Table Of ContentBAB II
PENENTUAN AUTENTISITAS HADIS NABI
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana metode penentuan
autentisitas hadis yang berkembang dari masa awal Islam hingga saat ini. Metode
kritik hadis yang akan dibahas meliputi kritik hadis sarjana muslim, kritik hadis
kelompok ingkar sunnah dan kritik hadis sarjana Barat, karena dari sebab perbedaan
metode penentuan inilah timbul perdebatan akademik dalam ilmu hadis.
Pembahasan dalam bab ini diakhiri dengan model baru dalam penelitian hadis yang
berkembang di abad modern saat ini.
A. Metode Kritik Hadis Sarjana Muslim
Kritik hadis sudah dimulai sejak masa sahabat Nabi. Hal ini membuktikan
bahwa upaya menjaga hadis telah dilakukan sejak awal abad pertama hijriah,
sehingga dapat dibedakan antara hadis yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima.1 Hal ini didorong oleh kuatnya pengamalan agama secara benar dan dalam
pandangan mereka, posisi hadis Nabi merupakan pedoman beragama yang
sempurna. Metode yang mereka lakukan dalam rangka menjaga autentisitas hadis
tidak serumit yang telah dirumuskan oleh ulama belakangan tapi dapat menjadi
bukti bahwa kritik hadis sudah dimulai sejak dini. Eerik Dickinson dalam
disertasinya yang meneliti kitab Ibn Abī Ḥātim (w.327 H) menyimpulkan bahwa
para ulama’ awal Islam adalah kritikus hadis.2
Karena pada masa ini semua orang dikenal keadilannya, sehingga tidak
membutuhkan ilmu al-Jarḥ wa al-Ta’dīl , dan keadaan ini berlangsung sampai
akhir abad pertama hijriah. Adapun upaya para sahabat dalam menjaga hadis adalah
sebagai berikut:3
1. Mengandalkan kekuatan hafalan, karena orang Arab pada masa itu
terkenal Ummī (tidak pandai membaca dan menulis), maka yang menjadi
sandaran adalah hafalan mereka yang terus berkembang dan makin kuat
ketika dibutuhkan. mereka terkenal dengan hafalan yang langka serta
kecerdasan yang mengagumkan, seperti hafalnya mereka pada nasab-
nasab, dan hafal sesuatu dengan hanya sekali mendengar.4 Berdasarkan
teori psikologi bahwa orang yang tidak pandai membaca dan menulis akan
lebih kuat hafalannya dibandingkan dengan orang yang mampu membaca
1Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, ‚Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
Gha Juynboll: Tumpuan Terhadap Teori Common Link Dan Single Strand‛, Al-Bayan
Journal of al-Qur’an & al-Ḥadīth vol. 5 Mei 2007, 72.
2Eerik Dickinson, The Development of Early Sunnite Ḥadīth Criticism - The
Taqdima of Ibn Abi Hatim al-Razi (Yale University, 1992), ii.
3Nūr al-Dīn Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulūm al-Ḥadīth (Damaskus,
Dār al-Fikr, 1997), 51-57.
4Al-Khati>b, Muhammad Ajjaj bin Muhammad Tami>m bin S}a>lih} bin Abdillah, al-
Sunnah qabla al-Tadwi>n (Bairut: Da>r al-Fikr, 1980), 136; Nūr al-Dīn Muhammad ‘Iṭr al-
Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 37; Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali al-Na>s}ir, al-
Burha>n ‘ala> Tabri’ati Abi> Hurairah min al-Buhta>n (Kairo: Da>r al-Nas}r, 1998), 22.
21
22
dan menulis. Jadi hal ini dapat menjadi sanggahan terhadap Goldziher
yang meragukan kekuatan hafalan para perawi hadis.
2. Tidak memperbanyak riwayat hadis. Yang demikian itu karena mereka
khawatir melakukan kesalahan. Orang yang paling gigih menjaga hal ini
adalah Abū Bakar dan ‘Umar bin al-Khattāb.
3. Tidak tergesa-gesa dalam menerima riwayat. Orang yang pertama
melakukan ini adalah Abu Bakar al-Ṣiddīq, diriwayatkan ketika ada
seorang nenek yang meminta bagian dalam warisan, maka dia
menanyakan dan meminta saksi atas apa yang telah dilakukan Rasulullah
mengenai masalah itu. Selanjutnya Umar bin al-Khattāb juga melakukan
hal serupa, dia meminta saksi atas hadis yang diriwayatkan oleh Abū
Mūsa.5 Dan begitu pula Alī bin Abī Ṭālib yang meminta saksi setiap ada
orang menyampaikan hadis Nabi.
