Table Of ContentHasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
HALREV
Hasanuddin Law ReviewKorelasi Putusan Hakim Tingkat Pertama,
Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi (Suatu Studi
Tentang Aliran Pemikiran Hukum)
The Correlation of Judge Decisions in Courts of First Instance, Appeal, and
Final Appeal (A Study on the History of Legal Thought)
Mustafa Bola1, Romi Librayanto2, Muhammad Ilham Arisaputra3*
1 Bagian Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan, 90245, Indonesia.
2 Bagian Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan, 90245, Indonesia.
3 Bagian Hukum Keperdatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan, 90245, Indonesia.
* Tel./Fax: +62-411-585035 E-mail: [email protected]
Submitted: Dec 7, 2014; Reviewed: Feb 21, 2015; Accepted: Mar 9, 2015
Abstract: In order to make a decision, Judge has obliged under the law to conduct the
article as a consideration in making any decision. The developing of Legal paradigm
has shown an expectation to the court, specially the judges for not only able to give
procedural justice based on the law text, but more to the substantive justice. Subtantive
Justice is not mean that judge may ignore the law that less of justice, but still put as
guideline for the legal formal which have given the justice also the rule of law. Some of
the factor that influenced to the implementation on legal paradigm for judge in making
any decision is the background of education of the judge, spirit of the corp, external
controlling and also the integrity of the Judges decision.
Keywords: Judge Decision; Legal Paradigm; Legal idealism
Abstrak: Hakim dalam mengambil putusan dibebankan kewajiban oleh undang-undang
untuk memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
sebagai dasar untuk mengadili. Paradigma hukum yang berkembang menunjukkan
adanya harapan agar pengadilan, khususnya hakim, tidak hanya mampu memberikan
keadilan prosedural semata berdasarkan teks perundang-undangan, akan tetapi lebih
utama adalah keadilan substantif. Keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu
mengabaikan bunyi undang-undang, melainkan dengan keadilan substantif berarti
hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap
berpedoman pada formal undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus
menjamin kepastian hukum. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan
paradigma hukum bagi hakim dalam memutus perkara adalah faktor pendidikan hakim,
lingkungan peradilan (spirit of the corp), pengawasan eksternal, dan integritas hakim.
Kata Kunci: Putusan Hakim; Paradigma Hukum; Idealisme Hukum
141
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
PENDAHULUAN Gelombang kritik terhadap positivisme
Sejak dahulu, khasanah ilmu hukum telah hukum berangkat dari premis bahwa suatu
diwarnai oleh kontestasi pemikiran hukum. sistem tidak mungkin sepenuhnya bersifat
Salah satu aliran yang sangat berpengaruh tertutup. Sistem yang tertutup sama sekali
dalam perkembangan sistem hukum Indo- akan menyulitkan penyesuaian kaidah-
nesia adalah aliran positivisme atau analyti- kaidah yang terjadi akibat adanya perubahan
cal positivism atau rechtsdogmatiek. Aliran dalam masyarakat. Suatu sistem dinyatakan
yang mulai berkembang sejak abad kesem- tidak akan lama bertahan hidup jika tidak
bilan belas tersebut merupakan antinomi dari mendapat dukungan sosial yang luas. Dengan
konsep naturalisme yang hidup sebelumnya. demikian sistem haruslah bersifat terbuka,
Pemikiran hukum naturalis yang menem- karena sistem tidak dapat dilepaskan dari
patkan rasionalitas hukum positif manusia sistem sosial lainnya. Memisahkan hukum
harus bersumber pada akal budi yang ditu- dengan moral seperti rasa keadilan yang
runkan dari Hukum Alam.1 dianut positivisme tidak dapat dianut lagi
Konsep hukum modern menempatkan oleh karena rasa keadilan tersebut merupakan
positivisme sebagai mainstream yang cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan
harus berhadapan dengan suatu problem aspek penegakan yang termuat dalam
masyarakat yang kompleks dan rumit. kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya
Artinya, positivisme yang hanya mampu dukungan moralitas.2
memilah dan menyelesaikan persoalan secara Pranata hukum yang berkiblat pada
hitam putih atas dasar peraturan perundang- filsafat positivisme dinilai tidak berdaya
undangan, harus berhadapan dengan masalah untuk menyelesaikan masalah-masalah so-
kehidupan manusia yang sangat kompleks sial akibat bangunan sistem hukum beserta
dan tidak secara tepat terakomodasi dalam doktrin-doktrin yang menopangnya memang
deretan aturan terkodifikasi. Terutama akibat tidak memungkinkan hukum melakukan
pandangan positivisme yang menempatkan perubahan sosial atau menghadirkan
hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan keadilan substantif. Kondisi ini makin
dan anasir-anasir di luar hukum. Positivisme diperparah oleh faktor tercemarnya institusi-
meyakini bahwa hukum adalah closed institusi hukum karena bekerja sebagai alat
logical system, artinya, peraturan dapat kekuasaan dengan watak dogmatika hukum
dideduksikan dari undang-undang yang (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari
dikodifikasi terbebas dari anasir sosiologis, sentuhan aspek-aspek sosial.
politik, ekonomi, bahkan etika, dan moral, Kontestasi pemikiran hukum legal
sehingga menjadikan hukum sebagai bidang positivism dengan cara pandangnya yang
yang terisolasi dari interaksinya dengan bersifat abstrak dan formal legalistis, mela-
masyarakat. hirkan beberapa pemikiran hukum dengan
2 Lihat Rikardo Simarmata, Socio Legal Studies
1 E. Sumaryono. (2002). Etika dan Hukum: dan Gerakan Pembaharuan Hukum. Available
Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas at: http://www.huma.or.id/document/ [Diakses
Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 79. 6 September 2014].
28
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
konsep paradigma yuridis sosiologis atau Beranjak dari terdapatnya kontestasi
yuridis empiris, diantaranya aliran sejarah dalam pemikiran hukum dalam khasanah
hukum. Dalil utama aliran pemikiran hukum ilmu hukum, merupakan suatu hal yang
ini adalah hukum timbul tidak semata kare- penting untuk melihat apakah kontestasi
na perintah penguasa atau kekuasaan, tetapi tersebut juga memengaruhi atau merebak
karena perasaan keadilan yang terletak di dalam kehidupan nyata pelaksanaan hukum.
dalam jiwa bangsa (volkgeist).3 Terutama dalam koridor putusan pengadilan
Antitesis terhadap aliran sejarah dan sebagai benteng terakhir pencari keadilan,
utamanya positivisme adalah pemikiran yang saat ini masih terdapat tudingan bahwa
hukum sociological jurisprudence yang harapan terhadap lembaga peradilan belum
berpendapat bahwa hukum yang baik sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak.
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum Tudingan kepada pranata peradilan secara
yang hidup dalam masyarakat. Teori ini otomatis dialamatkan kepada hakim sebagai
memisahkan secara tegas antara hukum penguasa utama dalam proses pengadilan.
positif dengan hukum yang hidup. Dalil Profesi hakim sebagai salah satu
utama tentang hukum, tidak lagi merupakan bentuk profesi hukum sering digambarkan
persoalan tentang legalitas formal, mengenai sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu,
penafsiran pasal-pasal peraturan perundang- hakim juga digolongkan sebagai profesi
undangan secara semestinya, melainkan luhur (officium nobile), yaitu profesi yang
bergerak ke arah penggunaan hukum pada hakikatnya merupakan pelayanan
sebagai sarana untuk turut membentuk pada manusia dan masyarakat.6 Hakim
tata kehidupan yang baru tersebut atau sebagai figur sentral dalam proses peradilan
sesuai dengan kondisi saat itu.4 Di sisi lain, senantiasa dituntut untuk mengasah kepe-
berkembang juga aliran Realisme Hukum, kaan nurani, memelihara kecerdasan moral
yang inti gagasannya bahwa hukum adalah dan meningkatkan profesionalisme dalam
alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan menegakkan hukum dan keadilan bagi
tidak memercayai adanya suatu anggapan masyarakat. Terutama dalam posisinya yang
bahwa peraturan-peraturan dan konsep- senantiasa harus memberi putusan dengan
konsep hukum itu sudah mencukupi untuk pernyataan “Demi Keadilan Berdasarkan
menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa”.
pengadilan.5 Salah satu tudingan yang dialamatkan
kepada profesi hakim adalah seringnya
3 L. B. Curzon. (1995). Jurisprudence: Lecture terdapat putusan-putusan yang tidak sesuai
Notes Series, 2nd ed. London: Cavendish
Publishing. Ltd., hlm. 130.
4 Lihat lebih lanjut elaborasi sociological juris- 6 Apapun kondisi yang dipersepsikan terhadap
prudence dalam Suri Ratnapala. (2009). Juris- profesi hukum di Indonesia dewasa ini, profesi
prudence. New York: Cambridge University hukum secara intrinsik tetap merupakan pofesi
Press, hlm. 188-189. luhur yang dibutuhkan oleh masyarakat,
5 L.B. Curzon, Op.Cit., hlm. 169-175. Lihat pula bangsa, dan negara. Lihat dalam Sidharta.
dalam Ian McLeod. (2003). Legal Theory. 2nd (2006). Moralitas Profesi Hukum: Suatu
Ed. New York: Palgrave Macmillan, hlm. 137- Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: PT.
149. Refika Aditama, hlm. 4.
29
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
dengan rasa keadilan masyarakat (substan- Seberapa jauh kontestasi ini memengaruhi
tive justice) yang disebabkan masih digu- serta bagaimana para hakim menggunakan
nakannya paradigma positivisme dalam konsep-konsep pemikiran hukum yang ada,
menangani suatu perkara. Masih banyak merupakan serangkaian masalah yang perlu
ditemukan hakim yang dalam pengambilan dikaji dalam kenyataannya.
keputusannya hanya menganut pola pikir
METODE
positivistik yang sangat didominasi oleh per-
spektif legalisme, formalisme, dan dogma- Penelitian ini merupakan penelitian yang
tisme, karena semua putusan harus diambil bersifat yuridis normatif atau penelitian
bertumpu pada bunyi peraturan semata. doktrinal8, yakni pendekatan masalah
Namun, dapat ditemukan pembelaan yang mempunyai maksud dan tujuan
hakim yang memandang asas legalitas untuk mengkaji perundang-undangan dan
di atas segalanya. Prinsip legalitas yang peraturan yang berlaku juga kajian teoritis
diabstraksi dari pemaknaan Hans Kelsen7 dari literatur yang ada yang kemudian
tentang “keadilan berdasarkan hukum”. dihubungkan dengan permasalahan yang
Bahwa keadilan dalam pengertian yang menjadi pokok pembahasan yang dibahas
bermakna legalitas adalah suatu peraturan di dalam penelitian ini. Penelitian ini
umum yang benar-benar diterapkan kepada menganalisis korelasi putusan hakim tingkat
semua kasus yang menurut isi peraturan pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi
tersebut harus diterapkan. Peraturan itu dalam hubungannya dengan aliran-aliran
tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus pemikiran hukum yang berkembang.
tetapi tidak diterapkan pada kasus lain yang Adapun bahan hukum yang digunakan
serupa. Sehingga keadilan adalah suatu dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
kualitas yang berhubungan bukan dengan 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum
isi dari suatu tatanan hukum positif (law in yang bersifat mengikat yang terdiri atas
book), melainkan pada penerapannya (law Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
in action). Perbuatan seseorang dinyatakan tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan
adil atau tidak adil dalam arti berdasarkan pengadilan; 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu
hukum, adalah perbuatan tersebut sesuai
8 Lihat lebih lanjut: Zudan Arif Fakrulloh.
atau tidak sesuai dengan suatu norma hukum
(2011). Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum
yang dianggap absah oleh subjek yang (Sebuah Pencarian), Edisi 2. Jakarta: Rajawa-
li Pers, hlm. 35. Penelitian hukum “normatif”
menilainya.
disebut pula sebagai “penelitian hukum dok-
Kontestasi pemikiran hukum tentu trinal”, sedangkan penelitian hukum “sosiolo-
gis” acapkali disebut sebagai disebut pula se-
akan sangat berpengaruh pada pola pikir
bagai “penelitian hukum nondoktrinal.” Lihat:
atau paradigma hakim dalam menelaah dan Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam-ragam
Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati Irian-
mengambil keputusan atas suatu kasus.
to dan Sidharta (ed). (2011). Metode Peneli-
tian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta:
7 Hans Kelsen. The Pure Theory of Law. Yayasan Pustaka Obor, hlm. 121 et seq. Lihat
Penerjemah: Raisul Muttaqin. (2009). Teori juga: Mike McConville dan Wing Hong Chui
Hukum Murni. Bandung: Nusa Media, hlm. (eds). (2007). Research Methods for Law. Ed-
17–18. inburgh University Press, hlm. 3-6.
