Table Of ContentSusanto (Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal)
NUANSA KOTA KOLONIAL SURAKARTA AWAL ABAD XX:
FASE HILANGNYA IDENTITAS LOKAL
Susanto
Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret
Alamat korespondensi: [email protected]
Diterima/ Received: 12 Januari 201 6; Disetujui/ Accepted: 22 Februari 2016
Abstract
This article examines changes of Surakarta outlook in the early twentieth century. Surakarta was originally an
Indis city, since the beginning of the XX century it progressed toward a colonial city. Based on the Dutch official
reports in Surakarta, contemporary newspapers, and secondary sources, the city changes began with increasing
number of Dutch female immigrants who came and settled at the city. They established nuclear families via
marriage with fellow Dutchmen, so that the Dutch European community at Surakarta became stronger and more
established. It was strengthened by the government's confidence to intervene financial affairs in Javanese palaces
and overhaul traditional structures by government reorganization and agrarian affairs. The government also
implemented canonization policy in law, education, and culture. This policy was originally intended to
implements European values in the Indies. However, in the policy development turned out to spawned a colonial
society that was soon followed by the erosion of identity as Indis city. The canonization policy also impacted on
the changing patterns of intercommunity relations manifested in multi-discriminatory practices at various
domains, that harassed and degraded the Indo community, especially the indigenous community. Both of them
then were rediscovered their identity order.
Keywords: Indis; Canonization; Politic identity; Surakarta
Abstrak
Artikel ini membahas tentang perubahan wajah Surakarta pada awal abad XX. Surakarta semula merupakan
sebuah kota Indis, tetapi sejak awal abad itu memperlihatkan perkembangan menuju kota yang cenderung
bercorak kolonial. Berdasar penelusuran historis melalui pemanfaatan laporan-laporan pejabat Belanda di
Surakarta, surat kabar-surat kabar sezaman, dan sumber-sumber sekunder diketahui bahwa perubahan itu dimulai
seiring dengan semakin banyaknya imigran wanita Belanda yang datang dan menetap di Surakarta. Mereka
membentuk keluarga inti melalui perkawinan dengan sesama orang Belanda, sehingga kedudukan komunitas
Eropa Belanda di Surakarta menjadi semakin kuat dan mapan. Hal ini memperkuat kepercayaan diri pemerintah
untuk melakukan campur tangan dalam urusan keuangan di istana-istana Jawa dan merombak struktur tradisional
melalui reorganisasi pemerintahan dan agraria. Pemerintah kemudian juga menerapkan kebijakan kanonisasi di
bidang hukum, pendidikan, dan budaya. Kebijakan ini pada awalnya bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai
Eropa di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam perkembangan kebijakan itu ternyata telah melahirkan masyarakat
kolonial yang segera diikuti dengan tergerusnya identitas Surakarta sebagai kota Indis. Kebijakan kanonisasi itu
juga berdampak pada terjadinya perubahan pola relasi antarkomunitas yang mewujud dalam berbagai praktik
diskriminatif di berbagai ranah, yang melecehkan dan merendahkan komunitas Indo maupun terutama pribumi
Jawa. Kedua komunitas ini kemudian mengambil langkah-langkah untuk menemukan kembali identitas mereka
yang telah terkikis.
Kata Kunci: Indis; Kanonisasi; Politik identitas; Surakarta. Salah satu faktor yang saling terkait pada proses
radikalisasi adalah keberadaan industri gul
4
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2 , No. 1, 2017, hlm. 4-18
PENDAHULUAN Dalam sebuah catatan kependudukan
dinyatakan bahwa imigran Eropa yang menetap
Masyarakat Indis di Surakarta sejak 1871 di Hindia Belanda pada dasawarsa pertama abad
semakin berkembang. Hal itu ditandai dengan XIX lebih banyak dibandingkan dengan
banyaknya pendatang baru kaum kulit putih sebelumnya ketika migrasi terjadi semata-mata
seiring dengan berkembangnya praktik sewa melalui aktivitas perdagangan. Para imigran
tanah di wilayah kerajaan. Untuk memperkuat membentuk keluarga sehingga tingkat
usaha perkebunan, mereka membentuk sebuah pertumbuhan mereka lebih besar dibandingkan
komunitas usaha yang diberi nama Solosche pendatang asing lainnya yang tidak menetap.
Landhuurder Vereeniging. Bersamaan dengan Besarnya kelompok inti dari pendatang yang
keberadaan kaum penyewa tanah ini menetap itu diketahui dari bertambahnya jumlah
berkembang berbagai fasilitas seperti bank, wanita dalam kelompok asing. Pada orang
sekolah, alat transportasi dan komunikasi, dan Eropa, jumlah wanita dalam setiap 1000 jiwa pria
sarana hiburan. Kemajuan yang menakjubkan ini sangat meningkat; dan pada 1930 jumlah mereka
membuat Surakarta berkembang menjadi kota lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada
Indis baru yang berbeda secara signifikan dari kelompok penduduk asing lainnya. Hal itu selain
periode sebelumnya. disebabkan oleh bertambahnya orang Eropa
Memasuki abad XX, Surakarta yang mampu yang menetap, juga karena jumlah imigran
mempertahankan hybrid culture semakin wanita Eropa sejak 1900 terus meningkat
menarik minat para pendatang dari Eropa untuk (Creutzberg, 1987: 34-35). Peningkatan jumlah
datang dan menetap. Kedatangan mereka tidak wanita asing di Hindia Belanda dapat dilihat
terhindarkan mengingat Surakarta termasuk dalam tabel berikut.
enam kota besar di Jawa. Namun demikian,
keberadaan komunitas kulit putih baru ini Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Asing di
kurang mampu mendinamisasi budaya Indis. Hindia Belanda, 1860-1930
Mereka justru mendorong munculnya budaya Tahun Eropa Cina Arab
baru melalui praktik kanonisasi budaya. Selain 1860 43.876 221.348 8.909
menyimpang dari semangat hybrid culture Indis, 1880 59.903 343.793 16.025
praktik ini menciptakan masyarakat baru, yaitu 1900 91.142 537.316 27.399
1905 94.518 563.449 29.588
masyarakat kolonial, yang akhirnya mengundang
1920 168.114 809.039 44.902
reaksi dari komunitas-komunitas lain yang
1930 240.417 1.233.214 71.335
terkena dampak negatifnya.
