Table Of ContentBAB 2. KERANGKA DASAR TEORITIK
2.1. Karakteristik Masyarakat Nelayan
Karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat
petani karena perbedaan sumberdaya yang dimilki. Masyarakat petani (agraris)
menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu
jenis komoditas dengan hasil yang dapat dipridiksi. Dengan sifat yang demikian
memungkinkannya lokasi produksi yang menetap, sehingga mobilitas usaha yang
relatif rendah dan faktor resiko relatif kecil (Stefanus ,2005).
Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik
mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat
masyarakat nelayan untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Fenomena ini jika
dicermati secara mendalam, maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat
pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas
hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan yang bekerja sebagai
petani di sawah, ladang dan sektor jasa. Hal ini berarti jenis mata pencaharian
masyarakat nelayan heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai
nelayan pada dasarnya merupakan kelompok kecil saja. Dilihat dari tingkat
kesejahteraan hidup nelayan rata-rata masih belum menggembirakan, karena
sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.
Dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat
lainnya, seperti petani, buruh di kota atau masyarakat di daratan tinggi. Perspektif
antropologis ini didasarkan pada realitas sosial, bahwa masyarakat nelayan memiliki
pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil interaksi mereka
dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada didalamnya. Pola-pola
13
kebudayaan ini menjadi kerangka berfikir atau referensi perilaku masyarakat
nelayan dalam kehidupan sehari-harinya.
Secara Teologis masyarakat nelayan memilki kepercayaan cukup kuat,
bahwa laut memilki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan
khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan terjamin.
Tradisi ini masih tetap dipertahankan, seperti tradisi sowan suhu bagi nelayan yang
berasal dari Wonokerto Pekalongan. Tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga
keselamatan para ABK (anak buah kapal) dan Nakhoda padawaktu melaut dan
memperoleh hasil penangkapan ikan yang banyak (Satria, A, 2004).
2.2. Sumberdaya Perikanan
Nontji (1987), mengatakan bahwa, untuk perikanan laut, besar potensi
seluruhnya adalah 7,2 juta ton/tahun berupa standing stock, sedangkan yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal (Maksimum Sustainable Yield) berkisar 4,5 juta
ton/tahun atau kurang lebih 65% dari standing stock ditambah lagi 2,1 juta ton/tahun
yang terdapat diperairan ZEE Indonesia.
Perairan laut Jawa Timur meliputi wilayah Teritorial dan wilayah laut Zona
Ekonomi Ekslusif mempunyai luas sekitar 208.097 km2, sedangkan potensi yang
terkandung sebesar 618.418 ton/tahun, belum seluruhnya dimanfaatkan oleh
nelayan (Anonymous, 1988)dalam Mimit Primyastanto (2011c). Produksi perikanan
daerah tingkat I Jawa Timur tahun 1995 sebesar 238.677,60 ton dimana sekitar
36,41% atau 225.176,60 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan
di laut. Untuk produksi perikanan daerah tingkat 1 Jawa Timur tahun 2007 sebesar
395.890 ton dimana sekitar 96,72 % atau sebesar 382.877 ton merupakan produksi
dari cabang usaha penangkapan di laut.Damanhuri (1980)mengatakan, bahwa nilai
fishing ground bervariasi menurut kedalaman perairan, daerah dan musimnya.
14
Untuk mendapat produktivitas yang tinggi, pengembangan suatu alat, baik
mengenai kontruksi maupun cara operasi harus disesuaikan dengan sifat biologis
ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
2.3. Operasional alat tangkap payang
Cara pengoperasian alat tangkap payang adalah dengan melingkari
kawanan ikan sehingga kawanan ikan tersebut terperangkap dan masuk kedalam
kantong. Agar supaya ikan-ikan yang terperangkap tidak terjerat pada mata jaring
bagian kantong akibat saling berdesakan, maka ukuran mata jaring pada bagian ini
dibuat lebih kecil. Ukuran mata jaring yang lebih besar dapat dipakai pada bagian
lain, yaitu bagian yang akan menggiring ikan masuk kekantong. Penentuan ukuran
mata jaring bagian kantong alat tangkap payang pada dasarnya sama seperti pada
kantong alat tangkap trawl. Oleh karena itu ukuran mata jaring pada bagian kantong
alat tangkap payang dapat ditentukan dengan persamaan :
M =2/3XM
OB OG
Dimana:
MOB: ukuran mata jaring bagian kantong
MOG : ukuran mata jaring gill net yang biasanya untuk menangkap ikan yang
berukuran dan spesies sama (Fridman,1988).
Alat tangkap payang ini digolongkan oleh Anonymous (1984) kedalam seine net
yang mempunyai kantong dan dua buah sayap yang berfungsi sebagai
penggiringkawanan ikan. Pengoperasiannya dengan menggunakan perahu atau
kapal kecil dengan menebar jaring secara melingkar disuatu areal perairan yang
diperkirakan terdapat banyak ikan.