30
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
bahan hukum yang memberikan penjelasan pragmatis dan/atau koherensi.10 Pengolahan
mengenai bahan hukum primer yang terdiri dan analisis bahan hukum tersebut sangat
atas literatur-literatur dan makalah-makalah, substansial dalam penelitian hukum dika-
karya-karya ilmiah, serta artikel-artikel yang renakan bahan-bahan hukum tersebut ber-
berkaitan dengan objek penelitian; dan 3) sifat preskriptif.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
yang memberi petunjuk maupun penjelasan
Idealisme Hukum
terhadap bahan hukum primer dan sekunder
Legal idealism dalam hal ini diterjemahkan
yang terdiri atas Kamus Hukum dan Kamus
sebagai idealisme hukum, mencakup teori-
Bahasa Indonesia.
teori yang mencari dan berusaha merumus-
Penelitian lapangan dilakukan untuk
kan cita-cita (ideal) serta nilai-nilai yang
memperoleh keterangan mengenai segala
mendasari suatu sistem hukum. Adapun
sesuatu yang berkaitan dengan paradigma
kategori-kategori yang digunakan sangat
hukum hakim dalam memutus perkara.
umum. Meskipun, pendekatan yang dise-
Penelitian ini dilaksanakan di lingkup lem-
but legal idealism itu cukup luas, sehingga
baga peradilan umum dalam wilayah Negara
mungkin orang dapat mengklasifikasikan se-
Republik Indonesia. Secara spesifik, peneli-
bagian besar teori di bawah judul ini sebab
tian dilaksanakan di Pengadilan Tinggi Su-
hanya sedikit teori yang pada analisis terak-
lawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Adapun
hir tidak ditegakkan di atas, atau paling tidak
yang akan menjadi narasumber dalam penu-
berusaha untuk mencapai atau mengambil,
lisan ini adalah Hakim Pengadilan Tinggi.
sesuatu cita-cita (ideal) atau nilai-nilai akhir.
Bahan-bahan hukum yang telah
Idealisme hukum menggunakan pen-
dikumpulkan dan diinventarisasi kemudian
dekatan Hukum Alam (natural law), yang
diolah dan dikaji secara mendalam sehingga
digagas oleh banyak ahli, sejak dari zaman
diperoleh gambaran yang utuh mengenai
klasik seperti Aristoteles (384-322 SM) dan
persoalan hukum yang diteliti. Bahan hukum
Cicero (106-43 SM), St. Thomas Aquinas
primer, sekunder maupun tersier yang telah
(1225-74),11 hingga ahli yang lahir pada abad
disinkronisasi secara sistematis kemudian
ke-20, John Finnis (1929).12 Jelas jumlahnya
dikaji lebih lanjut berdasarkan teori-teori
juga akan bergantung kepada definisi atau
hukum yang ada sehingga diperoleh rumusan
gambaran seseorang tentang Hukum Alam.
ilmiah untuk menjawab persoalan hukum
tetapi dalam arti yang murni yakni meliputi
yang dibahas dalam penelitian hukum ini.9
teori-teori yang menjadikan cita-cita dan
Pengolahan dan analisis bahan hukum
bertujuan untuk menemukan kebenaran
10 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati.
(2005). Argumentasi Hukum. Yogyakarta:
9 Bernard Arief Sidharta. Penelitian Hukum Gadjah Mada University Press, hlm. 9.
Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal 11 Mark Tebbit. (2005). Philosophy of Law: An
dan Dogmatikal, sebagaimana dikutip dalam introduction, 2nd Ed. New York: Routledge,
Sulistyowati Irianto dan Sidharta. (2011). hlm. 12.
Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan 12 John Finnis. (2011). Natural Law and Natural
Refleksi. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Rights, 2nd Ed. Oxford: Oxford University
Pustaka Obor, hlm. 145. Press, hlm. 23 et seqq.
31
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
nilai sebagai analisisnya, pendekatan ini dipandang sebagai suatu petunjuk (directive)
mempunyai banyak pengikut. atau banyak cita-cita ideal serta nilai (value)
Penggunaan cita-cita dan nilai sebagai telah dikemukakan sebagai faktor akhir yang
analisis merupakan sebab dan sekaligus lebih tinggi.