Sumber: Creutzberg, 1987.
Dalam hubungan itu, dalam artikel ini akan
dibahas mengenai proses kedatangan orang
Tabel 2. Jumlah Wanita Asing setiap 1000
Eropa totok di Surakarta pada awal abad XX,
Penduduk
munculnya masyarakat kolonial, reaksi terhadap
Tahun Eropa Cina Arab
kanonisasi budaya, dan akhir konflik yang
1860 - 590 809
menunjukkan kecenderungan ke arah baru
1880 481 620 830
dalam hubungan antarkomunitas di Surakarta.
1900 636 548 857
1905 672 526 890
PENDATANG BARU 1920 800 563 865
1930 884 646 841
Perubahan sosial ekonomi pada seperempat Sumber: Creutzberg, 1987.
terakhir abad XIX telah meletakkan dasar bagi Jumlah komunitas kulit putih baru pada
munculnya masyarakat baru di Hindia Belanda awal abad XX juga meningkat karena Surakarta
baik di Jawa maupun pulau-pulau besar lainnya. termasuk salah satu dari enam kota besar di
Hal ini tampak dari munculnya sebuah Jawa.1 Gambaran mereka di Surakarta dapat
fenomena yang menarik yaitu meningkatnya dilihat pada tabel di bawah ini, yang merupakan
jumlah imigran Eropa.
5
Susanto (Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal)
perbandingan antara jumlah pada 1905 dan rumah itu semakin mirip dengan rumah-rumah
1917. di pedesaan Belanda.
Keberadaan para wanita Belanda yang tetap
Tabel 3. Perbandingan Jumlah Penduduk pada mempertahankan cara hidup lama membuat
1905 dan 1917. mereka lebih sensitif. Mereka juga mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan gaya
Asing
Daerah Eropa Pribumi Cina Arab Jumlah hidup Indis di lingkungan yang baru. Di
lain
Surakarta 1572 109524 6532 337 413 118378 Surakarta mereka merasakan sensitivitasnya
Klaten 267 6949 982 - 4 8209
dalam “insiden Habiprojo” pada 1904. Insiden
Boyolali 157 5522 446 - - 6125
Sragen 69 7463 334 - - 7963 ini menunjukkan keterkejutan komunitas Eropa
Wonogiri 4 1475 334 - - 1813
terhadap pribumi. Keterkejutan itu dirasakan
Sumber: Regeering Almanak voor
ketika sejumlah wanita Eropa yang sedang
Nederlandsch-Indie, 1915.
mendampingi suami mereka berkunjung ke
Habiprojo, sebuah klub para priyayi Jawa. Klub
Tabel 4. Jumlah Penduduk Surakarta 1917
ini tidak pernah dihadiri oleh kaum wanita Jawa
Golongan Penduduk
sekalipun. Tanpa diduga, seorang wanita Eropa
Daerah Eropa Timur Pribumi Jumlah
merasa dilecehkan ketika seorang lelaki Jawa
Asing
tiba-tiba datang dan menawarkan untuk
Surakarta 2000 10104 898328 910432
menemaninya. Pada satu sisi para wanita
Klaten 1145 2295 483860 487300
Boyolali 408 474 291842 292724 Belanda dianggap melakukan suatu yang tidak
Sragen 366 1124 368924 370414 biasa karena mereka telah memasuki area laki-
Sumber: Regeering Almanak voor laki Jawa. Akan tetapi, pada sisi yang lain, sikap
Nederlandsch-Indie, 1921. laki-laki Jawa itu menunjukkan kekhawatiran
yang mendalam terhadap hubungan antarras dan
Menjelang akhir abad XIX terjadi prestise Eropa (Taylor, 2009: 302).
perubahan besar. Jumlah orang Eropa dan yang Insiden Habiprojo tidak hanya mengejutkan
dipersamakan dengan mereka meningkat sampai imigran baru Eropa pada awal abad XX, tetapi
33,4 % di Jawa dan Madura pada periode 1893- secara langsung juga telah menciderai budaya
1905. Pada 15 tahun berikutnya (1905-1920), dan masyarakat Indis. Insiden itu sesungguhnya
jumlah penduduk meningkat 108 % atau empat dipicu oleh penyimpangan lain yang terjadi
kali lipat (Data ini hanya menyangkut warga sebelumnya. Kejadian yang mengejutkan dan
Eropa. Pada 1893 jumlah mereka di Jawa dan disesalkan ialah pembunuhan yang dilakukan
Madura adalah 48.649 orang, pada 1905 oleh orang pribumi terhadap keluarga Indo
sebanyak 64.917 orang, dan pada 1920 sebanyak bernama O.E. Sivaving pada 15 Januari 1886.
135.288 orang. Angka-angka untuk 1905 kiranya Dalam kasus ini, isteri dan mertua korban ikut
kurang terpercaya, sedangkan batas kesalahan disalahkan (ANRI, Algemeen Verslag van
untuk sensus pada 1920 adalah 5 %). Residentie Soerakarta over het jaar 1886 No.
