Table Of ContentBAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tesis ini akan menganalisis hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah pasca reformasi, dalam konteks perlawanan daerah
terhadap pusat. Fokus pada bentuk perlawanan tertutup yang dilakukan oleh
daerah terhadap pusat akan membedakan tesis ini dengan teori dasar
perlawanan tertutup yang telah umum dipahami yaitu sebagai perlawanan
kaum tani (Scoot 2000) dan juga konsep menghindari negara (Scott 2009)
sebagai cara perlawanan masyarakat untuk menghindar dari cakupan negara
pada masa prakolonial. Tesis ini akan mengkonteskan gagasan perlawanan
tertutup atau sehari-hari diluar penggunaan klasiknya yakni perlawanan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Namun demikian, karena yang
akan dibahas adalah proses lahir dan berkembangnya perlawanan Pemerintah
Daerah terhadap Pemerintah Pusat dan juga karena masih terbatasnya kajian
perlawanan tertutup yang secara khusus mengenai perlawanan daerah terhadap
pusat, maka inspirasi utama konseptualisasi perlawanan tertutup dalam kajian
ini berasal dari karya-karya terkait perlawanan tertutup kaum tani.
Pentingnya kajian hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah didasari oleh beberapa alasan. Pertama, alasan empiris berkaitan
dengan semakin menguatnya posisi Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak
pemberi layanan di daerah khususnya setelah reformasi 1998. Penguatan
posisi yang beriringan dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliknya
sebagai konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah pada akhirnya semakin
memperkuat kapasitas pemerintah daerah. Besarnya kewenangan yang
diserahkan kepadanya tentu mebutuhkan pula pengawasan yang lebih optimal
dari pemerintah pusat guna memastikan kewenangan yang diserahkan kepada
daerah dapat dilaksanakan secara optimal pula. Ketidak efektifan peran
pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah menjadikan hubungan
antar kedua jenjang pemerintahan tersebut bermasalah. Dalam hal ini
kesesuaian pemahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mutlak sebagai syarat terwujudnya harmonisasi hubungan keduanya.
Selain itu, kemandirian dijamin melalui kebijakan desentralisasi yang
memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Hal ini
sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya dalam pasal 1. Rumusan ketentuan ini tentu menimbulkan
sebuah pertanyaan menarik, mengenai sejauh mana prakarsa daerah dapat
dijalankan ketika prakarsa tersebut tidak sesuai dengan kehendak pemerintah
pusat. Dan karenanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi sesuatu yang tidak
dapat ditawar.
Kedua, alasan teoritis yang berkaitan dengan hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah.Selama ini ilmuwan politik maupun
pemerintahan menggambarkan hubungan pusat dan daerah sebatas hubungan
yang besifat legal formalistik. Karenanya hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah daerah dibagi menjadi hubungan kewenangan, hubungan
keuangan serta hubungan pengawasan.1 Pemaknaan mengenai hubungan
antara kedua jenjang pemerintahan dengan bentuk ini pada akhirnya dilekati
sebuah persoalan serius yang berakhir pada penyederhanaan hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanya sebatas bagi-bagi tugas dan
tanggung jawab. Cara pandang ini juga membuktikan begitu dominannya
pusat yang tampil dengan penuh mimpi-mimpi pada tingkat yang lebih tinggi
dan daerah sebagai pewujud mimpi-mimpi tersebut pada tingkatan yang lebih
rendah. Pada akhirnya terlepas dari apa dan bagaimana sistem pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah tersebut dilakukan, ungkapan bahwa
politik lokal sebagai arena ekspansi watak negara nasional2 menjadi sulit
untuk terbantahkan.
Studi yang dilakukan pasca reformasi oleh Hariani Samal juga
mengkofirmasi hal yang serupa bahwa pusat sebagai entitas yang begitu
dominan. Studi yang dilakukan untuk melihat implementasi kebijakan
pengukuhan hutan memperlihatkan bahwa inkonsistensi kebijakan yang ada
dijadikan sarana untuk memainkan kepentingan Pemerintah Pusat. Sehingga
meskipun secara teknis tujuan kebijakan tersebut akan memberikan manfaat
yang besar bagi daerah, namun dari sisi wewenang kebijakan ini membuat
pemerintah pusat leluasa memposisikan dirinya. Dengannya, Pemerintah
1 Kaho, Josef Riwu, 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Yogyakarta: Polgov
UGM.