4. Meneliti riwayat dengan seksama. Seperti kritik ‘Umar atas penjelasan
seorang perempuan yang mengaku tidak mendapat nafkah dari suaminya,
mendengar hal itu, kemudian ‘Umar mencari penguat atas laporan
tersebut. Begitu juga kritik ‘Aishah r.a atas hadis yang menjelaskan
bahwa seorang mayit akan disiksa sebab tangisan keluarganya, ‘Aishah r.a
membandingkan hadis itu dengan teks al-Qur’an.6
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh para sahabat di atas menurut sarjana
Barat tidak memiliki bukti yang kuat, sebab mayoritas berita tentang kritik matan
yang dilakukan oleh komunitas muslim awal hanya ada dalam koleksi hadis yang
disusun pada pertengahan abad ke tiga. Seperti kritik ‘Aishah diatas yang baru
muncul pada abad ke delapan yaitu pada karya al-Sha>fi’i7> (w.204/820).8
Jumhur Ulama’ hadis mengakui bahwa pada masa awal, hadis disebarkan
dengan lisan dan bukan dengan tulisan.9 Dan setelah timbul fitnah di kalangan
5Abu Musa datang ke rumah ‘Umar dan setelah mengucap salam 3 kali dia pergi,
kemudian ‘Umar menyusulnya dan menanyakan kenapa dia pergi, Abu Musa menjawab
bahwa Rasulullah menjelaskan hal itu. ‘Umar tidak langsung mempercayai perkataan Abu
Musa dan dia meminta saksi lain yang mendengar hadis itu, dan jika tidak ada saksi, maka
‘Umar akan menghukum Abu Musa. Lihat Ma’mar bin Rāshid, al-Jāmi’ J. 10. (Bairut : al-
Maktab al-Islāmī, 1403 H.), 381.
6Jonathan A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn Criticism
and Why It’s So Hard to Find‛ Islamic Law and Society 15 (2008) 143-184, 148.
7 Abū Jaʿfar Aḥmad b. Muḥammad al-Ṭaḥāwī, al-Sunan al-Ma’thūra li al-Imām
Muḥammad b. Idrīs al-Shāfiʿī, ed. ‘Abd al-Mu’ṭī Amīn Qal’ajī (Beirut: Dār al-
Maʿrifa,1406/1986), 193, 303
8 Jonathan A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn , Criticism
and Why It’s So Hard to Find‛, Islamic Law and Society 15 (2008) 143-184.
9Ibn Ḥajar al-‘asqalani, Hady al-Sa>ri> muqaddimah Fath al-Bari (Bayrut : Da>r al-
ma’rifah, 1379 H.), 17; Fatḥ al-Bārī, 1. (Bayrut: Dār al-Ma’rifah, 1379), 218; Hajjī Khalīfah,
Kashf al-Ẓunūn ‘an asāmi al-Kutub wa al-Funūn, (Bagdād: Maktabah al-Muthannā, 1941),
637; al-Kattanī, al-Risālah al-Mustaṭrafah li Bayāni Kutub al-Sunnah al-Musharrafah (T.T:
Dār al-Bashāir al-Islāmiyyah, 2000), 3; Abū Zahw, al-Ḥadīth wa-al-Muḥaddithūn, (Kairo:
Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 127; al-Dhahabī. Muhammad al-Sayyid Husayn,al-Tafsīr wa-
al-mufassirūn,1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1961), 140-141.
23
umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya Khalifah ‘Uthman bin ‘Affan, maka
sebagai upaya melawan pemalsuan hadis para sahabat mulai memperhatikan sanad
dan memeriksa perawi,10 berhati-hati dalam mengambil riwayat seseorang yang
disebut dengan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl, melakukan perjalanan demi mendengar
hadis dari perawi aslinya, dan membandingkan riwayat hadis yang satu dengan
riwayat lainnya, sehingga pada abad ini telah dikenal hadis marfū’, mawqūf,
maqtū’, muttaṣil, mursal, munqaṭi’ dan mudallas.11 Usaha-usaha ahli hadis ini
berhasil mencegah pemalsuan hadis secara luas dan massive.12 Namun ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dīl ini dianggap tidak berdasar oleh para kritikus hadis modern, mereka
mempertanyakan atas dasar apa dan metode bagaimana penilaian terhadap karakter
dan kehidupan seseorang dapat dilakukan.13
Perkembangan ilmu hadis mencapai puncaknya pada awal abad kedua hingga
awal abad ketiga hijriah, perkembangan ini dalam rangka menolak pemalsuan hadis
yang terjadi,14 setelah hafalan orang sudah mulai kurang, sanad menjadi panjang
dan bercabang, dan muncul banyak golongan yang bertentangan serta melenceng
dari kebenaran. Oleh karena itu para ulama’ memandang perlu untuk membukukan
hadis secara resmi, memperluas ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl, menolak hadis dari orang
yang tidak dikenal, dan membuat kaidah-kaidah dan istilah-istilah baru dalam ilmu
hadis.15
Memang para penyusun kitab kanonik, tidak semuanya menjelaskan kriteria
apa yang mereka gunakan dalam pemilihan hadis dan menuliskannya dalam kitab
yang mereka susun. Hanya imam Muslim yang menjelaskan metode penyusunan
kitabnya, kemudian Abu Daud menjelaskan melalui suratnya kepada penduduk
makkah, serta dalam kitab al-‘Ilal al-Ṣaghir al-Tirmidzi menjelaskan metode
penyusunan kitabnya, sehingga para ulama’ dapat menyimpulkan syarat-syarat
yang mereka berlakukan, diantara mereka adalah al-Maqdisi (w.507 H) yang
menyusun shurūṭ al-Aimah al-sittah dan al-Ḥazimi (w.584 H) menyusun shurūt al-
Aimmah al-Khamsah.
Namun secara umum pada abad ini hadis autentik adalah yang berpredikat
ṣaḥiḥ. Mengenai definisi ṣaḥiḥ, ahli hadis menggambarkannya dengan kata ‚al-
Hadith al-Musnad alladhi yattaṣilu isnāduhu bi naql al-‘Adl al-Ḍābiṭ ‘an al-‘Adl al-
Ḍābiṭ ilā muntahāhu wa lā yakūnu shādhdhan wa lā mu’allalan‛ (yaitu hadis yang
bersambung sanadnya terdiri dari orang-orang adil yang ḍābiṭ sejak dari orang
10Muhammad Ibn Sīrīn berkata : ‚sebelumnya mereka tidak pernah menanyakan
isnad, namun setelah terjadi fitnah, mereka mulai menanyakan dari mana sumber kalian‛
lihat dalam Muqaddimah ṣaḥiḥ Muslim, ; dan al-Tirmidhi al-‘Ilal al-S}aghi>r, 739.
11Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 55-57.
12Harald Motzki (2005), "Dating Muslim Traditions: A Survey" dalam Journal
Arabica, 235.; Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 225.
13Daniel Brown, Rethinking tradition in Modern Islamic thought (Cambridge and
New York : Cambridge University Press, 1996), 97.
14Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic thought ,. 93.
15Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 58-61.
24
pertama hingga orang terakhir serta tidak mengandung shadh dan illat),16 ini adalah
rangkuman kesimpulan mereka setelah meneliti hadis - hadis dalam dua kitab sahih
(Al-Bukhari dan Muslim bin al-Hajjaj).
Dari uraian di atas diketahui bahwa Kritik ilmu hadis klasik terdiri dari 3
cabang, pertama berkenaan dengan riwayat, yaitu pemeriksaan terhadap rangkaian
sanad untuk menetapkan ketersambungan penyandaran, ketersambungan sanad ini
dievaluasi dan dibedakan menjadi mawqūf, maqtū’ dan juga mursal. Kedua fokus
pada nama-nama rawi dengan penggambaran biografi orang yang dapat dipercaya
dan yang tertolak riwayatnya, fokus perhatianya adalah pada tanggal dan tempat
lahir, hubungan keluarga, guru, murid, perjalanan menuntut ilmu, akhlak, aqidah,
hasil karya dan tanggal wafat, selain itu Juga menekankan pada kesezamana dan
kemungkinan bertemu secara geografis. Ketiga berkenaan dengan isi hadis,
dihubungkan dengan kandungan al-Qur’an apakah ada pertentangan atau tidak.
Sebuah hadis langsung ditolak jika isinya bertentangan dengan al-Qur’an, juga bila
isinya bertentangan dengan hadis lain yang dianggap sahih,17 dan bila kalimatnya
tidak mencerminkan kata-kata Rasulullah SAW, serta bila isinya bertentangan
dengan akal sehat dan bertentangan dengan sejarah yang benar. selain itu menurut
ahli fiqih jika hadis tersebut bertentangan dengan ijmā’ ulama’ dan bertentangan
dengan amalan para sahabat Nabi maka harus diperiksa kembali.18
Dari sini dapat dinyatakan bahwa kesimpulan kritikus Barat yang
menganggap kritik hadis klasik hanya pada sanad saja itu tidak benar,19 kritik hadis
muslim tidak hanya pada sanad saja tapi juga terhadap matannya,20 Ibn al-Ṣalah dan
para muḥaddithūn menyatakan bahwa kesahihan sanad tidak menentukan kesahihan
matan, hal itu terlihat dari kebiasaan mereka menyebut ungkapan ‚ṣaḥiḥ al-Isnād‛
dan bukan ‚ṣaḥiḥ al- Hadith.‛21
16Ibn al-Ṣalaḥ, Ma’rifatu anwa’ ‘ulu>m al-ḥadīth (Bayrut:Da>r al-kutub al-‘ilmiyyah,
2010), 12; Ibn Daqīq. Taqy al-Dīn Abū al-Fattah, al-Iqtirah fī bayān al-Isṭilaḥ (Bairut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), 5 ; Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth (Bairut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyyah,t.t), 21; al-Suyūṭi, Tadrīb al-Rāwī fī Sharh Taqrīb al-Nawāwī (Dār Ṭaybah, t.t),
61.
17Kamaruddin Amin, ‚The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A
Critical Reconsideration‛, Al-Jā mi'ah, Vol. 43, No 2, 2005, 261-262.