Eropanisasi koloni perlahan-lahan 388). Sebuah laporan pemerintah juga
mengakhiri budaya bujang. Perkawinan para menyebutkan adanya Gerakan Srikaton yang
pejabat dan orang swasta semakin banyak terjadi mengguncang masyarakat Indis Surakarta.
setelah pencabutan larangan yang berlaku bagi Pemerintah khawatir karena gerakan ini
kalangan totok pada abad XIX. Izin masuk bagi menyebarkan ilmu kebal yang menyertai
wanita Belanda ke Hindia yang menyertainya beredarnya ramalan akan adanya suatu perang
memiliki pengaruh yang menentukan pada besar dalam waktu dekat dan suatu
pemandangan kota karena mereka tetap pemberontakan untuk menggulingkan penguasa,
berpegang teguh pada cara hidup dari yang diikuti dengan berdirinya sebuah kerajaan
lingkungan Belanda. Di kota-kota besar, seluruh Islam yang baru. Di kerajaan ini tidak ada kaum
kampung telah memutuskan hubungan dengan kafir dan orang yang tidak mematuhi ajaran baru
gaya bangunan tropis lama, sehingga rumah- akan dihukum mati. Oleh karena itu, setiap
6
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2 , No. 1, 2017, hlm. 4-18
orang harus memakai azimat dan tanda-tanda berpakaiannya mengikuti pribumi bertentangan
khusus agar dapat dikenali sebagai pengikut dengan peradaban Barat. Menurut cara pandang
kerajaan baru. Gerakan ini dipimpin oleh Barat, pakaian pribumi seperti sarung dan kebaya
Kertodrono yang dalam posisinya sebagai wali hanya layak dipakai oleh orang yang sedang
dikenal sebagai Imam Sampurno. Gerakan sakit. Pakaian semacam itu juga mencerminkan
Srikaton muncul beberapa bulan setelah sifat malas pemakainya. Orang Belanda moderen
Peristiwa Cilegon pada Juli 1888. Sepak terjang tidak pantas memakai pakaian Hindia terutama
kelompok Imam Sampurno telah menimbulkan ketika mereka berada di serambi depan rumah
ketakutan dan dianggap berbahaya oleh istana moderen, kecuali jika hal itu dilakukan di daerah
Mangkunegaran karena mereka melakukan aksi pedalaman yang jauh dari peradaban. Nasihat
kesurupan pada malam hari di Pesanggrahan lain adalah bahwa dalam konstruksi “rumah
Srikaton, Tawangmangu. Huru-hara Imam sehat Eropa”, ruang pembantu sedapat mungkin
Sampurno tidak berlangsung lama. Pada pukul 9 dipisahkan jauh dari bangunan inti, yaitu di
pagi 12 Oktober 1888 mereka sudah dapat bagian belakang yang terlepas dari area privat
ditumpas oleh pasukan Legiun Mangkunegaran. Eropa (gambaran detail pada Gambar 1). Kedua
Pemimpin gerakan yaitu Imam Sampurno tewas nasihat itu telah menunjukkan dengan jelas
tertembak. Dalam aksi penumpasan itu ikut pula bahwa keramahtamahan masa lalu sebagai
Pangeran Mangkunegara V dan Residen “warna Indis” di kota-kota besar Hindia telah
Surakarta A.J. Spaan.2 Oleh karena dianggap meredup dan mulai digantikan oleh warna baru
telah membawa sial, Mangkunegara V dengan cap baru pula yakni Belanda. Lebih jauh
memerintahkan agar bangunan Pesanggrahan lagi diketahui bahwa walaupun imigran asli
Srikaton dirobohkan hingga rata dengan tanah Eropa jauh lebih sedikit daripada jumlah seluruh
dan hanya disisakan bagian lantainya (Sordrager, orang Eropa yang tinggal Indonesia, imigran asli
1936: 46). banyak memegang jabatan tinggi. Mereka juga
Akibat dari insiden-insiden itu selanjutnya menentukan selera dan mode seluruh
menimbulkan babak baru dalam hubungan masyarakat kolonial (Taylor, 2009: 302).
antarkomunitas di Surakarta. Kemudian
diketahui bahwa akhirnya tata krama Mestizo
tidak lagi menjadi pedoman untuk mengatur
perilaku masyarakat pada dekade kedua dan
ketiga abad XX. Pada saat itu masyarakat imigran
terkelompok di kota-kota dalam jumlah yang
cukup untuk menjalankan gaya hidup mereka
sedekat mungkin dengan gaya hidup Belanda.
Secara kebetulan pada 1908 diterbitkan sebuah
buku pedoman bagi para wanita muda dari
Eropa yang menikah. Buku yang berjudul Ons
Huis in Indie ini memuat hal-hal yang perlu
diketahui oleh kaum wanita Eropa tentang
pakaian, makanan, dan perawatan di lingkungan
yang cuaca dan budayanya asing bagi mereka.
Nasihat dalam buku pedoman ini menunjukkan
bahwa cara hidup orang Belanda telah banyak
ditanamkan dalam masyarakat Hindia.
Nasihat dalam buku itu khususnya yang
berkaitan dengan penggunaan pakaian dan gaya
rumah baru tampaknya telah menunjukkan arah Gambar 1. Ons Huis in Indie: Wilayah bediende
perubahan penting di Hindia. Dalam buku itu – pelayan jauh dari ruang utama.
disebutkan bahwa orang Eropa yang cara Sumber: Catenius-van der Meijden, 1908.
7
Susanto (Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal)
Dengan demikian tampak dua untuk menerapkan cara itu pada Keraton
perkembangan penting, khususnya di Jawa, yang Surakarta. Salah satu pertimbangannya adalah
mengarah pada munculnya sebuah kota dengan kebiasaan Sunan saat melakukan perjalanan yang
wajah kolonial, yaitu Eropanisasi kota yang selalu diikuti oleh rombongan yang besar.
meningkat pesat pada sekitar pergantian abad Diduga bahwa kebiasaan ini memerlukan biaya
dan pembaruan dalam pemerintahan dan besar yang tentu akan berdampak buruk pada
pengaturan kota yang semakin mempercepat pengelolaan keuangan keraton. Tentu saja alasan
Eropanisasi dalam tata kota. van Wijk kurang masuk akal karena melakukan
Eropanisasi berlangsung melalui penerapan perjalanan bukan merupakan kebiasaan dari raja-
kanonisasi di beberapa bidang. Bentuk raja pendahulu Paku Buwana X yang
kanonisasi yang paling nyata dirasakan di memandang bahwa hal itu kurang bermanfaat.
Surakarta terdapat di bidang hukum dan Melihat laporan van Wijk, alasan politis
pendidikan. Kanonisasi di bidang hukum tampaknya lebih dominan dibandingkan dengan
terwujud pada pengaruh yang dirasakan dalam asalan ekonomis. Kebiasaan Paku Buwana X
sistem pemerintahan tradisional yang terjadi melakukan perjalanan pada satu sisi dirasa
pada 1903 ketika pengadilan Belanda menggeser memboroskan anggaran. Akan tetapi,
sistem pengadilan lokal. Berdasar kebijakan yang pemerintah lebih mengkhawatirkan risiko politik
dituangkan dalam Staatsblad No. 7 1903 dan dari kebiasaan itu, yaitu eksistenasi sunan
Staatsblad No. 8 1903, maka pengadilan sebagai raja Jawa akan semakin kuat. Oleh
tradisional seperti Pengadilan Balemangu, karena itu, van Wijk mengusulkan kepada
Pradata, dan Surambi yang berlaku di wilayah Gubernur Jenderal agar kebiasaan itu segera
Keresidenan Surakarta diganti dengan peng- diakhiri. Usul van Wijk tidak terlaksana
adilan gubernemen atau Landraad.3 Dengan sepenuhnya karena ia hanya berhasil mengurangi
penerapan sistem pengadilan baru itu maka jumlah pengikut. Kebiasaan Sunan Paku Buwana
penurunan kewibawaan raja pun semakin terasa. X untuk mengadakan perjalanan dimulai pada
Sebagai contoh, menurut peraturan lama masa Residen Vogel, yang dilakukan dengan
Pengadilan Balemangu, siapa pun yang membawa ratusan orang pengikut ketika
melakukan pelanggaran hukum di wilayah berkunjung ke Semarang. Sesudahnya
Surakarta termasuk dari kalangan Kumpeni ditetapkan menjadi 200 orang, dan pada era van
harus diadili berdasar hukum lokal.4 Akan tetapi, Wijk jumlah itu dikurangi lagi secara drastis
sejak diberlakukan peraturan Staatsblad No. 8 menjadi 80 orang. Selanjutnya pada masa
1903, seluruh penduduk Surakarta yang Residen Sollewijn Gelpke sunan diminta untuk
melanggar hukum, baik orang Belanda maupun tidak lagi membawa pengikut lebih dari 18 orang
pribumi, harus diadili di pengadilan Belanda atau ketika melakukan perjalanan ke Bogor dan
Landraad.5 Produk hukum lain yang Bandung pada 1916. Kendati demikian, Gelpke
menunjukkan tanda kanonisasi di Surakarta mengakui bahwa kharisma sunan sebagai raja
adalah peraturan tentang pembangunan rumah Jawa tetap kuat dalam perjalanan itu.7 Keinginan
di dalam kota, peraturan tentang kepala desa, van Wijk untuk mengatur keuangan keraton
dan peraturan kepolisian.6 hingga sedemikian jauh belum berhasil karena
Di samping masalah hukum, terdapat setiap pembicaraan mengenai pengelolaan
indikasi adanya keinginan residen untuk campur keuangan keraton dengan cara Eropa selalu
tangan di bidang keuangan Keraton Surakarta. ditolak oleh sunan (Sordrager, 1936: 21).8
Indikasi ini tampak ketika Residen van Wijk Namun demikian van Wijk setidaknya telah
melihat bahwa sangat penting bagi pemerintah berhasil mengubah kebiasaan berupa tata cara
untuk mengatur pembukuan keuangan keraton saat patih menghadap di kantor residen, seperti
dengan cara Eropa. Hal ini telah dilakukan oleh yang diungkapkan dalam laporannya. Patih
Residen Couperus di Yogyakarta, yang setiap Senin dan Rabu bersama semua
melimpahkan tugas ini ke tangan asisten residen. rombongannya tampil di pagelaran keraton. Ada
Residen van Wijk melihat adanya kemungkinan kebiasaan bahwa sekitar pukul setengah dua
8
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2 , No. 1, 2017, hlm. 4-18
belas dia berangkat ke rumah residen untuk dari pemerintah, pada November 1908 sunan
membicarakan persoalan dinas dengan residen. mengirimkan surat kepada residen Surakarta
Karena saya menganggap dua kali terlalu banyak, tentang perlunya penyusunan sebuah peraturan
saya meminta hanya hari Senin saja mereka sesuai dengan ketentuan dalam persewaan
datang. Pada tahun-tahun sebelumnya, patih tanah-tanah pemerintah dan tentang
hadir di pendopo yang berada di pekarangan penghapusan pemilikan apanage. Beberapa
residen, duduk di tanah sampai dia dipanggil. bulan kemudian Gubernur Jenderal van Heutz
Ketika saya tiba, dia masih dilarang untuk secara lisan memerintahkan kepada Residen van
memasuki tangga beranda depan, sesuatu yang Wijk untuk mengajukan usul-usul yang
diizinkan bagi orang Eropa rendahan atau juga diperlukan tentang reorganisasi setelah
kepada Letnan Cina. Saya telah mengakhiri berunding dengan Direktur Pemerintahan S. de
larangan itu (MvO Van Wijk,1916: 18, 23) Graaff. Hal ini ditindaklanjuti dengan langkah
Dampak kanonisasi yang paling berat nyata melalui kunjungan direktur pemerintah ke
dirasakan oleh elite tradisional di Surakarta Surakarta pada Agustus 1909 guna membahas
adalah kebijakan reorganisasi khususnya di secara mendalam rencana reorganisasi agraria.
bidang agraria. Pada awalnya inisiator dari Pada Mei 1910 gubernur jenderal mengirim
kebijakan ini tampak kabur. Dalam pertemuan di Direktur Pemerintahan de Graaff ke
Majelis Rendah pada 1912, Menteri Urusan Vorstenlanden untuk memberitahu para
Jajahan de Waal Malefit menyatakan akan pengurus serikat pengusaha tentang rencana
melakukan reorganisasi, yang telah didukung reorganisasi. Di Surakarta hal itu disampaikan
oleh sunan dan sultan. Sekalipun demikian pada 12 Mei 1910. Setelah informasi
beberapa sumber menunjukkan hal yang disampaikan kepada para penyewa tanah,
sebaliknya. Dalam berbagai laporan kolonial selanjutnya gubernur jenderal pada 12 April
disebutkan bahwa tujuan utama reorganisasi itu 1912 secara resmi mengajukan permintaan
adalah untuk merombak struktur keraton para kepada sunan untuk tidak lagi memperpanjang
raja pribumi sehingga pola pengelolaan izin praktik sewa tanah lebih dari 10 tahun
keuangan, urusan rumah tangga, dan sistem (MvO van Wijk, 1916: 39).
perpajakan serta status hukum bagi individu Pelaksanaan reorganisasi agraria di
pribumi sebanyak mungkin dapat sesuai dengan Surakarta selain menyita banyak waktu bagi
prinsip yang diterapkan oleh penguasa Barat. residen, persiapannya juga dirasakan cukup
Selain itu, ada pandangan dari van Vollenhoven melelahkan. Penerus van Wijk yaitu Sollewijn
bahwa sistem apanage telah dianggap kurang Gelpke sempat mengeluhkan hal ini.
menguntungkan bagi negara. Demi kemandirian “…waktu saya mulai bertugas pada 1914,
negara, sistem itu harus dihapus. Direktur Departemen Binnenlands Bestuur
Melihat kedua pernyataan di atas maka memberi tahu saya bahwa dalam beberapa
dapat dikatakan bahwa inisiatif untuk melakukan bulan ordonasi itu sudah siap, namun
reorganisasi bukan berasal dari penguasa ternyata ordonasi itu baru selesai pada 1918
pribumi Jawa, melainkan dari penguasa Belanda (MvO Sollewijn Gelpke, 1918: 93)”
yang ingin mendominasi atau bahkan
menghapuskan hukum tradisional. Hal itu Dalam menjalankan tugas reorganisasi,
menjadi semakin jelas jika dilihat bahwa secara Residen Gelpke dibantu oleh Asisten Residen
khusus tujuan reorganisasi agraria mencakup H.A. Neys dan Controlleur J.P. Gulik. Kedua
empat hal yaitu penghapusan apanage, pembantu residen ini masing-masing
pembentukan birokrasi desa, pemberian hak atas mempunyai pembantu dua orang setingkat
tanah yang lebih jelas kepada penduduk, dan Adjunct Controlleur, sebuah kantor besar, dan
pembaharuan sistem persewaan tanah. mantri-mantri serta petugas lapangan. Tugas
Reorganisasi bidang agraria sudah dimulai H.A. van Neys adalah membentuk dan
pada 1905 meskipun penerapannya baru dimulai mengelompokkan desa-desa serta membuatkan
pada 1918. Menanggapi rencana reorganisasi usul penetapan pajak bagi setiap perkebunan dan
9
Susanto (Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal)
kawedanan. Sementara tugas van Gulik adalah dan dibuat peta konversi dalam ukuran bahu.
memeriksa ladang-ladang percobaan dan Hal ini terlihat pada Prambanan dengan luas
penghapusan apanage (MvO, Sollewijn Gelpke, 2997 bahu, Gondangwinangun-Jogonalan 4700
1918: 94 ) bahu, Cokrotulung-Ngoreskopen 4276 bahu,
Langkah awal dalam reorganisasi agraria Delanggu 4040 bahu; serta perkebunan
ialah penghapusan apanage, yang di Surakarta Mangkunegaran yaitu Tasikmadu dan Triagan
meliputi wilayah Kasunanan maupun 14475 bahu dan Colomadu 3139 bahu (MvO
Mangkunegaran. Penghapusan apanage di Harloff, 1922: 67-68).
wilayah Mangkunegaran tidak menemui Reorganisasi tanah di Surakarta selesai pada
kesulitan karena praktik ini pernah dilaksanakan 1927 pada akhir masa pemerintahan Residen
pada 1862.8 J.H. Nieuwenhuis. Selanjutnya diketahui bahwa
Penghapusan apanage di wilayah bentuk kepemilikian tanah dan pekarangan
Kasunanan meliputi afdeeling Klaten, Boyolali, bersifat komunal. Selain itu untuk wilayah di luar
Surakarta, dan Sragen. Menurut Rijksblad kota terdapat kebijakan berupa larangan
Soerakarta 1917 No. 15, daerah di afdeeling pengalihan hak atas tanah kepada orang asing.
Klaten yang mengalami penghapusan apanage Akan tetapi, larangan ini tidak berlaku untuk
pertama kali terdiri atas Prambanan, Klaten, dan wilayah perkotaan seperti Solo, Klaten, Boyolali,
Jatinom. Selanjutnya, menurut Rijksblad Sragen, Wonogiri, dan Karanganyar.
Soerakarta 1917 No. 16, dilakukan penghapusan Reorganisasi agraria telah menunjukkan
apanage di Distrik Beji dan Delanggu (Klaten), superioritas komunitas kulit putih melalui
Ponggok dan Simo (Boyolali), dan Kartasura kanonisasi hukum yang tidak mampu dihindari
(Surakarta). Sementara itu, untuk wilayah oleh penguasa pribumi di Surakarta. Hal ini telah
afdeeling Surakarta dan beberapa daerah mengakibatkan mereka kehilangan sebagian
Boyolali yang diatur dalam Rijksblad Soerakarta wibawa dan kendali atas wilayahnya. Pada sisi
1917 No. 35 meliputi Surakarta, Grogol, lain, pengaruh asing yang paling menimbulkan
Sawahan, Sukoharjo, Tawangsari termasuk kegelisahan elite pribumi Jawa di Surakarta
Banyudono, Boyolali, Ampel (Boyolali) serta adalah isu akan dihapuskannya Vorstenlanden.11
Kotagede dan Imogiri (Yogyakarta).9 Sudah barang tentu gejolak akan muncul pula di
Selanjutnya penghapusan apanage di wilayah kalangan rakyat mengingat kuatnya hubungan
Sragen meliputi daerah Sragen, Masaran, patron-klien pada masyarakat tradisional Jawa.
Gemolong, Gondang dan Gesi.10 Di bidang pendidikan, kanonisasi dirasakan
Sejak 1 Januari 1918 semua tanah apanage menjadi beban bagi orang Jawa. Hal itu terkait
di wilayah Keresidenan Surakarta telah dihapus. dengan ditetapkannya bahasa Belanda dan
Dengan penghapusan ini maka jabatan bekel Melayu sebagai bahasa baku di sekolah-sekolah.
juga turut dihapuskan. Kemudian para bekas Pada awal abad XX kebijakan itu muncul dalam
bekel ini memperoleh ganti rugi berupa bumi bentuk pembakuan penguasaan bahasa Belanda.
pituwas atau tanah pension. Sistem gaji ini Kebutuhan akan bahasa Belanda dalam
berlaku bersamaan dengan langkah pendidikan dan pekerjaan diikuti dengan
pembaharuan status tanah di Surakarta. Dalam kebijakan baru berupa penerapan standar ejaan
pembaharuan disebutkan bahwa mengenai hak berdasar bahasa Belanda. Melalui Besluit
milik pribumi atas tanah diberikan kepada desa, Directeur van Onderwijs 12 Januari 1918 No.
sementara hak pakai atas tanah desa diserahkan 1119 telah ditetapkan aturan baru tentang
kepada penduduk. penulisan bahasa-bahasa anak negeri di Hindia
Dalam pelaksanaan reorganisasi pada 1921, Belanda dengan huruf Belanda, dimulai dengan
kantor pengukuran telah mengukur satuan- ejaan bahasa Melaju, Jawa, Sunda, dan
satuan desa di keresidenan seluas 747.583 bahu, Mandarin. Beberapa pihak, antara lain guru
termasuk penyelesaian pengukuran di wilayah Hoge Burger School di Serang, Padang Panjang,
Surakarta. Selain itu untuk wilayah desa yang dan Fort de Kock telah menyatakan penolakan
disewa, dan untuk perkebunan, juga telah diukur
10
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2 , No. 1, 2017, hlm. 4-18
mereka atas kebijakan itu (Koemandang Djawi, yang lain ditampilkan oleh Sastradiharja dalam
20 Februari 1919). novel Soewarsa Warsijah. Dalam novel ini
Kebijakan lain di bidang bahasa adalah ditampilkan tentang persoalan seputar derajat
penerapan bahasa Melayu resmi. Langkah ini sosial dalam perkawinan, selain sifat kesetiaan
dilakukan dengan mengikuti pola ejaan yang dan kegigihan wanita pedesaan yang sangat
disebut Bahasa Melajoe Dines (Dienst kontras dengan kalangan bangsawan kota yang
Maleisch), yaitu bahasa Melayu yang biasa lebih mengandalkan segi kepangkatan. Selain itu
diajarkan dan digunakan dalam perkumpulan, berkembang pula cerita perjalanan. Untuk jenis
kongres, dan dalam surat kabar Melayu. ini, cerita perjalanan karangan Raden Mas Harya
Pembakuan bahasa Melayu akan memudahkan Soerjosoeparto yang berjudul Serat Cariyos
proses pendidikan di sekolah-sekolah. Namun Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Nagari
demikian, langkah ini tentu akan dirasakan berat Walandi banyak disukai di Surakarta pada awal
bagi orang Jawa karena penduduk yang abad ke-20. Dalam perkembangan, genre baru
berbahasa Jawa paling banyak. Kebijakan ini telah memungkinkan sastra Jawa berkembang
bahkan dapat dianggap sebagai belenggu bagi pesat menjadi bacaan popular pada dekade 1920
kebudayaan Jawa. Dalam kaitan dengan dan 1930.
kebijakan tentang Bahasa Melayu, disebutkan Pengaruh Eropa juga muncul pada bidang
bahwa Staat Commissie telah memberi nasihat busana dan tatacara istana Jawa. Di
kepada Minister van Binnenlandsche Zaken dan Mangkunegaran, pengaruh ini tampak sekali
Minister van Kolonie bahwa untuk memenuhi sejak periode pemerintahan Mangkunegara VI
keperluan penduduk Tanah Hindia, bahasa yang mulai memerintah pada 1896. Pengaruh itu
Melayu harus diajarkan di sekolah menengah mulai tampak semenjak meninggalnya ibu suri
yang akan didirikan oleh pemerintah di Hindia yaitu Kangjeng Raden Ayu Adipati
(Jawa) (Koemandang Djawi, 10 Februari 1919). Mangkunegara IV. Pembaharuan yang pertama
Kuatnya arus budaya Barat juga terlihat pada era Mangkunegara VI adalah pada
berpengaruh pada bidang sastra. Pada awal abad Balepeni - sebuah ruangan yang digunakan
XX pengaruh genre novel, cerita pendek, dan untuk menjalankan pemerintahan istana
esai Barat sangat dominan terhadap sastra Jawa Mangkunegaran - yang tampak lebih berwibawa
(Ras, 1985: 8; Wal, 2001: 12). Pengaruh itu setelah lantainya diperbaiki dengan komposisi
menumbuhkan dua hal yang berbeda. Pertama, lantai dari tegel bermotif bunga. Setelah itu
genre sastra baru itu menggeser sastra Jawa lama. muncul tatacara baru yang memperlihatkan
Pada umumnya sastra Jawa lama berbentuk sebuah perubahan radikal di istana yaitu
tembang yang biasanya diciptakan oleh seorang diterapkannya aturan duduk sejajar dengan
pujangga yang berstatus sebagai abdi raja. memakai kursi. Aturan lama mengenai
Dengan demikian, sastra Jawa lama berfungsi perhormatan dengan cara menyembah sambil
untuk melegitimasi kekuasaan (Berg, 1985). jongkok juga dihilangkan. Menurut aturan baru,
Kedua, genre baru itu memungkinkan sembah hanya dilakukan pada awal dan akhir
munculnya pengarang dari berbagai lapisan pertemuan (Djawa, 1924).
sosial. Dengan demikian, sastra Jawa kemudian Di kalangan Legiun Mangkunegaran,
berfungsi sebagai ekspresi sosial. Selanjutnya penampilan prajurit pribumi mengalami banyak
dapat dilihat misalnya sebagai model sosialisasi perubahan. Menurut Mangkunegara VI, untuk
nilai tentang kehidupan dunia istana Jawa menambah efektivitas gerak maka penampilan
terhadap anak-anak di lingkungan wilayah prajurit pribumi Legiun Mangkunegaran perlu
kekuasaan Mangkunegaran seperti tampak diubah. Sejak Mangkunegara VI, prajurit legiun
dalam karangan Yosowidagdo, Botjah mulai diberi penampilan Eropa yang baru sama
Mangkoenegaran. Muncul pula ekspresi sekali, misalnya prajurit harus memotong rambut
penolakan terhadap sistem perkawinan paksa pendek dan memakai topi, tidak lagi memakai
yang diungkapkan oleh R.M. Sulardi dalam Serat udheng—ikat kepala tradisional. Selain itu,
Rijanto. Gambaran suasana Mangkunegaran untuk menambah kesigapan bergerak prajurit
11
Susanto (Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal)
mulai memakai sepatu. Untuk penampilan berlaku untuk semua pegawai baik yang telah
model rambut pendek, Mangkunegara VI sendiri tercatat ataupun tidak (benoemd of
yang memberi contoh. Ia mengubah onbenoemd). Fasilitas itu biasanya juga berlaku
penampilannya dengan rambut pendek rapi untuk semua anggota keluarga pegawai yang
tanpa topi sejak ia memotong rambutnya di memperolehnya termasuk anak dan istrinya.
tempat potong rambut milik orang Perancis Namun, sejak muncul peraturan baru itu, fasilitas
bernama Pianelli pada 24 Oktober 1911.12 lama tidak berlaku lagi. Dalam peraturan baru,
Mangkunegara VI merupakan elite pribumi fasilitas dibedakan untuk pegawai pribumi yang
pertama dengan penampilan potongan rambut tercatat dan yang tidak tercatat. Selain itu
pendek. Dengan penampilan-nya yang baru itu, fasilitas vrijbiljet menjadi lebih rumit lagi karena
kalangan abdi istana diizinkan untuk tidak lagi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu Karcis Putih
memakai kuluk, kampuh, dan sikepan, kecuali (kelas 3), Karcis Pribumi (kelas 3), dan Karcis
saat upacara khusus (Rouffaer, 1905: 604; Hijau (kelas 3). Karcis Putih hanya diberikan
Dalyana: 39). kepada pegawai pribumi yang terdaftar (inlander
benoemd), yaitu pegawai kelas 2 yang gajinya
POLITIK IDENTITAS telah mencapai ƒ.45 atau lebih. Jenis karcis
pribumi kelas 3 diberikan kepada semua pegawai
Praktik kanonisasi pada akhirnya menggulirkan pribumi. Dengan demikian semua pegawai
suasana kaku dalam bentuk politik identitas, pribumi yang terdaftar yang gajinya kurang dari
suatu kebijakan yang mengarah pada identifikasi ƒ.45 termasuk yang memperoleh fasilitas ini.
sosial dan ras di dalam masyarakat. Kondisi ini Demikian pula pegawai kelas 2, meskipun
tampak sekali pada suasana di ruang publik. gajinya sebesar ƒ.66 atau lebih dan terdaftar
Sebuah karya sastra berjudul Kirti Ndjoendjoeng tidak memperoleh fasilitas kelas 2 melainkan
Dradjat menggambarkan praktik itu dalam hanya kartu bebas kelas 3. Banyak protes
ungkapan yang tegas seorang kondektur kereta ditujukan pada kebijakan vrijbiljet baru ini,
api dari Balapan menuju Klaten: “Boeri, Boeri, antara lain karena fasilitas ini hanya berlaku
Wong Djawa Boeri “ (Belakang, Belakang, untuk pemegang hak vrijbiljet dan tidak
Orang Jawa tempatnya di Belakang), menunjuk mencakup keluarganya. Karcis itu juga dianggap
pada tempat mereka yang sesungguhnya yaitu di kurang praktis karena harus disobek ujungnya
gerbong kelas 3. Fakta itu menegaskan bahwa di setiap kali jalan, dan yang paling dipersoalkan
Surakarta sejak munculnya alat transportasi adalah apakah kalangan pegawai Eropa juga
kereta api telah menempatkan orang pribumi mendapat perlakuan seperti ini.13
pada kelas rendah, sementara kelas istimewa Realitas di atas tampaknya telah
hanya dimiliki oleh komunitas kulit putih dan menimbulkan keraguan dan kekecewaan di
Cina. Klasifikasi ras terkait fasilitas publik itu kalangan komunitas Jawa terhadap sifat
semakin jelas seperti tampak dari tulisan yang kejawaannya. Gambaran mengenai hal ini dapat
tertera pada karcis kereta api: “Wong Djawa Ora dilihat pada tulisan seorang redaktur luar kota
Kanggo Sneltrein” (Koemandang Djawi, 5 (buitengewoon redacteur) surat kabar
November 1917). Koemandang Djawi, R. Hadi, yang tinggal di
Diskriminasi terhadap komunitas pribumi Ngadirojo Temanggung. Dalam sebuah
Jawa juga dapat dilihat pada peraturan baru artikelnya yang berjudul “Pro & Contra” ia
tentang vrijbiljet (tiket bebas) kereta api yang mengungkapkan bahwa secara umum orang
dibuat oleh SS pada 1916. Sebelum peraturan Jawa itu penuh kontradiksi. Pada satu sisi orang
baru itu muncul, pegawai pribumi memperoleh Jawa selalu dilihat sebagai bangsa yang sangat
fasilitas vrijbiljet. Setiap tahun mereka mendapat tinggi budayanya, namun pada sisi lain di mana-
12 kartu bebas untuk kereta kelas 3. Kekecualian mana terjadi stigma negatif seperti: speciaal voor
terjadi pada November 1915 ketika pegawai en vanwege de Javanen, di hotel ada Kamar Jawa,
kelas 1 yang sudah bergaji ƒ. 66 memperoleh di kereta ada Kelas Moerah (untuk orang Jawa),
tempat duduk di kelas 2. Semua fasilitas itu di komidi (tenda) ada Kelas Kambing, dan di
12
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2 , No. 1, 2017, hlm. 4-18
kapal baik Belanda maupun Lloyd ada Kamar Jawa berkain batik sambil memegang buku
Kraton; yang semua itu jelas menunjukkan di sedang dibimbing oleh seorang wanita kulit
mana Kelas Jawa (Koemandang Djawi, 6 Juni putih untuk menapaki tangga menuju cahaya
1919). Peradaban Barat. Judul buku itu sendiri sudah
Rasa superioritas kulit putih semakin luas cukup mewakili maksud kolonial bahwa
sampai memasuki dunia profesi sebagaimana kemajuan Jawa hanya mungkin dicapai sejauh
tercermin dari ucapan van der Jagt, seorang melalui jalan pembaratan (lihat Gambar 2)
asisten residen di Kebumen, dalam sebuah (Groeneboer, 1998: 67, 55, 167).
sidang Volksraad yang bernada merendahkan
wartawan pribumi dengan sebutan Boemi Poetra
Keloearan Sekolah Setalen. Tuduhan itu
mengarah pada Abdul Muis dan Cipto
Mangunkusuma yang selalu mengkritik
kebijakan Volksraad. Pernyataan itu kiranya
telah menunjukkan betapa hegemoni ras
menjadi bias karena diucapkan oleh seorang
anggota wakil rakyat. Hal itu sekaligus
mencerminkan di mana posisi Volksraad
sesungguhnya (Koemandang Djawi, 13 Januari
1919 ).
Sikap ketimpangan sosial ini semakin
tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah
berita dalam kolom Chabar Harian Gambar 2. Weg tot het Westen
menceriterakan suatu kejadian kecelakaan di Sumber: Kees Groeneboer, 1998.
Klaten ketika seorang wanita pedagang pribumi
tertabrak mobil yang dikendarai oleh dua orang KEGELISAHAN ATAS HILANGNYA
kulit putih. Kejadian ini sempat diperiksa oleh IDENTITAS KOMUNITAS
polisi. Anehnya, orang kulit putih itu dibiarkan
pergi sementara wanita pedagang dimarahi Kanonisasi budaya dan praktik politik identitas
(Koemandang Djawi, 24 Februari 1919). sebegitu jauh telah mengikis identitas Jawa. Hal
Insiden ini setidaknya semakin memperkuat ini telah menimbulkan kegelisahan di kalangan
gambaran ketidakadilan dalam masyarakat komunitas Jawa yang akhirnya diungkapkan
kolonial yang mengutamakan privillege kalangan dalam berbagai reaksi. Dalam kaitan ini bahasa
kulit putih. Belanda yang secara sosial dianggap mempunyai
Praktik politik identitas semakin lama nilai tinggi semakin dirasakan menjadi sumber
semakin menciptakan dikotomi sosial yang kegelisahan utama yang berpotensi mengancam
tajam. Kalangan pribumi pun kemudian terseret bagi etnis dan budaya Jawa di Surakarta
ke arah sikap yang sulit dihindari. Dalam (Groeneboer, 1998: 159). Ungkapan kecemasan
menyikapi reaksi berlebihan komunitas Eropa itu dapat dilihat pada artikel berjudul “Bahasa
melalui surat kabar terhadap rencana Belanda dalam Kalangan Boemi Poetera”, yang
pemogokan buruh pandhuis, kaum pribumi ditulis oleh seorang pribumi yang menggunakan
menjuluki surat kabar mereka sebagai “pers nama popular Witte Paraffine. Dalam artikel ini
putih”.14 secara lugas diungkapkan betapa melalui
Ungkapan yang paling menonjol pendidikan moderen bahasa Belanda telah
menggambarkan politik identitas yang secara menimbulkan dua hal baik itu kemajuan atau
jelas merendahkan orang Jawa adalah gambar pun kemunduran. Bahasa Belanda dipandang
sampul buku Djalan ke Barat-Weg tot het telah semakin menimbulkan cara hidup seperti
Westen karangan Nieuwenhuis. Gambar sampul orang Eropa. Akan tetapi, pada sisi lain,
itu memperlihatkan seorang wanita pribumi pendidikan Barat ikut pula mendorong
13
Description:Soerjosoeparto yang berjudul Serat Cariyos . pada banyaknya perhimpunan yang didirikan di rungan upaya pendirian perhimpunan itu telah.