2 Lay, Cornelis, 2010, Melawan Negara: PDI 1973-1986, Yogyakarta: Polgov UGM.
Daerah menjadi sangat tergantung terhadap pusat sebagai pemegang kendali
pengukuhan hutan.3
Dominan dan kuatnya Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah di
Indonesia dapat ditelusuri jejaknya sejak awal kemerdekaan Indonesia
tepatnya tahun 1950-an. Studi-studi yang dilakukan untuk melihat bagaimana
daerah-daerah di Indonesia melakukan perlawan-perlawan terhadap
pemerintah pusat mengkofirmasi hal itu. Studi yang dilakukan oleh Asnan
mengenai perjuangan yang dilakukan masyarakat Sumatra Barat untuk
memperoleh otonomi, menunjukan betapa kuat dan dominan bahkan
represifnya pemerintah pusat ketika perjuangan itu berakhir dalam raut
pemberontakan.4 Lebih lanjut studi Asnan mengenai dinamika pemekaran
wilayah di Sumatera Tengah tahun 1950-an, menunjukan bahwa kalaupun
pemerintah pusat memutuskan untuk turut pada kehendak daerah, bukanlah
berarti sebagai bukti keberhasilan daerah dalam menekan pusat akan tetapi
dapat dimengerti sebagai siasat pemerintah pusat yang lebih besar dan canggih
untuk tetap dominan atas daerah.5
Studi Van Klinken mengenai pembentukan Provinsi bagi masyarakat
Dayak di Kalimantan pada tahun 1950-an, menunjukan sekali lagi keunggulan
pusat atas daerah. Keberhasilan masyarakat dayak dalam menggapai cita-cita
3 Samal Hariani, 2005, Hubungan Pusat-Daerah dalam Implementasi Kebijakan Pengukuhan
Hutan pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang Provinsi Sulawesi Selatan, Tesis, Program
Pascasarjana UGM.
4 Asnan, 2011, Refionalisme, Historiografi, dan Pemetaan Wilayah: Sumatera Barat Tahun 1950-
an, dalam Van Bemmelen dan Ramco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-
an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
5 Asnan, 2011, Berpisah Untuk Bersatu: Dinamika Pemekaran Wilayah di Sumatera Tengah
Tahun 1950-an, dalam Van Bemmelen dan Ramco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia
Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
yakni untuk memperoleh Provinsi tersendiri justru bukan karena ampuhnya
tekanan mereka terhadap pusat mulai dari diplomasi sampai munculnya
gerakan separatis. Akan tetapi, pemekaran Provinsi tersebut merupakan bagian
dari siasat pemerintah pusat untuk memperkuat posisinya di daerah-daerah.
Menurutnya hal tersebut merupakan proses dari pembentukan negara sebagai
pemecahan atas masalah negara, yakni lemahnya negara di daerah-daerah
yang jauh sesudah berkecamuknya perang dan revolusi.6
Studi senada yang memperlihatkan kedigdayaan pusat atas daerah juga
ditunjukan oleh Timmer, studi yang dilakukan pasca reformasi dengan melihat
fenomena pembentukan provinsi baru di Papua. Timmer menjelaskan bahwa
proses pembentukan Provinsi baru di Papua sebagai kecanggihan stategi
Pemerintah Pusat untuk menghadapi ancaman disintegrasi nasional.7 Sehingga
pembentukan provinsi di Papua secara umum adalah bagian dari politik
integrasi dan memecah belah yang sepenuhnya merupakan inisiatif pemerintah
pusat untuk menghadang isu pemisahan diri dari NKRI8. Terlepas dari
manfaatnya, hal ini menunjukan betapa leluasanya Pemerintah Pusat dalam
mengatur daerah.
Indikasi empiris mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah apabila dilihat pada fokus perlawanan daerah terhadap
6 Van Klinken, 2011, Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi di Kalimantan, dalam Van
Bemmelen dan Ramco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
7 Timmer, 2007, Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua, dalam Schulte dan Van
Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV,Yayasan Obor Indonesia.
8Syafaruddin, Pemetaan Makna Politik Pemekaran Daerah di Indonesia Pasca Orde Baru, Hasil
Riset Disampaikan Dalam seminar dan Prosiding Dies Natalis Unila ke 44 Tanggal 5 Oktober
2009, Syafaruddin, 2009, Rasionalitas Elite dalam Penataan Daerah: Distribusi vs Akumulasi,
Yogyakarta: Tesis UGM.
pusat, sejauh ini dapat disimpulkan dua hal berikut. Pertama, Pemerintah
Pusat merupakan entitas yang dominan terhadap Pemerintah Daerah dan
sebaliknya daerah menjadi sangat rapuh akan intevensi pusat. Kedua,bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh daerah atas pemerintah pusat selalu dalam
bentuk yang terbuka, dan karenanya selalu mudah untuk diredam.
