dalam status usia yang lebih muda dari masyarakat tetapi 
mulai merasakan kesadaran bahwa dirinya memiliki tingkatan yang sama 
didalam masyarakat, terutama didalam masalah hak dan integrasi dengan 
masyarakat.  Remaja  mengalami  perubahan  yang  sangat  besar  dalam  hal 
afeksi, intelektual, pubertas, bahkan juga secara pertrumbuhan fisik, semua 
perubahan dan pertumbuhan yang relatif saangat cepat itu menjadi modal 
yang  memberi  kemungkinan  untuk  mencapai  integrasi  dalam  hubungan 
sosial dengan orang dewasa dan masyarakat yang lebih luas. Masa remaja 
menjadi masa peralihan dari fase kanak-kanak menuju kedewasaan, sehingga 
21
melibatkan  banyak  terjadinya  perubahan  fisik,  mental,  intelektual,  emosi 
bahkan secara rohaniah dan jasmaniah. Pada fase ini remaja mulai menyadari 
tugas-tugas perkembangannya  untuk mengelola kemampuan dirinya  untuk 
mencapai  cita-citanya  dimasa  depan  serta  memenuhi  tugas-tugas 
perkembangan sosialnya dengan baik supaya mampu menuju langkah masa 
depan selanjutnya sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab. 
Dari uraian para ahli tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa 
remaja  adalah  suatu  fase  perkembangan  individu  dari  anak-anak  menuju 
dewasa. Pada fase ini terjadi banyak perubahan  yang meliputi hampir semua 
dimensi  hidupnya  yaitu  perubahan  intelektual,  afeksi,  fisik,  rohani    dan 
sosial. Pertumbuhan dan perubahan inilah yang memungkinkan remaja mulai 
lebih intensif untuk memulai mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat 
luas. Pada fase ini remaja juga mulai membangun kesadaran jati dirinya guna 
menghadapi tugas perkembangan selanjutnya sebagai orang dewasa. 
2.2.2  Batasan Usia Remaja 
Monks  (1998)  membagi  fase  remaja  menjadi  tiga  tahap  usia 
perkembangan,  yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18 
tahun) lalu remaja akhir (18-21 tahun). 
Hurlock (1999) mengatakan bahwa usia remaja adalah usia antara 12-
18  tahun.  Santrock (2003) memberikan batasan usia remaja pada rentang 
12-23 tahun. 
Thornburg  (1983)  membagi  usia  remaja  menjadi  tiga  kelompok 
rentang usia, yaitu: 
a. Remaja awal; antara 11-13 tahun 
Terjadi tahap peralihan antara presosialization, tahap dimana pada 
awalnya anak tidak terlalu peduli pada orang lain namun pada fase 
22
Description:Eisenberg & Lennon (1983) menemukan data empiris berkaitan usia .. emosional dan perilaku prososial santri di pondok Nasyul Ulum Pemekasan.