18Musfir ‘Azmullah Al-Damini, Maqāyīs naqd mutūn al-Sunnah (Riyaḍ : Jāmi’ah al-
Imam Ibn Sa’ud, 1984), 117-393; Yunus Yusoff dkk, Adopting Ḥadīth Verification
Techniques in to Digital Evidence Authentication, Journal of Computer Science 6 (6): 613-
618, 2010, p 614; Ṣalaḥ al-Din Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-
Ḥadīth al-Nabawi (Beirut : Dār al-Afaq al-Jadida, 1983), 237-238; M. Mustafa al-’Az}ami>,
On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, 111-114.
19Daniel Brown, Rethinking tradition in Modern Islamic thought (Cambridge :
Cambridge University Press, 1996), 99.
20Daniel W. Broen, Rethinking tradition in Modern Islamic Thought, 82; Jonathan
A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn 143.
21Ibn al-Ṣalah, Muqaddimah, 113; al-Nawawi, al-Taqrīb, 6 ; al-Ṭibī, al-Khulāsah, 43 ;
Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth, 43 ; Ibn al-Qayyim, al-Fufūsiyyah, 64 ; al-‘Iraqi, al-
Tabsirah wa al-Tadzkirah, juz 1, 107 ; al-Sakhāwi, Fath al-Mughith, Juz 1, 62; al-Suyuṭi,
25
Brown menyimpulkan bahwa metode kritik hadis muslim seperti pekerjaan
jurnalistik jaman sekarang, dimana seorang reporter menyampaikan berita, maka
yang dilihat pertama adalah keterpercayaan reporter tersebut dan sumber beritanya,
karena pilar jurnalisme modern adalah dapat dipercayanya sumber berita dan
menentukan dapat dipercayanya sumber atau cerita melalui bukti-bukti yang dapat
menguatkan.22 Kesimpulan Brown ini senada dengan pernyataan ‘Az}ami.23
B. Kritik Hadis Ingkar Sunnah
Inkar sunnah adalah suatu paham atau pendapat yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak sunnah (hadis) sebagai hujjah dan sumber
pengambilan hukum Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. Mereka ini dibedakan
dalam empat macam sebagai berikut: Pertama, ingkar sunnah mutlak yang
mengingkari secara total baik hadis yang beredar dari jaman Rasul hingga yang
terkodifikasi. Kedua, ingkar sunnah kullī. Mereka menolak kehujahan periwayatan
sunnah setelah masa Rasulullah. Ketiga, Ingkar sunnah shibhi kullī, mereka hanya
menerima hadis mutawatir dan menolak hadis āḥād. Keempat, Ingkar sunnah Juz’ī ,
kelompok ini mengingkari sebagian hadis āḥād yang bertentangan dengan al-
Qur’an, rasio dan sains.24
Diantara kelompok kedua adalah Ahmad Subḥī Mansūr25 dan Tawfīq Ṣidqī
yang mengatakan bahwa sunnah mutawatirah qawliyyah hanya sedikit jumlahnya
karena dikehendaki oleh Allah untuk menjadi shari’at yang hilang,26 sedangkan
diantara kelompok ketiga adalah Mahmud Abu Rayyah, Husayn Ilāhī Najasy,27 dan
kelompok terakhir banyak terjadi di beberapa aliran dan organisasi seperti LDII di
Indonesia.28
Dalam sejarah dicatat bahwa diantara mereka adalah kaum khawarij dan
Mu’tazilah, pendapat mereka banyak bertentangan dengan jumhur ‘ulama dalam
memandang status sahabat Nabi, hadis mutawatir, hadis āḥād dan jumlah hadis
Nabi. mereka menolak sunnah sebagai hujjah29 mereka tidak mau menerima hadis
yang tidak berkualitas mutawatir, mereka beranggapan bahwa cukup al-Quran
sebagai dasar hukum karena al-Qur’an sudah sempurna. Mereka mendapat pujian
Tadrib al-Rāwi, 161 ; al-Anṣari, Fath al-Baqi ‘ala alfiyah al-‘Iraqi, 107; al-Ṣan’ani, Tawḍih
al-Afkar, Juz 1, 234.
22Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern
World,67-68.
23M. Mustafa al-’Az}ami>, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, 200.
24Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah pendekatan Ilmu Hadis
(Jakarta : Kencana, 2011), 16-31.
25Abd al-Mawjūd 'Abd al-Laṭīf , al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Du’aāt al-Fitnah wa
Ad’iyā’ al-‘Ilm c.2 (Kairo, Dār al-Ṭibā’ah al-Muhammadiyyah, 1991), 89.
26Tawfīq Ṣidqī, ‚al-Naskh fi al-Sharāi’ al-Ilāhiyyah‛ al-Manar, Juz 9 Jilid 10, 687.
27Najsy, al-Qur’āniyyūn wa shubuhātuhum hawla al-Sunnah (Ṭāif : Maktabah al-
Ṣiddīq, 1989), 91.
28Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, 29.