akibat dari kenyataan bahwa teori Hukum Hukum Alam secara sederhana dapat
Alam mempunyai pengaruh yang sangat dibedakan dalam dua golongan.14 Di satu pihak
besar, sekali pun berbeda-beda dari waktu adalah golongan yang dapat disebut sebagai
ke waktu, paling tidak dalam kurun waktu teokratis atau religius yang pada akhirnya
2500 tahun terakhir ini. Teori ini terutama mendasarkan diri pada semacam sumber
mempunyai peranan yang sangat menonjol ilahiah. Di lain pihak mazhab metafisika
di dunia barat dan bahkan kadang-kadang (metaphysical) dan sekuler (secular) di
dipersamakan dengan cara pemikiran hukum dalam Hukum Alam mendasarkan diri pada
barat itu sendiri. struktur dan atau lingkungan fisik, apapun
Dalam definisi yang sempit, pen- perbedaan di antara berbagai penganjur
dekatan Hukum Alam meliputi sudut pandang Hukum Alam sehubungan dengan “sumber”
berbeda-beda tentang berbagai persoalan. terakhir dalam teori mereka, dalam hal ini
Walaupun demikian terlihat adanya sejumlah pun mereka menunjukkan satu unsur yang
kesamaan. Inti dari pendekatan ini dengan sama.
jitu telah disimpulkan oleh Chroust sebagai Pada analisis terakhir, setiap penganjur
berikut : Hukum Alam dapat dicirikan oleh sifat
Semenjak saat kelahirannya hukum alam mistis atau ideologis, sebab tiang utama
terutama merupakan suatu pencarian dari teori mereka pada akhirnya tidak dapat
terhadap arti yang akhir dan mutlak dari
diverifikasi secara ilmiah oleh pihak yang
hukum dan keadilan. Sebab dalam dirinya
sendiri ia mengandung satu unsur dasar, lain. Dari sudut pandang pihak yang tidak
yakni bahwa ia berusaha untuk mencari
percaya (non believer) seluruh teori Hukum
ide-ide dan nilai-nilai yang komperehensif
Alam dimulai dari praduga dan karenanya
yang mengatasi fakta dan data-data
empiris tertentu saja; bahwa ia tidak merupakan semacam keyakinan (faith).
pernah henti-hentinya mencari pandangan
Melihat sifatnya yang demikian ini,
lebih tinggi yang mempersatukan yang
akan memberi hukum suatu pengertian di maka tidak mengherankan apabila Hukum
atas “ketentuan yang naif; dan ia berusaha
untuk menemukan pada tingkat yang
14 W. Friedmann, Legal Theory (Teori dan Fil-
lebih tinggi satu hukum di antara berbagai
safat Hukum: Idealisme Filosofis dan Prob-
hukum.13
lema Keadilan - Susunan II). hlm 345-346.
Memakai empat pembagian untuk menjelas-
Dengan kata lain, faktor yang tetap
kan landasan apa yang disebutnya “absolute
(constant) dalam Hukum Alam adalah suatu ideal of justice”; 1. Teori yang berpijak pada
landasan yang teologis; 2. Deduksi legal atas
appeal terhadap sesuatu yang lebih tinggi ini
prinsip-prinsip hukum khusus dari suatu cita-
cita keadilan absolut yang metafisis dan juga
13 A. Chroust, On the Nature of the Nature rasional; 3. Teori-teori hukum yang mendasar-
Law, sebagaimana dikutip dalam P. Sayre kan pengetahuan tentang keadilan pada inspi-
(Ed). (1947). Intrepretation of Modern Legal rasi dan instuisi; dan 4. Usaha-usaha untuk
Philosophies; Essays in Honor of Roscoe mendeduksi prinsip-prinsip keadilan dan lan-
Pound. New York, hlm 70-84. dasan rasional universal.
32
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
Alam telah dipergunakan untuk mem-bela yang menyatakan “law is any rule of conduct
semua dan aneka macam posisi. Ia akan likely to be enforced by the courts” (hukum
dijadikan sandaran untuk memberikan justi- adalah setiap aturan tingkah laku yang mung-
fikasi dan juga untuk menyangkal suatu kin diselenggarakan oleh pengadilan).17
tertib hukum tertentu, dan dalam kontroversi Paradigma hukum yang berkembang
yang lebih khusus setiap pihak telah me- menunjukkan adanya harapan agar penga-
makai Hukum Alam untuk memperkuat dilan, khususnya hakim, tidak hanya mam-
kedudukannya. pu memberikan keadilan prosedural semata
berdasar teks perundang-undangan, akan
Korelasi Putusan Hakim pada Putusan tetapi lebih utama adalah keadilan substantif.
Pengadilan Tingkat Pertama, Tingkat Keadilan substantif bukan berarti hakim harus
Banding, dan Tingkat Kasasi dalam selalu mengabaikan bunyi undang-undang,
Konteks Paradigma Hukum melainkan dengan keadilan substantif berarti
Pengadilan sebagai pilar utama dalam pen- hakim bisa mengabaikan undang-undang
egakan hukum dan sumber keadilan men- yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi
empatkan hakim sebagai aktor utama atau tetap berpedoman pada formal undang-
figur sentral dalam proses peradilan yang undang yang sudah memberi rasa keadilan
senantiasa dituntut untuk mengasah kepe- sekaligus menjamin kepastian hukum. Ini
kaan nurani, memelihara integritas, kecer- berarti bahwa apa yang secara formal benar
dasan moral dan meningkatkan profesional- bisa saja disalahkan secara materiil dan
isme dalam menegakkan hukum dan keadi- substansinya melanggar keadilan. Demikian
lan bagi rakyat banyak. Lembaga peradilan sebaliknya, apa yang secara formal salah
adalah perpanjangan tangan dari tujuan bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan
pembentukan hukum, yaitu sebagai alat un- substansinya sudah cukup adil.
tuk menemukan keadilan. Dalam konteks ini, Posner18 menge-
Kelompok realisme hukum yang di- mukakan bahwa:
pelopori Oliver Wendell Holmes bahkan
That judicial decisions are determined
memandang bahwa hukum adalah apa yang by “the law,” conceived of as a body of
preexisting rules found stated in canonical
diputuskan oleh peradilan (the prophecies
legal materials, such as constitutional and
of what the court will do… are what I mean statutory texts and previous decisions of
by the law).15 Demikian pula Karl Llewellyn the same or a higher court, or derivable
from those materials by logical operations.
yang mengungkapkan bahwa: “what offi-
cials do about disputes is the law it self.”16 Dalam perspektif hukum progresif,
Dalam sudut pandang aliran Antrop- keadilan substantif dapat diwujudkan jika
ologi Hukum yang dipelopori oleh Schapera seorang hakim mampu berhukum dengan
melakukan lompatan lebih dari sekedar
15 Mahkamah Konstitusi RI. (2010). Perkem-
bangan Pengujian Perundang-undangan di 17 Ibid., hlm. 42
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi 18 Richard A. Posner. (2008). How Judges Think.
Press, hlm. 41 Cambridge: Harvard University Press, hlm.
16 Ibid. 19
33
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Tinggi Makassar, mengungkapkan bahwa
teks aturan formal.19 Upaya pemenuhan rasa pada praktiknya, proses pengambilan dan
keadilan itu bergantung kepada bagaimana pembuatan putusan oleh hakim di penga-
cara seorang hakim dalam memutuskan dilan, baik dalam perkara perdata maupun
perkara. Jika Hakim gagal mengurai makna pidana merupakan proses yang kompleks
keadilan substantif dalam setiap perkara, dan sulit dilakukan sehingga memerlukan
maka yang ditemukan adalah keadilan absurd. pendidikan, pelatihan, pengalaman dan ke-
Bagi hakim, atau pihak yang diuntungkan, bijaksanaan. Pertimbangan hakim sangat
mungkin suatu putusan adalah adil tapi ditentukan oleh pengetahuan hukum hakim
putusan tersebut tak mampu memenuhi yang bersangkutan.
keadilan dalam konteks memulihkan Tugas yustisial seorang hakim adalah
relasitas kemanusiaan yang sebelumnya memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan
terganggu kembali dalam taraf harmoni putusan atas suatu perkara hukum. Soedikno
antara satu dengan lainnya. Pengadilan Mertokusumo menguraikan bahwa dalam
bukanlah sekadar tempat untuk menentukan rangka melakukan penemuan hukum,
pemenang dan pecundang, tetapi pengadilan umumnya dilakukan metode interpretasi
melalui putusan hakim adalah sarana untuk dan konstruksi hukum.21 Metode interpretasi
re-harmonisasi kehidupan manusia. hukum dilakukan terhadap aturan yang
Proses hakim dalam menelusuri ru- sudah ada, namun mengandung norma
ang dalam suatu perkara atau yang disebut yang kabur (vage normen), konflik antar
konsep aktivitas hukum (judicial activism)20, norma hukum (antinomy normen) dan
memberikan ruang dan kesempatan bagi ketidakpastian suatu peraturan perundang-
seorang hakim untuk menggunakan penge- undangan jika berhadapan dengan peristiwa
tahuan personalnya sehingga menuntunnya hukum. Sedangkan metode konstruksi
memutuskan sebuah permasalahan. Pengeta- hukum dilakukan apabila ditemukan adanya
huan personal yang dimaksud dalam proses kekosongan hukum (recht vacuum) atau
penyelesaian perkara hukum tentunya dalam kekosongan undang-undang (wet vacuum).
konteks ilmu hukum. Dalam hal ini para- Pendekatan yang digunakan hakim
digma hukum yang dianut oleh hakim akan pada konteks ini tetap mengacu pada
sangat berpengaruh, di samping pengeta- pendekatan filsufis, normatif, dan empiris22.
huan hukum lainnya. Responden penelitian, Konteks pendekatan ini sama dengan
Zainuddin, seorang Hakim Pengadilan
21 Soedikno Mertokusumo. (2001). Penemuan
Hukum, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
19 Ibid. hlm. 45 Liberty, hlm. 52.
20 Menurut Black Law Dictionary (Bryan Gar- 22 Pendekatan Filsufis untuk pendekatan nilai
ner; 2004, hlm. 850), judicial activism dapat termasuk nilai moralitas, pendekatan norma-
dimaknai sebagai sebuah filosofi dari pem- tif untuk pendekatan yurisprudensi (ilmu hu-
buatan putusan peradilan dimana hakim di- kum normatif), dan pendekatan empiris untuk
perbolehkan menggunakan pengetahuan per- pendekatan sosiologis. Achmad Ali. (2002).
sonalnya mengenai kebijakan publik, di antara Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filoso-
pelbagai faktor-faktor, untuk menuntunnya fis dan Sosiologis. Cet. Kedua. Jakarta: PT.
memutuskan sebuah permasalahan. Gunung Agung, hlm. 176
34
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
pendekatan yang ada sebelumnya, yakni: annya dengan memandang hukum sebagai
a. Pendekatan moralitas, yang focal con- perangkat realitas, tindakan, dan perilaku.
cern-nya landasan moral hukum, dan Jadi hakim dalam memutus perkara tidak
validitas hukumnya adalah konsistensi hanya menggunakan peraturan perundang-
hukum dengan etikaeksternal atau ni- undangan sebagai pijakan utamanya, tetapi
lai-nilai moral. juga melihat dan mengkaji secara nalar re-
b. Pendekatan yurisprudensi (ilmu hu- alitas yang ada terhadap perkara yang diha-
kum normatif), yang focal concern- dapinya. Pendekatan yang terakhir adalah
nya independensi hukum, dan validitas pendekatan filsufis, dimana pendekatan ini
hukumnya adalah konsistensi internal memfokuskan kajiannya dengan meman-
hukum dengan aturan-aturan, norma- dang hukum sebagai seperangkat nilai-nilai
norma, dan asas-asas yang dimiliki moral dimana nilai moral ini yang kemudian
hukum sendiri. mengantarkan kepada keadilan.
c. Pendekatan sosiologis, yang focal Dari ketiga pendekatan yang dipapar-
concern-nya hukum dan tindakan sos- kan di atas, pendekatan yang mendominasi
ial, dimana validitas hukumnya adalah para hakim dalam menerapkan hukum dan
konsekuensi-konsekuensi hukum bagi memutus perkara adalah pendekatan norma-
masyarakatnya. tif dan pendekatan empiris. Pendekatan nor-
matif melihat hukum dalam wujud aturan,
Dalam memutus suatu perkara, pende-
norma atau asas, hakim menilai suatu perka-
katan ketiganya, yakni filsufis, normatif,
ra yang ditanganinya berdasarkan peraturan
dan empiris adalah model pendekatan
perundang-undangan sehingga pada posisi
yang digunakan oleh hakim. Pendekatan
inilah kemudian hakim dinilai memiliki
normatif memfokuskan kajiannya dengan
paradigma positivistis dalam membuat suatu
memandang hukum sebagai suatu sistem
keputusan. Pendekatan empiris tidak melihat
yang utuh yang mencakup perangkat asas-
hukum hanya semata-mata berwujud aturan,
asas hukum, norma-norma hukum, dan
norma, atau asas, tetapi melihat hukum se-
aturan-aturan hukum baik yang tertulis
bagai seperangkat realitas, seperangkat tin-
maupun tidak tertulis. Asas hukum yang
dakan, dan seperangkat perilaku yang men-
melahirkan norma hukum dan norma hukum
cakupi sosiologis, antropologis, psikologis,
yang melahirkan kaidah atau aturan hukum.
ekonomis, dan religius. Pendekatan filsufis
Dari satu asas hukum dapat lahir lebih dari
hanya digunakan sebagai penunjang oleh ha-
satu norma hukum dan dari satu norma
kim dalam memutus perkara sehingga tidak
hukum melahirkan lebih dari satu kaidan
tercermin secara menyeluruh rasa keadilan
atau aturan hukum. Jadi melalui pendekatan
bagi para pihak yang berperkara.
normatif ini, hakim menggunakan peraturan
Penggunaan ketiga pendekatan terse-
perundang-undangan sebagai senjata utama
but di atas disebut Menski sebagai triangu-
dalam memutus suatu perkara.
lar concept of legal pluralism.23 Penggunaan
Selanjutnya pendekatan empiris, di-
mana pendekatan ini memfokuskan kaji- 23 Ibid, hlm. 185
35
Hasanuddin Law Review Vol. 1 No. 1, April (2015)
pendekatan ini sering digunakan pada nega- Ketidaksepakatan umumnya muncul
ra-negara yang memiliki pluralisme hukum, berdasarkan alasan atau berkorelasi dengan
seperti di Amerika. Di Indonesia sendiri se- ideologi, atau karena latar belakang pribadi
tiap daerah memiliki hukum lokal masing- atau pengalaman, emosional, atau faktor
masing dimana perilaku hukum dari masing- lain kemungkinan untuk membangkitkan
masing individu atau kelompok di setiap sebuah ketidaksepakatan yang sulit untuk
daerah yang ada berbeda-beda dan tentu saja diselesaikan dengan argumen beralasan.
sangat tidak realistis ketika berbagai sistem Dalam konteks ini, pengetahuan dan
hukum, sistem peradilan, dan hukum positif paradigma hukum berperan penting.
yang beranekaragam tersebut hanya dikaji Dalam rapat permusyawaratan majelis
dengan menggunakan satu atau dua metode hakim, maka yang selalu menjadi pertimba-
pendekatan hukum. Pluralisme atau keber- ngan adalah bahan referensi yang menjadi
anekaragaman hukum lokal inilah yang juga rujukan dari masing-masing anggota majelis.
turut memengaruhi hakim dalam memutus Jadi kembali kepada pengetahuan hukum
suatu perkara sehingga hakim dituntut un- dari hakim yang bersangkutan dan apabila
tuk menggunakan ketiga metode pendekatan masing-masing anggota majelis merasa ar-
tersebut untuk menelaah dan menganalisis gumentasi yang menjadi dasar pertimba-
suatu perkara sampai kemudian memberikan ngannya cukup kuat, maka pada akhirnya
keputusan yang adil bagi para pihak. pengambilan putusan dilakukan voting. Ha-
Putusan yang akan ditetapkan oleh kim sebagai figur sentral dalam penegakan
suatu persidangan perkara hukum diambil hukum, maka hakim memiliki kewajiban
berdasarkan hasil musyawarah majelis ha- moral dan tanggung jawab profesional un-
kim, yang bersifat rahasia. Dalam sidang tuk mengusai pengetahuan dan keterampilan
permusyawaratan, setiap hakim wajib me- teknis. Dengan adanya kecukupan pengeta-
nyampaikan pertimbangan atau pendapat ter- huan dan keterampilan, maka hakim dalam
tulis terhadap perkara yang sedang diperiksa memutus suatu perkara akan dapat memberi-
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan kan pertimbangan hukum (legal reasoning)
dari putusan. Dalam praktiknya, hakim ter- yang tepat dan benar.
muda golongan dan pangkatnya dipersilakan Menjadi persoalan berikutnya adalah
untuk terlebih dahulu untuk menyampaikan adanya kewajiban aturan tentang tata cara
pertimbangan hukumnya, setelah itu sela- permusyawaratan majelis hakim bahwa se-
njutnya hakim yang lebih senior dan diakhiri tiap putusan pengadilan selain harus memuat
oleh Hakim Ketua Majelis. Jika terdapat per- alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
bedaan pendapat, maka diambil berdasarkan tertentu dari peraturan perundang-undangan
suara terbanyak, dan pendapat yang berbeda yang bersangkutan. Sebagaimana aturan
tersebut dapat dimuat dalam putusan sebagai mengharuskan bahwa setiap pertimbangan
dissenting opinion dan Hakim yang berbeda hukum harus mencantumkan pasal-pasal
pendapat tersebut tetap wajib menandata- pokok yang berkaitan dengan substansi per-
ngani putusan. timbangan. Secara umum, ditemukan bahwa
36
Description:Kata Kunci: Putusan Hakim; Paradigma Hukum; Idealisme Hukum. 141. Submitted: Dec dengan moral seperti rasa keadilan yang dianut positivisme