Hilangnya kajian-kajian mengenai perlawanan daerah pasca reformasi
mengesankan bahwa daerah seakan diam setelah terjadinya perlawanan-
perlawanan terbuka pada tahun 1950-an. Akan tetapi konflik penempatan
ibukota Kabupaten Buton Utara memberikan indikasi bahwa hubungan antara
pusat dan daerah khususnya selepas reformasi tidak sepenuhnya hampa akan
perlawanan daerah. Konflik yang bermula sejak terbentuknya Kabupaten
Buton Utara pada tahun 20079 dan kemudian berlarut hingga hampir genap
satu dasawarsa usia Kabupaten Buton Utara belum menujukan indikasi akan
berkesudahan. Pembangkangan Bupati Buton Utara10 serta upaya perlawanan
hukum11 terhadap Undang- Undang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
menjadi fakta-fakta yang mengkonfirmasi indikasi tersebut. Hilangnya peran
pengawasan DPRD Kabupaten Buton Utara dalam penyelesaian konflik ini
memperlihatkan bahwa konflik penempatan ibukota Kabupaten Buton Utara
tidak sekedar pembangkangan Bupati Buton Utara sebagai oknum, tetapi lebih
dari itu, konflik ini adalah mengenai perlawanan Pemerintah Daerah.
9 Indrahayu, Dirwan. Konflik Ibukota Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.
10 Lihat, Bupati Butur Langgar UU Pemekaran, Kendari Pos Edisi 29 September 2011; Lihat juga,
Tetap Membangkang, Mendagri Bisa Lengserkan Bupati Buton Utara, www.kemendagri.go.id,
Rabu 15 Januari 2014; lihat juga, Ibukota Kabupaten Tak Kunjung Pindah Mendagri Sebut Nasib
Bupati Buton Utara Bisa seperti Aceng, www.jpnn.com.
11 Lihat Putusan MK Nomor 19/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2007.
Belum banyak bahkan belum ditemukan kajian atau studi-studi yang
melihat perlawanan Pemerintah Daerah terhadap pemerintah Pusat
berlangsung dalam bentuk yang tertutup. Guna hal demikian tesis ini akan
ditulis.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah utama tesis ini yaitu mengapa dan bagaimana bentuk
perlawanan Pemerintah Daerah Kabupaten Buton Utara terhadap Pemerintah
Pusat dalam konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Adapun
untuk melihat sejauh mana keberhasilan perlawanan tersebut maka digunakan
rumusan masalah turunan yaitu : bagaimana intervensi yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara.
C. Tujuan
Tesis ini ditulis untuk menambah sekaligus memberikan pemahaman baru
mengenai hubungan pusat dan daerah khususnya dalam konteks perlawanan
daerah terhadap pusat. Selanjutnya, penulisan ini juga diharapkan dapat
menunjukan bahwa perlawanan daerah terhadap Pemerintah Pusat tidak
berhenti sebatas pada perlawanan terbuka tetapi juga berlangsung dalam
wujud perlawanan yang tertutup.
D. Tinjauan Pustaka
Bagian ini akan menjelaskan mengenai dua konsep kunci yang terkait
dengan perlawanan daerah terhadap Pemerintah Pusat yakni konsep dasar
mengenai hubungan pusat daerah, kemudian akan diakhiri dengan
mengidentifikasi poin-poin besar terkait konsep perlawanan tertutup dan
konsep menghindari negara sebelum disambung pada bagian kerangka analisa.
1. Hubungan Pusat – Daerah
Trauma 32 tahun orde baru yang sentralistis sangat lekat dalam benak
daerah, telah menjadi pemicu utama bagi diharuskannya perubahan pola
mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika arus
reformasi digaungkan pada akhir 1990-an, tuntutan akan desentralisasi
merupakan wacana yang lazim bergema. Keleluasaan daerah untuk mengatur
daerahnya sendiri menjadi cita-cinta yang terus diapayakan dan berhasil
dicapai ketika reformasi dengan lahirnya kebijakan desentralisasi.
Desentralisasi menjadi sebuah cara yang ampuh guna memberdayakan daerah
adalah basis legitimasi tuntutan tersebut.
Pemahaman tentang hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
didasarkan pada asas desentralisasi dalam negara kesatuan yang membingkai
pelaksanaan otonomi daerah. Dilaksanakannya asas desentralisasi
mengandung dua makna yaitu disatu pihak dilakukan pembentukan daerah
otonom sedangkan dilain pihak dilaksanakan penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat. Penyerahan
sebagian urusan dari pemerintah pusat kepada daerah disebut dengan istilah
desentralisasi, distribusi kewenangan dan delegasi kewenangan.
Cheema dan Rondinelli12 mendefenisikan desentralisasi sebagai
pendelegasian kewenangan untuk merencanakan, mengambil keputusan dan
mengelola urusan publik dari tingkat yang lebih tinggi kepada individu,
organisasi atau lembaga pada tingkat yang lebih rendah. Lebih lanjut Cheema
dan Rondinelli membagi desentralisasi kedalam empat bentuk yaitu
dekosentrasi, delegasi atas organisasi semi otonomi atau parastatal, devolusi
dan privatisasi (transfer fungsi pemerintahan kepada lembaga non
pemerintah). Disamping itu, Litvack dan Seddon membagi desentralisasi
menjadi empat tipe yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif
(memiliki tiga bentuk utama yaitu dekosentrasi, delegasi, devolusi),
desentralisasi fiskal serta desentralisasi ekonomi dan pasar.13
Sejak semula para pakar otonomi daerah telah menyadari bahwa pekerjaan
membagi urusan atau mendistribusikan kewenangan antara pusat dan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi adalah pekerjaan yang sulit.
Mohammad Hatta pada masa-masa awal kemerdekaan pernah mengemukakan
bahwa soal yang sulit adalah cara bagaimana mengadakan pembagian tugas
antara pusat dan daerah dalam beberapa tingkat otonomi.14 Selanjutnya The
Liang Gie mengidentifikasi tiga masalah pokok desentralisasi di Indonesia
yaitu : wewenang daerah otonom terutama mengenai pembagian kekuasaan
antara Pemerintah Pusat dan daerah-daerah otonom, masalah hubungan
12 Samal Hariani, 2005, Hubungan Pusat-Daerah dalam Implementasi Kebijakan Pengukuhan
Hutan pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang Provinsi Sulawesi Selatan, Tesis, Program
Pascasarjana UGM.
13 Ibid.
14 S. Situmorang. Distribusi Kewenangan Pusat Dan Daerah, disampaikan pada seminar dan dialog
interaktif kompleksitas persoalan otonomi daerah.(Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM
2003)
keuangan antara pusat dengan daerah dan masalah kerjasama antara daerah.15
Dengan demikian masalah hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah merupakan salah satu masalah yang penting untuk dikaji.
Pada tataran teoritis, karakteristik hubungan kekuasaan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah telah didudukkan sebagai variabel penting yang
membedakan antara prespektif desentralisasi politik dan desentralisasi
administrasi. Syarif Hidayat16 mengemukakan tentang kedua prespektif
tersebut. Para pendukung desentralisasi politik secara tegas mengatakan
bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Tujuan dari desentralisasi dalam hal ini tidak lain adalah
untuk mewujudkan local accountability, political equality, and local
responsiveness. Untuk mencapai tujuan itu, prasyarat yang harus dipenuhi
antara lain adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang
jelas, memiliki pendapatan daerah sendiri, memiliki lembaga perwakilan
rakyat yang berfungsi untuk mengontrol eksekutif daerah dan adanya kepala
daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme
pemilihan umum.
Para pedukung desentralisasi administratif berpendapat bahwa pengaturan
hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan daerah tidak harus dalam
bentuk devolusi tetapi dalam bentuk pemindahan kewenangan. Sebagaimana
defenisi yang dikemukakan Cheema dan Rondinelli yang telah disebutkan
15 Anwar Shah dan Zia Qureshi. Intergovermental Fiscal ReLATIONS In Indonesia, Issues and
Reform Obtions, World Bank Discussion Papers. (washington D.C : The World Bank, 1994)
16 Herudjati Purwoko dan Pradjarta Dirdjosanjoto, Desentralisasi dalam Prespektif Lokal, Salatiga:
Pustaka Percik. 2004
Description:Pemerintah Daerah pasca reformasi, dalam konteks perlawanan daerah pusat, maka inspirasi utama konseptualisasi perlawanan tertutup dalam kajian .. bentuk antara lain yaitu : pertama, escape agriculture yaitu bentuk strategi.