Table Of ContentProsiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian
Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto
KERAWANAN LONGSOR LAHAN PERTANIAN DI DAERAH
ALIRAN SUNGAI CITARUM, JAWA BARAT
LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY OF AGRICULTURAL AREAS IN
CITARUM WATERSHED, WEST JAVA
Wahyunto, H. Sastramihardja, W. Supriatna, W. Wahdini, dan Sunaryo
Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK
Kondisi bio-fisik wilayah seperti lereng, jenis penggunaan lahan, curah hujan, dan tipe
litologi dapat memicu suatu wilayah menjadi rawan longsor (landslide susceptibility), yang
dapat membahayakan aktivitas kehidupan di sekitarnya. Penilaian potensi kerawanan longsor di
wilayah sawah dan nonsawah di daerah aliran sungai Citarum Jawa Barat disusun secara
kualitatif, dengan cara mengelompokkan dan matching kondisi bio-fisik wilayah yang dapat
memicu terjadinya longsor seperti: kemiringan lahan, tipe litologi, dan jenis penggunaan
lahannya. Pengamatan pada daerah sampel di setiap kelas rawan longsor bertujuan untuk
mengkaji volume tanah yang longsor, proporsi terjadinya longsor, dan pemicu atau penyebab
terjadinya longsor. Estimasi biaya untuk membersihkan longsoran tanah dihitung berdasarkan
estimasi volume tanah yang longsor persatuan luas (m3/ha) dan biaya memindahkan/
membersihkan tanah yang longsor tersebut (Rp/m3). Tanah longsor umumnya terjadi pada
musim hujan, dengan curah hujan bulanan rata-rata lebih besar 400 mm/bulan. Turunnya hujan
secara terus-menerus selama empat-lima hari dengan curah hujan lebih besar 90 mm/hari
merupakan pemicu utama terjadinya tanah longsor. Verifikasi lapangan menunjukkan bahwa
lebih kasar tekstur tanahnya akan lebih rawan longsor bila dibandingkan dengan tanah yang
bertekstur lebih halus (liat). Hal ini karena tanah yang bertekstur kasar mempunyai kohesi
agregat tanah yang rendah. Jangkauan akar tanaman dapat mempengaruhi tingkat kerawanan
longsor. Dengan demikian wilayah tanaman pangan semusim akan lebih rawan longsor bila
dibandingkan dengan tanaman tahunan (keras). Di wilayah lahan sawah, tanah longsor mulai
terjadi pada lereng lebih besar 3% dan di wilayah lahan nonsawah (dominan terjadi pada
tegalan, semak-belukar) tanah longsor mulai terjadi pada lereng lebih besar 8%. Biaya yang
dibutuhkan untuk membersihkan tanah longsor bervariasi antara Rp. 4 juta sampai Rp. 18,9
juta/hektar. Semakin besar lerengnya akan semakin tinggi biaya yang dibutuhkan.
ABSTRACT
Land slide susceptibility of agricultural areas could be triggered by bio-physical factors,
such as: slope, type of landuse/land cover, rainfall, soil characteristics and type of lithology/
parent materials. Landslide causes damage and danger on the daily activity in the vicinity
areas. Landslide susceptibility map of wetland rice (sawah) and non wetland rice of Citarum
watershed was generated by using qualitative/semi quantitative approach by means grouping
and matching of bio-physical conditions such as slope, lithology, and type of landuse/land
cover with landslide susceptibility. Field observations and farmer interviews were conducted
ISBN 979-9474-20-5 99
Wahyunto et al.,
to collect data and landslide parameters such as: landslide volume, proportion of areas
affected by landslide, accelerated landslide bio-physical parameters. Landslide hazard
rehabilitation cost was estimated based on landslide volume and minimum wages to remove
landslide materials impeding economic activities. Landslides occured during rainy season
when average rainfall is more than 400 mm month-1 or more than 90 mm day-1 in 4 days
consequtively. Field verifications indicated that lighter texture soil is more vulnerable to
landslides risk than heavier textured soil, possible because of reduced cohesion of the soil
aggregates. Shallower rooting zone of crops is more vulnerable to landslide risk than deeper
rooting zone of crops. Therefore seasonal food crops is more vulnerable to landslide risk. At
wetland rice areas, landslide usually occur at major slope more than 3%, and non wetland
rice (upland food crop agriculture, shrub and bush) landslide occurring with slope more than
8%. Estimated cost to rehabilitate landslide is Rp. 4 million to 18.9 million ha-1. The higher on
slope will increase cost of landslide rehabilitation.
PENDAHULUAN
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya kebutuhan lahan,
sementara luas lahan terbatas, sehingga pemanfaatan lahan baik terencana maupun
tidak direncanakan makin tidak terkendali. Sebagai contoh, semakin banyaknya
pemanfaatan lahan berlereng yang rawan longsor atau gerakan massa batuan untuk
berbagai keperluan seperti: permukiman, pertanian, jalan, jembatan, saluran irigasi,
bendungan, dan prasarana fisik lainnya, sehingga semakin banyak penduduk
menempati daerah yang rawan bencana longsor tersebut. Potensi tanah longsor di
Indonesia cukup besar, sebab kondisi dan proses geologi seperti proses pengangkatan,
patahan, gempa bumi, dan aktivitas vulkanis masih terus berlangsung. Curah hujan
yang tinggi dan keadaan sebagian besar lapisan tanah di Indonesia didominasi oleh
lapisan sedimen Quarter yang belum terkonsolidasi dengan baik dapat memicu
terjadinya tanah longsor. Yang dimaksud dengan tanah longsor (landslide) dalam
kegiatan ini mengacu pada pengertian yang didefinisikan oleh Varnes (1984) adalah:
gerakan massa tanah (termasuk batuan), lapisan hasil sedimentasi yang belum
terkonsolidasi atau lapisan tanah pada bagian lereng dengan kemiringan landai sampai
sangat curam ke arah kaki lereng sebagai akibat terlampauinya keseimbangan daya
tahan lerengnya. Penentuan wilayah lahan pertanian rawan longsor dapat dilakukan
dengan mengkaji beberapa parameter yang dapat memicu terjadinya longsor seperti:
lereng, sifat tanah/litologi, jenis penggunaan lahan, dan curah hujan.
Sumiyatinah dan Yohanes (2000) mengkaji tanah longsor di daerah Jawa Barat,
melaporkan bahwa wilayah rawan longsor umumnya terjadi pada wilayah berlereng
>25% dengan curah hujan >3000 mm/tahun. Tanah longsor dapat terjadi bila pada
wilayah tersebut terjadi hujan selama 4-5 hari berturut-turut dengan curah hujan >90
mm/hari (Wahyono, 1997). Akibat yang ditimbulkan oleh tanah longsor sangat
bervariasi, mulai dari retakan berukuran beberapa sentimeter sampai dengan
100
Kerawanan Longsor Lahan Pertanian
kerusakan besar yang mengganggu kenyamanan, merusak prasarana, dan bahkan
mengancam kehidupan dan lingkungan, berupa putusnya saluran irigasi atau ruas
jalan, lahan pertanian hancur, rumah rusak bahkan sampai korban jiwa manusia
sebagai akibat tertimbunnya permukiman oleh material longsoran.
Menurut pemantauan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1997) data
frekuensi kejadian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan tanah longsor dalam
sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan terjadinya peningkatan, dengan daerah
sebaran yang bertambah luas. Sehubungan dengan hal tersebut, penentuan tingkat
kerawanan suatu wilayah terhadap tanah longsor sangat diperlukan, untuk mendukung
usaha perlindungan bagi masyarakat yang mendiami atau memanfaatkan lahan yang
rawan bahaya longsor tersebut.
Fungsi utama lahan pertanian terutama lahan sawah adalah sebagai sumber
produksi bahan pangan. Selain itu lahan sawah juga mempunyai berbagai fungsi
eksternal seperti: kapasitas menahan air, mengurangi bahaya erosi, tanah longsor,
banjir, dan rekreasi (Agus et al., 2001; dan FFTC, 2001).
Mengkaji tanah longsor di area lahan sawah dan nonsawah berdasarkan
kemiringan lahan ataupun kelas potensi longsornya diperlukan untuk menghitung
besarnya biaya yang diperlukan bila lahan tersebut tetap dipertahankan sebagai sawah
atau diarahkan kejenis penggunaan lain bila dianggap lebih menguntungkan. Kajian
peningkatan multifungsi lahan sawah diharapkan dapat meningkatkan apresiasi di
kalangan pemerintah, pemilik lahan serta masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah
yang selanjutnya diharapkan berdampak terhadap pengendalian konversi lahan sawah.
Hasil kajian Alfors et al. (1983) dalam Western et al. (1996) di daerah California,
kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam gempa bumi, landslide, banjir dan lainya
dari tahun 1970 sampai tahun 2000 diperkirakan sebesar 38 milyar US$, dimana 25%-
nya diakibatkan oleh tanah longsor (landslide) di lahan pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1). mengadakan evaluasi kualitatif/semi dan
kuantitatif tentang terjadinya tanah longsor pada lahan sawah dan nonsawah, dan 2).
menaksir besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan tanah yang longsor
apabila lahan tersebut akan tetap dipergunakan untuk berusaha tani.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Peta lahan sawah skala 1:250.000 (Puslittanak, 1999)
2. Peta penggunaan lahan pertanian skala 1:250.000 (Puslittanak, 1998)
3. Peta wilayah perkebunan di Jabar (Dirjenbun, 1996)
101
Wahyunto et al.,
4. Atlas sumberdaya tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslittanak
2000)
5. Peta Geologi daerah Jawa Barat skala 1:250.000 dan skala 1:100.000 (Direktorat
Geologi, Tata Lingkungan,1994)
6. Peta zone kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000, daerah Bandung, Cianjur,
dan Garut (Direktorat Geologi, Tata Lingkungan, 1997)
7. Peta-peta topografi skala 1:25.000 dan citra satelit untuk memperbaharui dan
melengkapi informasi peta-peta yang dibuat
Metode
Untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan (lahan sawah dan penggunaan
lahan lainnya) dilakukan dengan cara menghimpun data/peta-peta yang berisi
informasi lahan sawah yang bersumber dari peta topografi, peta landuse, peta lahan
sawah, potret udara dan analisis citra satelit. Peta-peta tersebut kemudian
diintegrasikan dan disajikan dalam peta skala 1:100.000. Pengecekan dan validasi
lapangan dilakukan untuk menyempurnakan peta yang telah dibuat yang mencakup
kondisi penggunaan lahan dan penyebarannya, serta kajian data satelit digunakan
untuk memperbaharui kondisi penggunaan lahan, penyebaran, dan aksesibilitasnya.
Peta penggunaan lahan ini kemudian digunakan sebagai sumber informasi utama
dalam mengkaji tanah longsor di wilayah lahan sawah dan nonsawah.
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji potensi terjadinya tanah longsor
(landslide susceptibility) di area lahan sawah dan nonsawah, adalah dengan cara
mempelajari parameter-parameter indikator yang dapat memicu terjadinya tanah
longsor. Parameter indikator pemicu terjadinya tanah longsor antara lain adalah :
litologi dan sifat tanah, lereng, dan curah hujan. Khusus kajian curah hujan mengacu
pada hasil kajian Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL) Bandung, 1997. Hasil
kajian menunjukan bahwa wilayah rawan longsor umumnya mempunyai curah hujan
antara 400-500 mm/bulan dan hujan tersebut terkonsentrasi dalam 3-5 hari. Untuk
menentukan tingkat kerawanan longsor di daerah persawahan maupun bukan
persawahan, dilakukan pengamatan tanah longsor (gerakan massa tanah) yang pernah
terjadi dan yang sedang terjadi. Lokasi pengamatan (sample areas) ditentukan dengan
mengacu peta kerentanan gerakan tanah terbitan Direktorat GTL Bandung (Direktorat
GTL, 1994 dan 1997). Pada setiap kelas rawan longsor dilakukan pengamatan volume
dan frekuensi terjadinya longsor, proporsi terjadinya longsor, kemiringan lahan, jenis
penggunaan lahan dan jenis tanaman dominan, litologi dan tekstur tanah, jenis
tanaman/vegetasi dominan, serta faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.
Untuk wilayah-wilayah yang belum dipetakan tingkat kerawanan longsornya, maka
102
Kerawanan Longsor Lahan Pertanian
pengamatan intensitas tanah yang longsor didasarkan kepada kondisi bio-fisik wilayah
(terutama lereng dan litologi) yang pengelompokannya disesuaikan dengan
pengelompokan Direktorat GTL, 1994.
Pengamatan dan pengecekan keadaan tanah longsor dilakukan pada area-area
pewakil seluas 25 ha atau 500 m x 500 m (Ajaelolian et al., 1999). Pengamatan lapangan
dilakukan pada tempat-tempat yang mewakili setiap kelas rawan longsor dan berbagai
variasi tipe penggunaan lahan untuk pengumpulan data yang meliputi: seri data kejadian,
waktu dan luas area terjadi longsor serta riwayat penggunaan lahan beberapa tahun yang
lalu. Selain itu wawancara dengan petani/penduduk untuk mengkuantifikasi tingkatan
kelas rawan longsor (volume tanah yang longsor per satuan luas).
Penyusunan peta zone rawan longsor di seluruh DAS Citarum dilakukan
dengan metode kualitatif. Hal ini dilakukan dengan cara mengklasifikasi kemiringan
lahan dan kondisi geologi (klasifikasinya mengacu pada Direktorat GTL). Untuk
tujuan ini Peta kerentanan tanah lembar Cianjur, Bandung, dan Garut terbitan
Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 1994 digunakan sebagai acuan dalam
menentukan tingkat kerawanan longsor terutama mengenai besarnya volume tanah
yang longsor pada setiap kelas kerawanan. Hasil overlay dengan peta geologi
menunjukkan bahwa lahan sawah yang rawan longsor di daerah DAS Citarum
sebagian besar berasal dari litologi/bahan volkan.
Perhitungan biaya untuk membersihkan tanah yang longsor dilakukan dengan
cara menghitung besarnya volume tanah yang longsor per satuan luas (m3/ha)
dikalikan dengan upah borongan mengangkut/memindahkan tanah tersebut (Rp/m3).
Standar upah borongan mengacu kepada rekap analisis harga satuan pekerjaan umum
dan bangunan yang diterbitkan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah,
Propinsi Jawa Barat (2002). Pada kenyataannya di lapangan, wilayah sawah atau
nonsawah dalam kelas lereng atau kelas rawan longsor yang sama tidak semuanya
mengalami longsor. Dari hasil pengamatan lapangan, rata-rata kejadian tanah longsor
hanya sekitar 5% dari luas area penggunaan lahan dan kelas lereng. Tanah longsor
tersebut dapat terjadi secara menetap (di daerah yang sama) atau berpindah-pindah
tergantung tenaga pemicunya.
Untuk menghitung volume tanah yang longsor yang terjadi pada setiap jenis
penggunaan lahan (sawah dan nonsawah) pada setiap kelas rawan longsor dan kelas
lereng dilakukan melalui tahapan berikut ini: 1). menghitung jumlah volume tanah
yang longsor di daerah sampel di setiap kelas kerawanan longsor atau kelas lereng
(m3/m2), selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan rata-rata besarnya
volume tanah yang longsor per ha dalam kelas tersebut (m3/ha), dan 2). oleh karena
hanya 5% dari luas wilayah yang terjadi longsor, maka volume tanah longsor yang
terjadi adalah 5% x volume tanah yang longsor pada butir 1.
103
Wahyunto et al.,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemicu terjadinya tanah longsor
Tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng. Makin tinggi
kemiringan lahannya akan semakin besar potensi longsornya. Tanah longsor terjadi
biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Hal ini terjadi
karena bagian bawah tanah terdapat lapisan yang licin dan kedap (sukar ditembus) air
(Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1994; Sumiyatinah dan Yohanes, 2000). Dalam
musim hujan, apabila tanah di atasnya tertimpa hujan dan menjadi jenuh air, sebagian
tanah akan bergeser ke bawah melalui lapisan kedap yang licin tersebut dan menimbulkan
longsor. Pada kenyataannya tidak semua lahan/wilayah berlereng mempunyai potensi
longsor dan itu tergantung pada karakter lereng (beserta materi penyusunnya) terhadap
respons tenaga pemicu terutama respons lereng tersebut terhadap curah hujan. Faktor
lereng yang terjal sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan energi
(tegangan) pada lereng tersebut. Penambahan beban volume dan melemahnya daya ikat
materi penyusun lereng dengan bahan induk (bedrock) sebagai akibat adanya
peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam materi tersebut dapat menyebabkan
tanah longsor. Air hujan yang jatuh ke permukaan lereng sebagai air aliran permukaan
(run off) atau merembes masuk ke dalam materi penyusun lereng dan bagian air yang
terinfiltrasi ini merupakan pemicu terjadinya longsor. Namun yang pasti tanah longsor
akan terjadi pada saat hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Hujan
selama lima hari terus-menerus dengan intensitas 90 mm/hari atau lebih dapat
meningkatkan frekuensi terjadinya longsor (Wahyono, 1997).
Penggunaan lahan seperti persawahan maupun tegalan dan semak belukar,
terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lahan terjal umumnya
sering terjadi tanah longsor. Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi,
sehingga perakaran sebagai pengikat tanah menjadi berkurang dan mempermudah
tanah menjadi retak-retak pada musim kemarau. Pada musim penghujan air akan
mudah meresap ke dalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat
menyebabkan lapisan tanah menjadi jenuh air. Hal demikian cepat atau lambat akan
mengakibatkan terjadinya longsor atau gerakan tanah.
Kondisi litologi merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses
tanah longsor atau gerakan tanah di suatu daerah. Di daerah penelitian, wilayah yang
berasal dari litologi/bahan volkan umumnya lebih rawan terhadap bahaya longsor.
Umumnya gerakan tanah terjadi pada batuan breksi tufaan, batuan gunung api muda,
dan gunung api tua. Struktur geologi juga merupakan salah satu faktor pendukung
penyebab terjadinya gerakan tanah seperti lipatan, sesar, dan kekar dapat
memperlemah struktur batuan yang ada di suatu daerah.
104
Kerawanan Longsor Lahan Pertanian
Kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu
terjadinya longsor (kecepatannya tergantung dari tekstur dan struktur tanah). Air
permukaan sebagian akan meresap ke dalam tanah atau batuan melalui pori-pori tanah
atau retakan-retakan yang terdapat pada batuan dan sebagian lagi akan mengalir di
permukaan tanah. Hal ini dapat menyebabkan perubahan terhadap sifat fisik tanah,
yakni menurunnya daya kohesi tanah, sehingga kekuatan geser tanah berkurang,
sedangkan bobot masa tanahnya bertambah. Akibat lain dari aliran permukaan yaitu
dapat menimbulkan penggerusan (erosi) terutama pada daerah-daerah terjal atau
tebing aliran sungai, sehingga lereng bagian bawah menjadi lebih terjal dan dapat
mempercepat terjadinya longsor pada lereng bagian atasnya. Besar kecilnya air aliran
permukaan, tergantung dari besar intensitas dan lamanya curah hujan di suatu tempat.
Meresapnya air permukaan ke dalam lapisan tanah menyebabkan bobot massa
tanahnya meningkat, seiring dengan meningkatnya bobot massa tanah maka kuat
geser tanahnya menurun. Dengan demikian tingginya curah hujan di suatu daerah,
dapat memicu terjadinya bencana tanah longsor.
Kondisi penggunaan lahan dan tanah longsor
Penggunaan lahan di DAS Citarum dari hulu sampai hilir berdasarkan peta-peta
dan data yang ada dan didukung dengan beberapa hasil pengamatan lapangan dapat
dikelompokan menjadi 12 tipe penggunaan lahan yaitu: tambak dan mangrove, sawah
di wilayah datar, sawah di wilayah berlereng, perkebunan teh, perkebunan karet,
tegalan, kebun campuran, permukiman dan kawasan industri, semak belukar, hutan,
hutan lindung, dan waduk. Penggunaan lahan terluas adalah kebun campuran dan
permukiman (26,98%) dan tegalan (15,60%). Sedangkan sawah di wilayah datar dan
berlereng masing-masing seluas 19,03 dan 7,68%. Kondisi penggunaan lahan secara
lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada wilayah rawan longsor kelas 1 (sangat rendah), tanah longsor yang
terjadi sangat rendah, dan umumnya petani dapat mengantisipasi atau
memperbaiki sendiri secara rutin, sehingga dapat diabaikan. Pada Tabel 2 dan
Tabel 3 dapat dilihat bahwa di lahan sawah dengan litologi bahan volkan, tanah
longsor mulai terjadi pada wilayah dengan kemiringan lahan >3%. Sedangkan
pada penggunaan lahan nonsawah tanah longsor baru mulai terjadi pada wilayah
yang berlereng >8%. Umumnya semakin besar tingkat kemiringan lahan semakin
tinggi pula tanah yang longsor. Namun pada wilayah berlereng >25% penggunaan
lahan sawah dan nonsawah cenderung mempunyai tingkat longsor yang sama
yakni menengah sampai tinggi.
105
Wahyunto et al.,
Tabel 1. Penggunaan lahan di DAS Citarum, Jawa Barat
Daerah Tangkapan Waduk Citarum Total DAS
Simbol Penggunaan lahan
Saguling Cirata Jatiluhur Hilir Citarum
ha
Tb Tambak dan mangrove 0 0 0 20.900 20.900
Sw1 Sawah di wilayah datar (< 8 %) 49.145 71.219 74.101 68.366 142.467
Sw2 Sawah di wilayah berlereng (> 8%) 27.033 44.955 47.739 9.779 57.518
Th Perkebunan teh 7.807 10.790 10.790 181 10.971
Kr Perkebunan karet 0 1.608 3.037 4.730 7.767
Tg Tegalan 41.868 68.827 69.010 47.743 116.753
Kc Kebun campuran dan permukiman 42.453 96.287 111.427 90.471 201.898
P Permukiman dan kawasan industri 24.633 27.092 27.355 18.804 46.159
SB Semak, belukar, dan tegalan 1.544 19.349 29.374 23.197 52.571
H Hutan 58.522 62.177 63.358 5.297 68.655
HL Hutan lindung 0 3.448 3.448 1.997 5.445
Wd Waduk 4.581 9.937 17.356 0 17.356
Total 257.586 415.689 456.995 291.465 748.460
Tabel 2. Tingkat kerawanan longsor wilayah lahan sawah dan nonsawah berlitologi
volkan di DAS Citarum, Jawa Barat
Lereng Lahan sawah Lahan nonsawah
(%) Tingkat kerawanan longsor Tingkat kerawanan longsor
0-3 1 (sangat rendah) 1 (sangat rendah)
3-8 2 (rendah) 1 (sangat rendah)
8-15 2, 3 (rendah – menengah) 2 (rendah)
15-25 3 (menengah) 2,3 (rendah- menengah)
25-40 3,4 (menengah – tinggi) 3,4 (menengah – tinggi)
>40 4 (tinggi) 4 (tinggi)
Pada lahan sawah yang berasal dari bahan bukan volkan, tanah longsor baru
mulai terjadi pada wilayah berlereng >8% dan lahan nonsawah, tanah longsor mulai
terjadi pada wilayah berlereng >15%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada
lahan berlereng >25% pengaruh perbedaan litologi terhadap pemicu terjadinya longsor
pada setiap jenis penggunaan tanah relatif kecil. Berdasarkan kelas lereng, tanah longsor
lebih mudah terjadi pada wilayah lahan sawah. Hal ini karena tanah di wilayah lahan
sawah lebih sering atau selalu dalam keadaan jenuh air/tergenang dalam waktu cukup
lama, sehingga dapat memicu terjadinya longsor. Namun pada lereng >25% volume
tanah longsor di wilayah nonsawah menjadi lebih besar. Semakin terjal lerengnya akan
semakin besar beda volume tanah yang longsor. Di wilayah lahan nonsawah, tanah
longsor umumnya terjadi pada wilayah tegalan, rerumputan dan semak-belukar.
106
Kerawanan Longsor Lahan Pertanian
Kesemua jenis penggunaan lahan ini mempunyai kondisi jangkauan perakaran yang
dangkal, dan kemampuan daya ikat tanahnya juga rendah. Kondisi demikian apabila
terdapat di daerah berlereng terjal akan mempermudah terjadinya longsor.
Tabel 3. Tingkat kerawanan longsor wilayah lahan sawah dan nonsawah berlitologi
bukan volkan di DAS Citarum, Jawa Barat
Lereng Lahan sawah Lahan nonsawah
(%) Tingkat kerawanan longsor Tingkat kerawanan longsor
0-3 1 (sangat rendah) 1 (sangat rendah)
3-8 1 (sangat rendah) 1 (sangat rendah)
8-15 2 (rendah ) 1 (sangat rendah)
15-25 2, 3 (rendah - menengah) 2 (rendah)
25-40 4 (tinggi) *
>40 * *
Keterangan : * tidak teramati
Tingkat kerawanan longsor pada berbagai jenis penggunaan lahan di DAS Citarum
disajikan pada Tabel 4. Pada lahan sawah di wilayah datar, 88,7% lahannya termasuk
kelas rawan 1 (sangat rendah), 8% wilayah ini termasuk rawan longsor zone 2 (rendah)
dan 2,84% termasuk zone 3 (menengah). Sebaliknya pada sawah di wilayah berlereng
(lereng >8%) wilayah yang mempunyai tingkat rawan longsor yang rendah, menengah
dan tinggi berturut-turut seluas 55,0 %, 23,0% dan 8,5%.
Tabel 4. Tingkat kerawanan longsor pada setiap jenis penggunaan lahan di DAS
Citarum, Jawa Barat
No. Penggunaan Rawan I Rawan II Rawan III Rawan IV Total
Lahan luas luas luas luas seluruh
DAS
ha % ha % ha % ha % ha
1. Sawah berlereng 7.457 12,96 31.669 55,0 13.451 23,0 4.941 8,5 57.518
2. Sawah datar 86.762 88,7 10.119 8,0 2.839 2,84 400 0,4 142.467
3. Tegalan 6.449 5,52 51.059 43,7 56.760 48,6 2.485 2,1 116.753
4. Semak belukar 2.291 4,36 16.476 31,3 32.016 61,0 1.787 3,4 52.571
5. Kebun campuran 40.074 20,0 92.128 45,0 63.758 31,5 5.938 3,0 201.898
6. Kebun karet 388 1,3 5.179 70,3 1.871 24,1 329 4,2 7.767
7. Kebun teh 0 0 4.047 36,8 6.910 63,0 14 0,1 10.971
8. Permukiman 36.222 78,5 8.050 17,4 1.697 3,7 190 0,5 46.159
9. Hutan 137 0,2 30.125 43,0 36.143 44,0 2.250 2,6 68.655
10. Hutan lindung 0 0 0 0 0 0 0 5.445
11. Tambak 0 0 0 0 0 0 0 20.900
12. Waduk 0 0 0 0 0 0 0 17.356
Jumlah 179.780 248.852 215.415 18.334 748.460
107
Wahyunto et al.,
Tipe penggunaan lahan yang mempunyai kelas rawan longsor sangat rendah
(zone 1) didominasi oleh sawah datar (88,7%), permukiman (78,5%), dan kebun
campuran (20,0%). Penggunaan lahan yang mempunyai tingkat kerawanan longsor
menengah (zone 3) berturut-turut adalah: semak belukar (61,0%), kebun teh (63,0%),
dan tegalan (48,6%). Sedangkan penggunaan lahan yang mempunyai tingkat
kerentanan tinggi didominasi oleh sawah berlereng (8,5%), kebun karet (4,2%), dan
semak belukar (3,4%).
Volume tanah longsor dan estimasi besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
membersihkan tanah longsor
Volume tanah yang longsor dihitung berdasarkan kelas rawan longsor dan kelas
lereng di wilayah lahan sawah dan nonsawah (tegalan, kebun campuran, permukiman,
perkebunan, dan hutan). Hasil pengukuran di daerah sampel (sesuai dengan kelas
lereng dan jenis penggunaan lahan) dijadikan dasar untuk memperkirakan volume
tanah yang longsor per satuan luas (m3/ha). Selanjutnya dengan mempertimbangkan
proporsi sebaran terjadinya longsor pada setiap jenis penggunaan lahan dapat
diperhitungkan volume tanah yang longsor yang lebih riil sesuai dengan kenyataan
lapangan. Sesuai dengan hasil kajian lapangan, wilayah sawah atau nonsawah
walaupun mempunyai potensi kerawanan longsor, namun tidak di semua wilayah
terjadi longsor, tetapi hanya pada tempat-tempat tertentu saja. Proporsi wilayah yang
longsor pada setiap unit penggunaan lahan atau kelas lereng hanya sekitar 5%.
Dengan demikian dalam kajian ini volume tanah yang longsor diperhitungkan sebesar
5% dari hasil perhitungan secara empiris. Volume tanah longsor di wilayah lahan
sawah dan nonsawah disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5. Estimasi volume tanah longsor di lahan sawah dan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk membersihkan longsoran tanah (berdasarkan kelas
kerawanan longsor)
Volume kelongsoran tanah Perhitungan Estimasi Biaya
hasil pengamatan lapangan kelongsoran tanah besarnya pembersihan tanah
di sample areas per ha, berdasar- longsoran longsor
Kelas Kerawanan Luas lahan Volume kan area-area tanah dalam
longsor yg longsor longsoran sampel kelas
tanah
(1) (2) (3) (4) = (2) x (3) (5) = (4) x 5% (6) =(5) x Rp.4
m2 m3 m3/ha m3/ha (x Rp1000)/ha
1. (sangat rendah)*) - - - - -
2. (rendah) 329 667 20.273 1.013 4.052
3. (menengah) 323 2.248 69.597 3.479 13.916
4. (tinggi) 1.224 10.340 84.447 4.223 16.892
Keterangan: *) volumenya sangat rendah dan petani/ pemilik tanah dianggap dapat membersihkan sendiri
- rata-rata area terjadinya kelongsoran tanah pada setiap kelas penggunaan lahan dan kelas lereng
teramati sekitar 5%
108
Description:memicu terjadinya longsor seperti: kemiringan lahan, tipe litologi, dan jenis multifunctional roles of agriculture and rural areas in Japan. Technical