Sasaran penangkapan payang ditujukan kepada ikan-ikan permukaan
(pelagis) dengan cara mengejar atau melingkari suatu gerombolan ikan yang
15
nampak di permukaan perairan atau dengan cara menggunakan alat bantu
pengumpul ikan yang disebut rumpon. Untuk menghadang dan menggiring suatu
gerombolan ikan yang terdapat pada areal jangkauan alat tangkap tersebut agar
masuk ke kantong, maka alat tangkap dilengkapi dengan dua buah sayap. Fungsi
mesh size (ukuran mata jaring) pada sayap hanyalah merupakan dinding
penghadang dan bukan sebagai penjerat.
Hasil tangkapan payang didukung oleh terbukanya mulut jaring yang
dipengaruhi oleh beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah
untuk mempertahankan agar mata jaring tetap terapung pada permukaan perairan.
Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya apung dan
gaya tenggelam sehingga mulut jaring akan terbuka dengan baik. Disamping itu
juga sayapnya dapat berdiri tegak menghadang gerombolan ikan yang berenang ke
arah horisontal.
Pelampung yang digunakan umumnya terbuat dari alat bantu yang
diikatkan pada bagian atas kedua sayap dan bagian tali yang digunakan atau tali ris
atas dan bawah dan tali penarik. Ukuran tali ris atas lebih panjang dibanding
dengan tali ris bawah karena pada bagian bibir atas jaring lebih menonjol kearah
kantong dibandingkan dengan bibir bawah.
Bahan pemberat yang digunakan pada alat tangkap payang ini umumnya
terbuat dari campuran semen dan pasir yang mempunyai berat rata-rata 4 kg serta
pemasangan pemberat disesuaikan dengan letak dari pelampung (Garner, 1977).
2.4. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan
Kesulitan-kesulitan praktis dalam melaksanakan rencana pengelolaan di
kawasan Indo-Pasifik tidak dapat diremehkan. Jumlah nelayan di Asia Tenggara
saja diperkirakan lebih dari 4 juta orang. Daerah geografis dimana peraturan-
16
peraturan harus dilaksanakan luar biasa luasnya dan kebanyakan nelayan kecil tidak
mempunyai sumber pendapatan alternatif, andaikata mereka dilarang memasuki
sumberdaya di pantai atau periran umum didaratan. Disamping itu kekuasaan politik
perusahaan-perusahaan perikanan skala besar dan pengambilan keputusan yang
terpusat pada badan-badan perikanan pemerintah mempersulit dibentuknya
kekuasaan lokal yang diperlukan untuk program pengelolaan sumberdaya perikanan
yang dapat mengatasi pertentangan-pertentangan tersebut diatas secara efektif.
Dengan adanya tekanan penduduk di negara-negara di kawasan Indo-
Pasifik , maka perlu dilakukan lebih dari sekedar mengembangkan program
pengelolaan perikanan jika tujuannya hendak meningkatkan pendapatan masyarakat
nelayan. Program-program pengelolaan gagal untuk menangani dengan baik para
nelayan yang terlantar. Apabila hendak menghindari kemandekan dalam sektor-
sektor perikanan di pantai dan perairan umum, maka sebagai penyelesaian yang
baik jumlah nelayan atau upaya penangkapan ikan harus dikurangi melalui program-
program yang aktif dan telah disetujui bersama serta kegiatan perangsang yang
membuka kesempatan untuk mendapatkan peluang pendapatan alternatif bagi
sektor penangkapan ikan berukuran kecil yang sekarang hanya sedikit jumlahnya
atau hampir tidak ada.
Skenario teoritis yang ada adalah model-model abstrak dari kenyataan,
dimana biaya penangkapan ikan tidak seragam, lamanya musim penangkapan ikan
berbeda-beda dan para nelayan tidak selalu bebas memasuki dan meninggalkan
industri perikanan. Meskipun ada asumsi-asumsi penyederhanaan yang
memungkinkan abstraksi sampai tingkat tertentu, namun maksudnya jelas sekali dan
melengkapi pengamatan empiris yang lebih maju. Selama sumberdaya perikanan
tetap bersifat bebas ikut serta , pemecahan masalah ganda tentang eksploitasi
17
sumberdaya yang melampaui batas serta pendapatan penangkapan ikan yang
rendah untuk jangka panjang tidak akan ditemukan dalam sektor penangkapan ikan
tetapi malahan di luarnya. Dalam bentuk beberapa sumber pendapatan alternatif
atau tambahan bagi nelayan kecil dengan keluarganya atau RTP (Rumah Tangga
Perikanan).
Sumberdaya ikan harus dikelola dan ditata karena sumberdaya itu sangat
sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Pengelolaan, penataan, atau dalam
terminologi yang lebih umum, manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan
supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan
pembangunan dapat tercapai (Nikijuluw, 2005). Setiap negara menetapkan tujuan
dan prioritas manajemen sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung
pada latar belakang ekonomi, sosial, teknologi, dan politik. Indonesia menempatkan
manajemen sumberdaya perikanan pada visi pembangunan perikanan dan
kelautannya. Visi pembangunan perikanan Indonesia adalah mewujudkan usaha
perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan (manajemen) sumberdaya
perikanan secara bertanggung jawab (DKP, 2001 dalam Nikijuluw, 2005). Upaya
pengelolaan sumberdaya harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumberdaya itu sendiri beserta lingkungannya.
