Table Of ContentDi Bawah Bulan Malam Ini
Tiada setitik pun awan di langit.
Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya
matari.
Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala
dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut,
juga hewan dan manusia.
Langit jernih, bersih dan terang.
Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya: gelisah, resah,
seakan-akan manusia tak membutuhkan ketenteraman lagi.
0o-dw-o0
1. Abad ke enambelas Masehi
Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu
gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang
terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau
Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya
yang bertebaran seperti serakan mutiara – semua –
dikuningi oleh cahaya bulan.
Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila.
Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan
kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya
yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan
meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak
purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan
menggelembung membikin lunas menerjang serong gunung-
gunung air itu – serong ke baratlaut. Barisan dayung pada
dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular
naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang
sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.
Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar
bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten
Tuban. Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti
titik kelam, adalah jurutinjau.
Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang
sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di
sampingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang.
“Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku!” seru juru tinjau.
“Kita akan selamat sampai di tempat,” bisik nakhoda
pada Patragading sambil menyembah dada. “Tak ada yang
mengejar kita.”
Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada
pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjap-
ngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh
kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran.
“Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.”
“Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan
perompak.”
“Tak pernah ada perompak berani mendekati kapal
sahaya.”
“Lihat yang baik,” gertak Patragading. Tangannya
membetulkan kain penutup dadanya.
“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?”
“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan
laporan jurutinjau sambil menyembah dada. “Sebaiknya
Tuanku mengaso sebelum mendarat tengah malam ini.”
Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya
tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan
mondar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan,
memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk
ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga
tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal,
kemudian berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan.
Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari
pemandangan.
“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau.
Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu
menghembuskan nafas besar.
“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur
begini,” sambut nakhoda.
“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.”
“Pada putra Gusti Adipati tak ada nakhoda berani
membantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!”
“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.”
“Lebih gampang menumpas perompak.”
‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.”
“Boleh jadi ada perintah kembali.”
“Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan
terkapar ditelan hiu.”
“Ts-te-ts.”
“Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.”
“Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.”
“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?”
Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama,
hanya agar tidak berada di dekat Patragading, putra ke dua
ratus empat puluh satu.
Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah
botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit.
Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil
mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya
berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. Kepala itu diangkat
lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara
keras, membaung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat,
kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke
kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya
tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang
lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu
memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan,
meraung, melolong, membaung.
Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya
melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai
desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. Menusuk
lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa.
“Dengar anjing-anjing membaung!” orang tua itu
menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat.
Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para
pendengarnya.
“Tak pernah anjing hutan membaung seperti itu.”
Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua
memanjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing
di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala
di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyang-
goyang terkena angin silir.
“Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama?” kepala
desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.
“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing-
anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi
mereka. Sejak dahulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua
dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama
untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.”
“Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang
gadis di tengah-tengah hadirin.
“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum
pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekarang sedang
tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian
semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih
berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis.
Dulu desa ini dinamai Sumber Raja…” Tiba-tiba suaranya
terangkat naik, melengking. “Kalian biarkan desa ini di hina
oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama
Awis Krambil.” Ia tertawa sengit.
“Bukan begitu Rama Guru,” bantah kepala desa gopoh-
gapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin.
“Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap
sulitnya kelapa di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di
Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.”
“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka
sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak
menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian
sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang
desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncak-
puncak pohon kelapanya?”
Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar
perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata Rama
Cluring ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap
tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan
kelapa…. adalah karena ada apa-apa kecuali kelapa di
dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa
kecuali kelapa.”
“Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama Guru?” tanya
kepala desa tersiksa.
“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini
dahulu mencukupi buat semua? Memang lain. Dahulu
penduduk desa masih punya harga diri. Namanya tetap
Sumber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para
pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh,
cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka
kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan
nenek-moyang.”
Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai
bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus.
Para hadirin, tua dan muda, laki dan perempuan, gadis
dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendek-
kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar
putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala
Anoman dalam Ramayana.
Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil
mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan
keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang
terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa
Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu.
“Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan membaung
sepanjang malam.”
Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup
dari tengah hutan.
“Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,”
tiba-tiba orang tua itu menetak kejam.
“Aku dan kami mungkin memang bebal,” seseorang di
tengah-tengah hadirin membantah. ‘Tapi para dewa, Rama
Guru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik
untuk kelapa.”
“Puah!” seru Rama Cluring. “Sewaktu kecilku takkan
ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan
semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-guru
dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang
Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal
pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada
seorang pun menghinakan keadaannya, karena manusia
diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada
ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? Tetapi
manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke
telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan
yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk mempunyai ekor
pun manusia demikian tidak berdaya.”
Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya
tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang
ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan,
mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang manusia dan
kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan
kemungkinan-kemungkinannya. Kemudian menutup
dengan nada tinggi meledak: “Guru-gurumu takkan lupa
menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang
salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk
memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian me-
lewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk
dan ajaran Sang Guru. Padaku ada wewenang menamai
kalian bebal.”
“Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama,” seseorang
nenek memprotes.
“Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda
masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam
cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada
kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti
kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sumber Raja
jadi Awis Krambil, hanya karena desa ini tak mampu
membayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti
demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati?
Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan
merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu?
Menyaksikan dunia besar? Dihormati dan disegani di mana-
mana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai
di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah
orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sa-
kit karena kebebalan sendiri?”
Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan
anjing mengisi suasana.
“Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah
menginjakkan kaki di bumi Atas Angin. Di sana pun
dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang
sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala
seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga
seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak memberikan
kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga membayar
upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara
kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana
Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.”
Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh
yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesaran-
kebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai.
Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya:
“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan
masa-la lu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan
harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan
kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan
pohon kelapa pun kalian tak mampu!”
Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup
dada, laki dan perempuan. Namun ada juga perawan-
perawan yang membiarkan buah dadanya terbuka,
dipermain-mainkan sinar damar sewu dan angin silir yang
mengentalkan darah.
“Dulu, waktu Sang Adipati masih muda, jadi pembesar
berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah
dipersembahkannya pada Majapahit. Di tangannya juga
Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya,
apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini
pun tidak sesuatu! Kalian ini kawula Sang Adipati ataukah
budaknya yang ditangkap di medan perang?”
“Kawula!” seseorang memberikan jawaban.
“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?”
“Rama!” seorang lagi berseru tegang,
“Rama telah….”
“Rama!” tegur kepala desa di belakangnya. Matanya
berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu
pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut
pembangkangan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih
mengerti aturan darmaraja.”
Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.
“Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai
berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu
dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu
sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.
“Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung.
Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua
terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu
sebabnya kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan, semua,
Description:Historical novel.