29Al-Shatiby. Abu Ishaq Ibrahim bin Musa, al-I’tiṣām ( Bairut : Dār al-Ma’rifah,
1970), 132; Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan,
c.6. juz.4 ( Jakarta, UI Press, 1986),
26
dari orientalis yang menganggap bahwa mereka adalah kelompok yang berusaha
melakukan eksplorasi pengetahuan agama melalui kebebasan berfikir dan sebagai
orang-orang yang tercerahkan otaknya.30
Perbedaan pandangan paling menyolok mereka yang berbeda dengan
jumhur ‘ulama’ adalah berkenaan dengan keadilan sahabat, mereka menganggap
semua sahabat yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Ṣiffin baik Ali bin Abi
Ṭalib, Aishah, Ṭalhah, Zubair dan Muawiyah serta pengikutnya sebagai orang fasik
yang tidak bisa diterima kesaksiannya dan diambil riwayatnya seperti kesaksiannya
orang yang saling melaknat.31 Padahal Rasulullah telah menjamin masuk surga
untuk Ali, Ṭalhah dan Zubair. Tidak hanya para sahabat yang terlibat dalam perang
antar umat Islam, Abu Bakar, Umar, Ibn Mas’ūd, dan Samurah bin Jundūb juga
dikritik sedangkan Abu Hurairah mereka anggap sebagai pendusta nomor satu.32
Menurut Ibn Kathir (w.774 H), pendapat Mu’tazilah adalah sebuah
kedustaan dan harus ditolak,33 karena para sahabat yang mereka nilai pendusta dan
sesat adalah orang-orang yang mengikuti Bai’at al-Riḍwan, dan Allah telah
menyanjung mereka dalam al-Qur’an surat al-Fath ayat 18, menurut al-Ghazali
penilaian mana yang paling kredibel selain penilaian Allah dan Rasulnya?34
Para pengingkar sunnah berpendapat bahwa hadis tidak ditulis pada masa
Rasul dan beliau juga melarang menulis kecuali al-Qur’an sebagaimana dalam hadis
Abu Saīd al-Khudri. Untuk menguatkan argumen itu mereka mengambil sebuah
riwayat yang dikisahkan bahwa Abu Bakar telah membakar semua catatan
hadisnya, umar juga pernah membuat edaran untuk membakar semua tulisan yang
berisi hadis Nabi dan juga memukul Abu Hurairah karena terlalu banyak
meriwayatkan hadis. Selain itu mereka mengatakan bahwa mayoritas hadis
diriwayatkan dengan ma’na bukan lafaẓ, yang sering terjadi salah pemahaman,
kemudian sedikitnya hadis ṣaḥiḥ yang dihafal al-Bukharī, dan bahwa periwayat
hadis tidaklah ma’ṣum.35
Akan tetapi argumen pengingkar sunnah itu setelah diteliti ternyata salah
dan riwayat yang mereka kemukakan adalah riwayat ḍāif, Abu Rayyah mengambil
riwayat dari al-Dhahabī tidak secara keseluruhan sebab dalam menerangkan
riwayat itu al-Dhahabī sedang menjelaskan tentang riwayat yang salah tentang
sahabat, dimana dalam salah satu riwayat yang menerangkan Abu Bakar membakar
tulisan yang berisikan hadis Nabi terdapat Ali bin Ṣālih yang ternyata berpredikat
30Abu Lubabah Husain, Pemikiran Ḥadīth Mu’tazilah ( Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), 64.
31Al-Sahristānī, Al-Milal wa al-Nihal (t.t : Muassasah al-Halbī, t.t), 49 ; Al-Dhahabī,
Mizan al-I’tidal , 4. (Bairut: Dār al-Ma’rifah, 1963), 329 ; Abū Manṣūr, Abd al-Qāhir bin
Ṭāhir, al-Farq bayn al-Firq wa bayān al-Firqah al-Nājiyah (Bairut: Dār al-āfāq al-Jadīdah,
1977), 99, 320; Abū al-Hasan al-Ash’arī, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa ikhtilaf al-Muṣallīn, 2.
(t.t: al-Maktabah al’Aṣriyyah, 2005), 341.
32Abū Manṣūr, Abd al-Qāhir bin Ṭāhir, al-Farq bayn al-Firq, 148, 319.
33Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth, 182.
34Al-Ghazali, al-Mustaṣfā (Bairut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993),1. 164.
35‘Abd al-‘Aẓim Ibrahim Muhammad al-Muṭ’inī, al-Shubuhāt al-Mushārah li inkār
al-Sunnah (Bairut : Maktabah Wahbah, 1999), 1-70.