Pengelolaan perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi,
sosial budaya, hukum, dan politik. Tujuan dikelolanya perikanan antara lain
tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus terjaga
kelestariannya. Menurut Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007), tujuan (goal)
umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi,
ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh
masing-masing tujuan tersebut yaitu:
18
(1) untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan
bagi keberlanjutan produktivitas(tujuan biologi);
(2) untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta
sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan
ekologi);
(3) untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi);
(4) untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat
yang terlibat (tujuan sosial).
Definisi dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan yang ada pada UU
No. 31 tahun 2004 mengacu kepada FAO dalam Fisheries Technical Paper No. 424
yang diedit oleh Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007) yaitu : ”The integrated
process of information gathering, analysis, planning, consultation, decision-making,
allocation of resources and formulation of implementation, with enforcement as
necessary, of regulation or rules which govern fisheries activities in order to ensure
the continued productivity of the resources and the accomplishment of other fisheries
objectives”.
Menurut Gulland (1982) dalam Nabunome (2007), tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan meliputi:
1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam
level maksimum yang lestari (MSY= Maksimum Sustainable Yield).
2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari
pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan
3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal,
misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik
kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.
19
Adapun Dwiponggo (1983) dalam Suharno (2008) tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:
1. Pemeliharaan proses kelangsungan sumberdaya perikanan dengan memelihara
ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri
yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
Tujuan-tujuan itu menurut Pinkerton (1988) dalam Nikijuluw (2002), tidak
dapat tercapai secara otomatis tetapi dapat dicapai melalui beberapa kegiatan yang
intinya merupakan komponen manajemen sumberdaya perikanan. Kegiatan-
kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
- Pengumpulan dan analisis data. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi
seluruh variabel atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Prioritas patut diberikan kepada data biologi, produksi dan penangkapan ikan yang
merupakan informasi dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Namun, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan tidak
boleh dilupakan.
- Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya ikan meliputi perizinan, waktu,
serta lokasi penangkapan.
- Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap)
antar nelayan dalam satu kelompok dengan kelompok nelayan yang lain atau
nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan.
20
- Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang mengalami tekanan ekologis akibat
penangkapan ataupun kejadian alam.
- Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan.
- Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam
jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka
pendek atau yang saat itu sedang diimplementasikan.
- Pengambilan keputusan manajemen sumberdaya perikanan dengan
mempertimbangkan pengertian yang sempit, yaitu sumberdaya ikan itu sendiri
maupun pengertian yang luas – sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang
berpengaruh atau dipengaruhi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut.
Masyarakat perikanan internasional menganggap penting manajemen
sumberdaya perikanan seperti yang dimuat dalam CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries). Pasal 7 CCRF mengenai Manajemen Perikanan diantaranya
menyatakan bahwa negara harus mengadopsi pendekatan manajemen sumberdaya
perikanan yang tepat berdasarkan pada bukti dan fakta ilmiah yang ada. Selain itu,
pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau memulihkan stok
perikanan di laut pada tingkat kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa
merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekonomi (FAO, 1995). Pilihan
alternatif manajemen sangat tergantung pada kekhasan, situasi, dan kondisi
perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan
(Nikijuluw, 2002). Nabunome (2007) merekomendasikan supaya ada pengaturan
ukuran mata jaring, kontrol terhadap musim dan daerah penangkapan, pengurangan
jumlah upaya tangkap, dan pengaturan waktu penangkapan untuk menghindari
konflik antar nelayan sebagai hasil penelitiannya tentang pengelolaan sumberdaya
21
ikan demersal (studi empiris di Kota Tegal), Jawa Tengah. Pomeroy et. al.(2009)
melakukan penelitian tentang pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dengan
metode EBFM (Ecosystem Based Fishery Management) dan pendekatan EAFM
(Ecosystem Approach to Fishery Management) pada perikanan laut tropis skala kecil
di Philipina yang diatur oleh pemerintah setempat. Hasil penelitian merumuskan
skema model pengelolaan sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Manajemen Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di
Philipina(Pomeroy, et.al. 2009)
Skema manajemen pengelolaan perikanan dari penelitian Pomeroy, et.al.
(2009) merupakan salah satu contoh bagaimana pemerintah berperan dan
mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi demi kelangsungan dan
kelestarian ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan. Pemerintah Daerah
Philipina masing-masing membentuk perwakilan pengelola perikanan pada tiaptiap
sentra perikanan (teluk-teluk) yang juga berperan sebagai koordinator dari sub-sub
Description:pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas antropologis ini didasarkan pada realitas sosial, bahwa masyarakat Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya daerah, dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi,