Table Of ContentBAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penurunan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim
yang ekstrim, yaitu kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang
berada di atas normal. Iklim di Jawa Timur telah mengalami perubahan iklim
global. Malang Raya sebagai bagian dari propinsi Jawa Timur tidak terlepas
pula dari pengaruh perubahan iklim global, dimana kondisi iklim Kota Malang
selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,7°C -
25,1°C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum
18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban
maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di
Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan
musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah
hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember.
Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah.
Perubahan iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada
berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang
efektif adalah memadukan penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan
tanah. Mempelajari perilaku iklim terutama curah hujan setidaknya telah
meningkatkan effisiensi penggunaan air, mengurangi resiko bencana alam,
banjir dan kekeringan pada tanaman pangan. Selain itu, memudahkan untuk
merencanakan pola tanam yang tepat yang tidak terlepas dari penggunaan data
hujan seberapun sederhananya. Data yang baik memberikan kontribusi yang
optimal pada perencanaan waktu tanam dan menentukan prakiraan iklim yang
akurat dalam lingkup area tertentu.
Produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami
penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-20C
sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya
frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak
negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di
1
daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim
kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen,
krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan
perubahan pola hujan, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan
pangan. Langkah yang bias dilakukan adalah melakukan adaptasi (KLH,
1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau
mengatur waktu tanam.
Jawa Timur merupakan salah satu propinsi penghasil apel di
Indonesia khususnya di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar. Jika dilihat
dari perkembangannya tanaman apel mengalami masa kejayaan pada
tahun 1980-an hingga 1996 dan apel dijadikan sebagai maskot kota Batu.
Sentra tanaman apel berada di kecamatan Bumiaji yang menempati
luasan sekitar sembilan puluh lima persen dari total lahan apel di Batu.
Namun luas lahan apel dari tahun ke tahun terus menyusut. Berdasarkan
data Dinas Pertanian tahun 2009 menyebutkan bahwa luas lahan apel
saat ini sekitar 600 hektare, dengan jumlah pohon apel sebanyak
2.506.546. Dari jumlah itu, produksi apel hanya 24.625 ton per tahun.
Berkurangnya lahan apel ini disebabkan oleh banyak terjadi alih
fungsi lahan apel menjadi lahan perkebunan jeruk, sayur, dan bunga
seperti yang terjadi di Desa Bumiaji, Sidomulyo, dan Punten. Alih fungsi
lahan apel disebabkan karena tanaman apel sudah tidak bisa tumbuh
dengan baik di daerah tersebut. Ditinjau dari perubahan iklim yang terjadi
bahwa menurunnya kelembaban udara dan meningkatnya suhu
menyebabkan jumlah dan mutu produksi apel terus menurun. Kondisi ini
menyimpang dari persyaratan tumbuh yang diperlukan tanaman apel
yaitu suhu 16-27 derajat Celsius dengan kelembapan udara 75-85 persen
dengan ketinggian ideal untuk tanaman apel berkisar pada 700-1200
mdpl. Dengan adanya kondisi di atas perlu upaya prakiraan iklim
khususnya curah hujan sehingga dapat digunakan untuk menentukan
crop calendar budidaya apel.
2
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
perubahan iklim ini, adalah melalui pendekatan taktis dengan pengembangan
metode dan teknik ramalan musim yang lebih handal, serta melalui penerapan
berbagai model dan ragam data (Peragi dan Perhimpi,1994). Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan prakiraan curah
hujan 10 harian untuk kepentingan informasi pertanian. Prakiraan ini digunakan
untuk menentukan awal masuk dan berakhirnya musim penghujan atau
kemarau. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kapan awal
musim tanam padi harus dilakukan.
Saat ini model-model peramalan iklim mulai banyak dikembangkan di
Indonesia dan umumnya menggunakan pendekatan stokastik (Gooddard, 2000).
Beberapa model stokastik yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya
model Autoregressive Integrated Moving Average atau ARIMA, Fungsi Transfer,
Adaptive Splines Threshold Autore-gression atau ASTAR (lihat Andriansyah,
1998; Boer, Notodiputro, dan Las, 2000).
Beberapa model peramalan iklim yang sering digunakan oleh Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ARIMA, tranformasi wavelet, dan
Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS (Indragustari, 2005a;
2005b; Nuryadi, 2005). Permasalahan yang sering muncul dalam hal ini adalah
tidak terpenuhinya asumsi kestasioneran, dimana seringkali dijumpai kondisi
yang berbeda-beda pada setiap lokasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa model-
model tersebut spesifik atau hanya bisa diaplikasikan untuk lokasi tertentu saja.
Model-model peramalan iklim yang berkembang saat ini belum memberikan
hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan antara lain adalah masih
rendahnya akurasi model peramalan yang digunakan, yaitu : (Suhartono,
Sutikno, Otok, dan Setiawan, 2009)
(1). data yang tersedia kurang memadai (terbatas),
(2). metode-metode yang dikembangkan tidak dapat berlaku umum (setiap
lokasi cenderung mempunyai metode tersendiri),
(3). metode yang digunakan untuk meramalkan iklim sebagian besar belum
melibatkan variabel-variabel indikator iklim lainnya (masih menggunakan
metode peramalan univariat).
Seiring dengan perkembangan model peramalan iklim, seringkali dijumpai
data yang tidak hanya mengandung keterkaitan dengan kejadian pada waktu-
3
waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan lokasi atau
tempat yang lain yang disebut dengan data spasial. Kondisi ini juga berlaku
pada data iklim yang cenderung tidak hanya mengandung keterkaitan dengan
iklim pada waktu sebelumnya, tetapi juga berkaitan dengan iklim di lokasi yang
lainnya yang dikenal dengan fenomena space-time atau spatio-temporal. Salah
satu contoh variabel iklim yang mengikuti pola space-time adalah data tentang
curah hujan.
Pendekatan model spatio-temporal berupa model Space-Time
AutoRegressive Moving Average (STARMA) merupakan pengembangan model
time series ARMA dari Box-Jenkins untuk beberapa lokasi, atau dinamakan
model vektor time series (Ruchjana, 2005). Model Space-Time AutoRegressive
(STAR) yang merupakan bagian dari model STARMA dari Pfeifer (1980)
memiliki keterbatasan, yaitu model tersebut mengasumsikan bahwa parameter
untuk semua lokasi yang tersampel bernilai sama, artinya lokasi-lokasi yang
diamati bersifat serba sama atau homogen.
Dalam fenomena alam seringkali lokasi-lokasi pengamatan bersifat
heterogen. Misalnya di beberapa daerah memiliki curah hujan atau iklim yang
berbeda, sehingga dipredikisi curah hujan di Malang Raya mempunyai
heterogenitas yang tinggi.
Untuk mempelajari pendekatan model spatio-temporal bagi lokasi-lokasi
dengan sifat heterogenitas yang tinggi, seperti curah hujan di berbagai lokasi di
jawa timur khususnya, maka Ruchjana (2002) mengembangkan model STAR
menjadi model Generalisasi Space Time AutoRegresi, GSTAR. Keterbatasan
model GSTAR adalah hanya dapat digunakan untuk data yang stasioner saja
tanpa mempertimbangkan adanya pola musiman. Sedangkan curah hujan selalu
mengandung pola musiman. Lebih lanjut, penggunaan model GSTAR belum
pernah diaplikasikan untuk budidaya apel. Sehingga dalam penelitian ini ingin
dikembangkan model GSTAR untuk meramalkan curah hujan di lokasi-lokasi
pertanaman apel dengan mempertimbangkan pola musiman.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengembangkan model prakiraan
iklim dengan GSTAR untuk data musiman.
4
b. Bagaimana meramalkan curah hujan dengan menggunakan model
GSTAR.
1.3. Tujuan Penelitian
a) Mengembangkan model prakiraan iklim dengan menggunakan model
GSTAR untuk data musiman.
b) Meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.
1.4 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada :
1. Model GSTAR untuk data musiman
2. Variabel yang digunakan adalah curah hujan
3. Lokasi yang digunakan tiga lokasi pertanaman apel yaitu Batu,
Poncokusumo dan Nongkojajar.