27
ḍāif, begitu juga kisah tentang ‘Umar di atas, ternyata riwayatnya palsu karena
bersumber dari seorang shī’ah yang anti sahabat.36
Mengenai larangan Rasul untuk menulis hadis, menurut para ulama’ hal itu
disebabkan karena banyak sahabat yang menulis al-Qur’an dan hadis dalam satu
catatan jadi dikhawatirkan akan bercampur dan tidak dapat dibedakan, sabagian
ulama’ berpendapat bahwa larangan menulis telah di nasakh (dihapus) dengan hadis
riwayat Ibn ‘Umar, dimana Ibn ‘Umar diperbolehkan menulis oleh Rasulullah, hadis
Ibn Umar datang lebih akhir daripada hadis pelarangan dalam riwayat Abu Said al-
Khudri, bagitu pula hadis perintah menulis untuk Abu Shah yang diucapkan
Rasulullah pada waktu haji Wada’ adalah lebih belakang dari hadis larangan
menulis.37 Memang benar bahwa Khalifah Umar melarang menulis hadis, tapi hal
itu beliau lakukan sebagai upaya menjaga kemurnian ajaran Islam agar tidak
tercampur dengan yang lain, beliau memutuskan hal itu setelah beristikharah
selama sebulan dan memutuskan dengan mengambil pelajaran yang dialami oleh
umat Yahudi dan Nashrani yang tersesat karena warisan kitab yang mereka terima,
dimana dalam kitab itu bercampur dengan catatan para pendeta, selain itu ‘Umar
juga khawatir umat akan meninggalkan al-Qur’an dan berpindah mempelajari yang
lain.38
Oleh karena itu sabagian sahabat tetap ada yang menulis seperti Abdullah
Ibn ‘Amr dalam ṣaḥīfah al-Ṣādiqah, ṣaḥīfah Ali bin Abi Ṭālib, dan ṣaḥīfah Sa’ad bin
‘ūbadah. Selain itu juga terdapat catatan surat-surat Rasulullah untuk para utusan
dan perjanjian-perjanjian beliau dengan orang kafir seperti perjanjian Hudaibiyyah,
perjanjian Tabuk, dan perjanjian Madinah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa
yang menjadi argumen kelompok inkar sunnah, tidak memiliki dasar yang kuat dan
tidak dapat dijadikan pijakan dalam penelitian.
C. Metode Kritik Hadis Sarjana Barat
Budaya kritis di Barat diakui memang bagus, terbukti dengan adanya saling
kritik temuan yang terus berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk di
dalamnya berhubungan dengan penelitian hadis. Berbeda dengan penelitian hadis
Islam yang jarang sekali mendapatkan kritikan sejak perkembangan terakhirnya
pada abad ke 10 hijriah, dimana Nūr al-Din ‘Itr menyebutnya dengan ‘Aṣr al-Rukūd
wa al-Jumūd (masa diam dan tidak berkembang).39 Munculnya kritikan dari sarjana
Barat ini turut memicu perkembangan ilmu hadis di kalangan umat Islam.
Tujuan kaum orientalis mempelajari hadis berbeda dengan umat Muslim.
Tujuan utama mereka adalah untuk mengetahui kesejarahan suatu hadis,40 maka
36 Ali Mustafa Ya’qub, 65.
37Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 40-43 ; al-
Ramahurmuzi, al-Muhaddith al-Fāṣil, 386 ; Ibn Hajar, Fath al-Bārī, 1, 149.
38Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 44 ; al-
Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-‘Ilm, 49 ;Ibn Abd al-Bar, Jāmi’ Bayan al-‘Ilm, 64 ; .
39Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalby, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 69.
40A. Kevin Reinhart, ‚Juynbolliana, Gradualism, the Big Bang, and H adi th Study in
the Twenty First Century‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010)
Dartmouth College, PP. 413-444.
28
metode yang mereka gunakan adalah metode penanggalan dengan tradisi dan
asumsi mereka sendiri41 yang bertumpu dan menekankan pada segi dating of
particular hadith (penetapan waktu munculnya suatu hadis),42 dan metode mereka
ini dapat digolongkan pada empat kriteria yaitu: Pertama, penanggalan berdasarkan
analisis matan oleh Goldziher dan Marston Speight. Kedua, penanggalan
berdasarkan analisis sanad oleh Schacht dan Juynboll yang menurut Motzki disebut
dengan Isnad analitical study.43 Ketiga, penanggalan berdasarkan analisis kitab-
kitab koleksi hadis oleh Schacht dan Juynboll juga. Dan keempat, penanggalan
berdasar analisis sanad dan matan oleh Harald Motzki dan Schoeler.44 Selain itu
ada pula penanggalan yang menggunakann analisis pada manuskrip hadis yang
dilakukan oleh Nabia Abbot.
Dimulai sejak Goldziher meneliti ledakan perkembangan sanad dalam
bukunya Muslim Studies, dan meneliti perkembangan hukum Islam dalam bukunya
Introduction to Islamic Theology and Law, dimana selanjutnya dia menyimpulkan
bahwa kata sunnah dan hadis itu tidak sama, menurut dia hadis adalah disiplin ilmu
teoritis sedangkan sunnah adalah aturan-aturan praktis yang menjadi sebuah
kebiasaan. Kata sunnah adalah istilah Jahiliyyah yang diadopsi oleh Islam,45
kesamaan dua kata itu hanyalah bahwa dua-duanya sama-sama berlaku turun
temurun. Dan pada kesimpulannya dia mengatakan bahwa sebagian besar hadis
adalah hasil perkembangan masyarakat Islam dalam bidang sosial, agama dan
sejarah pada masa ke-emasannya dan bukanlah berasal dari Nabi.46 Dia mengatakan
bahwa setiap aliran dalam Islam dan lawan-lawanya sama-sama berkontribusi pada
bentuk dan varian hadis, 47 sehingga mereka turut serta dalam pemalsuannya
Yang dijadikan premis oleh Goldziher adalah bahwa larangan menulis
hadis, lebih banyak daripada kebolehan menulisnya sejak zaman Nabi hingga masa
sahabat. Selain itu dia menjustifikasi fenomena yang dia temukan bahwa Malik bin
Anas mengajarkan pada muridnya dari teks tertulis sedangkan murid-muridnya
mendengarkan dan mengahafalnya.48 Dari sini dia tidak mempercayai kekuatan
hafalan para perawi hadis, karena perkembangan dan penyebaran hadis yang lebih
banyak dengan hafalan.
41Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern
World, 197.
42 Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
GHA Juynboll:, Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Ḥadīth vol. 5 Mei 2007, 72.
43Harald Motzki (2005), "Dating Muslim Traditions: A Survey" dalam Journal
Arabica, 205-253
44Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadīth (Jakarta :
Hikmah, 2009), 85.
45Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 58.
46Ignaz Goldziher, Muslim Studies, tran. C. R. Barber and S. M. Stern (London:
George Allen Press, 1971), 19; Fatma Kizil, ‚Fazlur Rahman’s Understanding of the
Sunnah/hadīth -A Comparison with Joseph Schacht’s Views on the Subject‛, Hadis
Tetkikleri Dergisi (HTD), VI/2, 2008, ss. 31-46.
47Goldziher, Muslim Studies, II/19, 126
48Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London:
1971), 183.
29
Selain itu setelah memperhatikan teks-teks hadis yang menurutnya banyak
bertentangan Goldziher menyimpulkan bahwa kritik hadis klasik hanya berpegang
pada sanad saja dan tidak mengaitkannya dengan matan. Dia meneliti bahwa tidak
ada satupun kritikus hadis yang mengatakan ‚ karena teksnya mengandung
kontradiksi atau data sejarah yang mustahil terjadi, maka saya meragukan hadis
ini‛ 49 tidak adanya ungkapan semacam ini dia pahami sebagai ketiadaan kritik
matan hadis oleh sarjana Muslim.
Buku Goldziher ini diterjemahkan ke dalam bahasa arab sehingga diketahui
oleh dunia Islam dan mendapatkan banyak tentangan.50 Diantara tentangan itu
adalah Sanggahan terhadap kesimpulannya yang dilakukan oleh Musṭafā al-Sibā’i,
yang membuktikan autentisitas hadis dengan argumentasi pendekatan sejarah dia
menyimpulkan bahwa menurut sejarah, penyebaran hadis telah dimulai sejak masa
hidup Nabi Muhammad sekalipun beliau tidak pernah menugaskan secara resmi
kepada para sahabat tapi mereka telah mulai menulis hadis sebagai dokumen
pribadi. Untuk menguatkan teorinya, al-Sibā’i menawarkan beberapa argumen logis
(1) tradisi melakukan perjalanan (rih}lah) (2) menyelidiki rantai sanad hadis (3)
menguatkan hadis (tauthi>q al-h}adi>th) (4) methodologi kritik perawi hadis.51
Mengenai al-Zuhri yang dituduh suka menjilat penguasa Bani Umayyah
agar memperoleh kedudukan berdasarkan atas pengakuannya sendiri, al-Siba’i>
menjelaskan bahwa teks yang dikutip itu telah dirubah dengan sengaja agar berbeda
maksudnya, dan kronologi yang sebenarnya adalah bahwa al-Zuhri tidak mau
menuliskan hadis untuk masyarakat karena hawatir nantinya orang akan
mengandalkan tulisan dan tidak mau menghafal lagi, dan hal itu diucapkannya
setelah ia diuji kekuatan hafalannya oleh Hisham bin Abdul Ma>lik untuk
menuliskan hadis bagi anaknya hingga dua kali, selain itu bukan pula bahwa al-
Zuhri telah dipaksa oleh penguasa Bani Umayyah untuk memalsukan hadis sesuai
dengan selera para penguasa.52
Temuan Goldziher juga mendapat penolakan dari Fuat Sezgin, Nabia
Abbot dan Gregor Schoeler, Schoeler membuktikan bahwa tradisi menulis telah ada
dan dilakukan secara bebas dari seorang ke orang lain53 serta sama kuatnya dengan
tradisi menghafal dikalangan orang muslim awal,54 Schoeler meyakini bahwa
49Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. S.M. Stern and C.R. Barber (Chicago:
Aldine Atherton, 1971), 2:140-1.
50 G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions: Studies in Chronology Provenance and
Authorship of Early Ḥadīth (Cambridge : Cambridge University Press, 1985), 2.
51Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second
Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward
Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285-312.
52 Must}afa al-Siba>’i>, al-Sunnah wa maka>natuha fi al-Tashri>’ al-Isla>mi> (Bairut: Da>r
wara>q, 2000), 249.
53Gregor Schoeler, Character und Authentie der muslimischen berlieferung über das
Leben Mohammeds, (Berlin, New York: Walter de Gruyter, 1996)
54Schoeler, The Oral and the Written in Early Islam, 30ff. and chap. 4. ; A. Kevin
Reinhart, ‚Juynbolliana, Gradualism, the Big Bang, and H adi th Study in the Twenty First
Century ‚ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, P.
427.
30
ʿUrwah Ibn al-Zubair (w.94 H.) memiliki koleksi sistematis dalam mempelajari
agama.55 Dan mengenai ungkapan ‚mā ra’aytu fī yadihi kitāban qaṭṭu‛ (aku tidak
pernah melihat buku atau sesuatu yang tertulis miliknya),56 dan kata ‚lam yakun
lahū kitāb, innamā kāna yaḥfaẓu‛(dia tidak punya tulisan, akan tetapi menghafal).57
Goldziher menganggap bahwa ungkapan ini menunjukkan mayoritas penyebaran
hadis pada awalnya dengan hafalan dan bukan dengan tulisan, namun menurut Fuat
Sezgin, Nabia Abbot dan Schoeler tidak demikian. sedangkan menurut Nuruddin
‘Iṭr ungkapan ini bukan berarti mereka tidak menulis, tapi hanya menunjukkan
bahwa mereka memiliki hafalan yang kuat.58
Tapi Schoeler menolak kesimpulan Sezgin bahwa pada hakikatnya
periwayatan hadis pada awal Islam adalah dengan tulisan atau dalam bentuk buku.
Tesis Schoeler ini mendapat penguatan dari beberapa karya Harald Motzki.59
Berbeda dengan Goldziher, Abbott berpendapat bahwa kegiatan tulis
menulis bukan tidak umum di kalangan orang-orang Arab dan bahkan di masa pra
Islam, bahkan praktek penulisan hadis sudah berlangsung sejak awal dan
berkesinambungan. Maksudnya adalah bahwa para sahabat Nabi sendiri telah
menyimpan catatan-catatan hadis, dan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan
secara tertulis selain dengan lisan hingga hadis - hadis itu dihimpun dalam berbagai
koleksi kanonik. Periwayatan hadis secara tertulis ini dapat dijadikan sebagai
jaminan bagi keṣaḥiḥannya. Waktu yang dipilih Abbott untuk menguji hipotesanya
diambil dari empat periode umum. Pertama periode selama kehidupan Nabi, Kedua
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, ketika ditemukan perkembangan
dalam jumlah hadis secara luas yang disebarkan oleh para sahabat hingga datangnya
periode Umayyah. ketiga periode Bani Umayyah ketika peranan kunci Ibn Syihāb
al-Zuhrī ditekankan. keempat, periode munculnya kodifikasi hadis secara formal.60
Fuat Sezgin dan ‘Az}ami meneliti literature dan manuskrip hadis sebagai
bantahan atas temuan Goldziher bahwa pembukuan hadis baru berlangsung di akhir
abad kedua hijriah. Sezgin dan ‘Az}ami sama-sama dipengaruhi oleh metode
penelitian Nabia Abbot, seorang orientalis yang ikut membantah temuan Goldziher.
Kalau Az}ami berusaha menolak kesimpulan Schacht, sementara Sezgin ingin
menolak kesimpulan Goldziher.61 Akan tetapi keaslian literatur yang diteliti Sezgin
55Schoeler, The Oral and the Written in Early Islam, 61 n. 48.
56Perkataan Ibn Abi Hātim (w.327 H) tentang Sulaiman bin Harb dalam al-Jarh wa
al-Ta’dīl (Bairut : Dār Ihyā’ al-Turath al-‘Arabī, 1952), 108.
57Diucapkan oleh Ahmad bin Hambal untuk mensifati Sa‘īd .abī ‘Arūba (w.773)
dalam al-Dhahabī, Tadhkirah al-Huffadh,1, (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998),134;
Gregor Schoeler, ‚Die Frage...‛ in Der Islam, p. 206.
58Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 480.
59Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of Ḥadīth And Western Scholar
Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to Ḥadīth Scholarship‛ Al-Jāmi‘ah, Vol. 46,
No. 2, 2008, 267.; Motzki, ‚The Origins of Islamic Jurisprudence; ‚The Mus\annaf of ‘Abd
Razza>q al-S}an‘a>ni as a Source of Authentic Ah}a>di>th of the First Century A.H.,‛ Journal of
Near Eastern Studies 50 (1991), pp. 1-21.
60Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, II Qur`anic Commentary and
Tradition (Chicago : University of Chicago Press, 1967), 83
61Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of Ḥadīth And Western‛, 257.
Description:menganggap kritik hadis klasik hanya pada sanad saja itu tidak benar,19 kritik . melakukan eksplorasi pengetahuan agama melalui kebebasan berfikir dan . berdasarkan analisis sanad oleh Schacht dan Juynboll yang menurut