1.5 Manfaat
a. Manfaat teoretis hasil penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model-model
peramalan, khususnya yang terkait pada model space-time, melalui
model GSTAR untuk mendapatkan model ramalan iklim yang lebih
akurat.
b. Manfaat praktis hasil penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
kepada BMKG dan Departemen Pertanian dalam menyusun kalender
tanam di wilayah pertanaman apel sehingga kegagalan panen karena
faktor curah hujan akan dapat dikurangi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agronomi Tanaman Apel
Apel dalam ilmu botani disebut Malus sylvestris Mill. Apel merupakan
tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim sub
tropis. Di Indonesia apel telah ditanam sejak tahun 1934 hingga saat ini.
Tanaman apel mulai berkembang setelah tahun 1960, terutama jenis Rome
Beauty. Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam:
1) Divisio : Spermatophyta
2) Subdivisio : Angiospermae
3) Klas : Dicotyledonae
4) Ordo : Rosales
5) Famili : Rosaceae
6) Genus : Malus
7) Spesies : Malus sylvestris Mill
Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas yang
memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan
antara lain: Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble dan Wangli/Lali
jiwo.
Gambar 2. 1. Apel (Malus sylvestris Mill)
Sumber: warintek.ristek
Seluruh kultivar apel yang ditanam di Indonesia pada kenyataannya
adalah introduksi dari luar negeri. Jenis Rome Beauty merupakan kultivar yang
paling banyak ditanam, hampir sekitar 70 % dari total populasi apel di Malang.
Tanaman apel di Indonesia dapat dipanen 2 kali setahun, tetapi produksinya
selain dipengaruhi oleh umur tanaman juga dipengaruhi oleh musim.
Berdasarkan data yang didapat dari Balai Penelitian Hortikultura Malang,
6
produksi apel jenis Rome Beauty pada musim penghujan lebih sedikit yaitu
sekitar 2, 44 kg/pohon/musim, dibandingkan dengan musim kemarau yang bisa
mencapai 12,25 kg/pohon/musim. Rendahnya produksi pada musim hujan
disebabkan oleh air hujan yang menimpa bunga yang sedang mekar yang
dapat menggagalkan penyerbukan (Suhardjo, 1985).
2.2. Teknik Budidaya Tanaman Apel
Budidaya tanaman apel dilakukan secara bertahap mulai dari
pembibitan hingga pemanenan. Perbanyakan tanaman apel dilakukan secara
vegetatif dan generatif. Perbanyakan yang baik dan umum dilakukan adalah
perbanyakan vegetatif, sebab perbanyakan generatif memakan waktu lama dan
sering menghasilkan bibit yang menyimpang dari induknya. Berikutnya adalah
pengolahan media tanam, yang pertama dilakukan adalah persiapan
pengolahan tanah dan pelaksanaan survei. Tujuannya untuk mengetahui jenis
tanaman, kemiringan tanah, keadaan tanah, menentukan kebutuhan tenaga
kerja, bahan paralatan dan biaya yang diperlukan. Tanaman apel dapat
ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping hanya dapat
dilakukan apabila tanah belum tertutup tajuk-tajuk daun atau sebelum 2 tahun.
Tapi pada saat ini, setelah melalui beberapa penelitian intercroping pada
tanaman apel dapat dilakukan dengan tanaman yang berhabitat rendah, seperti
cabai, bawang dan lain-lain. Tanaman apel tidak dapat ditanam pada jarak
yang terlalu rapat karena akan menjadi sangat rimbun yang akan menyebabkan
kelembaban tinggi, sirkulasi udara kurang, sinar matahari terhambat dan
meningkatkan pertumbuhan penyakit. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman
apel tergantung varietas. Untuk varietas Manalagi dan Princes Noble adalah 3-
3.5 x 3.5 m, sedangkan untuk varietas Rome Beauty dan Anna dapat lebih
pendek yaitu 2-3 x 2.5-3 m. Penanaman apel dilakukan baik pada musim
penghujan atau kemarau (di sawah). Untuk lahan tegal dianjurkan pada musim
hujan. Pemeliharaan Tanaman dilakukan beberapa tahap yaitu: penjarangan
dan penyulaman, penyiangan, pembubunan dan perempalan/pemangkasan
serta pemupukan. Untuk pemupukan biasanya pupuk yang diberikan pada
pengolahan lahan adalah pupuk kandang sebanyak 20 kg per lubang tanam
yang dicampur merata dengan tanah, setelah itu dibiarkan selama 2 minggu.
Untuk pertumbuhannya, tanaman apel memerlukan pengairan yang memadai
7
sepanjang musim. Pada musim penghujan masalah kekurangan air tidak
ditemui, tetapi harus diperhatikan jangan sampai tanaman terendam air. Karena
itu perlu drainase yang baik. Sedangkan pada musim kemarau masalah
kekurangan air harus diatasi dengan cara menyirami tanaman sekurang
kurangnya 2 minggu sekali dengan cara dikocor.
Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah
bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Rome Beauty dapat dipetik
pada umur sekitar 120-141 hari dari bunga mekar Manalagi dapat dipanen
pada umur 114 hari setelah bunga mekar dan Anna sekitar 100 hari. Tetapi,
pada musim hujan dan tempat lebih tinggi, umur buah lebih panjang.
Pemanenan paling baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak
fisiologis (ripening), yaitu tingkat dimana buah mempunyai kemampuan untuk
menjadi masak normal setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah:
ukuran buah terlihat maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah
segar.
2.3. Cuaca dan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja
dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang
tidak sama. Cuaca oleh Gibbs (1987) didefinisikan sebagai keadaan atmosfer
yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan,
angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah
selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Ilmu
yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi. Sedangkan
iklim didefinisikan sebagai peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara
lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama
kurun waktu yang panjang. Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim
disebut klimatologi.
Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi,
maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di
Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu
iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.
8
A.Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap
periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan.
Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan
Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan
Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan.
Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang
sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim
kering/kemarau.
B. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim
tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau
dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis,
sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim
tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang
banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
C. Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut
mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan
yang tinggi.
Perubahan iklim
Gambar 2.1 Peta Indonesia
9
Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah
curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang
sama. Pola hujan di daerah Jawa Timur adalah pola munsonal atau dipengaruhi
oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu.
2.4 Pengembangan Model Prakiraan Iklim
2.4.1 Model ARIMA
Secara umum model ARIMA musiman merupakan model time series yang
fleksibel untuk memodelkan beberapa tipe baik musiman atau non musiman.
Model ARIMA musiman menurut Wei, 1990 adalah
S d S D S
φ (B)Φ (B )(1−B) (1−B ) y =θ (B)Θ (B ) a
p P t q Q t
, (1)
dengan
φ (B) 1−φB−φ B2 −K−φ Bp
p = 1 2 p
Φ (BS) 1−Φ BS −Φ B2S −K−Φ BPS
P = 1 2 P
θ (B) 1−θB−θ B2 −K−θ Bq
q = 1 2 q
Θ (BS) 1−Θ BS −Θ B2S −K−Θ BQS
Q = 1 2 Q ,
dan S adalah panjang periode musiman, B adalah operator mundur atau back
a
shift operator, dan t adalah suatu deret white noise dengan rata-rata nol dan
varians konstan. Box dan Jenkins pada tahun 1976 telah memperkenalkan
suatu strategi pembentukan model yang efektif untuk ARIMA musiman
berdasarkan pada struktur autokorelasi dalam suatu data time series (lihat Wei,
1990).
2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)
Vector autoregressive (VAR) dapat didefinisikan sebagai sistem
persamaan yang meregresikan setiap peubah endogen terhadap nilai konstan
dan nilai lag-nya serta nilai lag dari peubah lain. Vector autoregression (VAR)
merupakan siste m persamaan dinamis yang memiliki kemampuan untuk
10
Description:25,1°C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum. 18,4°C . Rata . ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping . Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) model yang relatif Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error (RMSE). Akaike's.