ANTROPOLOGI YANG SELALU MENYEDERHANAKAN MASALAH SEJARAH Oleh Nyoman

16 Pages·2017·0.62 MB·Indonesian

ANTROPOLOGI YANG SELALU MENYEDERHANAKAN
MASALAH SEJARAH

Oleh Nyoman Wijaya

Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali,
Peneliti senior TSP Art and Science Writing

Penulis koresponden: [email protected]

Prolog

Hadirin yang mulia!!!
Saya yakin tak satu pun orang yang hadir di ruangan ini bukan orang
yang tidak mulia. Sekalipun mungkin ada yang kurang atau belum mulia
terutama jika dilihat dari sudut pandang kepentingan bangsa dan
negara, setidaknya hadirin sekalian pastilah orang yang paling mulia di
hadapan diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang terkasih.

Baiklah sebelum berlanjut,
Pertanyaan awal yang perlu saya lontarkan, apa motivasi
panitia memilih saya, seorang sejarawan untuk membedah, mengkaji,
meninjau ulang secara ilmiah karya Ngurah Suryawan, salah seorang
mantan mahasiswa saya, yang kini ‘menjelma’ menjadi ahli antropolog
yang terkenal di bumi Indonesia, Manuel Kaiseipo, ilmuwan besar
Indonesia yang sudah terkenal saat Suryawan baru lahir, sampai luluh
menabuh kata pengantar, memberikan sanjungan padanya. Jika sudah
demikian adanya, lalu pengetahuan apa yang bisa saya andalkan untuk
melaksanakan tugas ini?
Secara ringkas dan jelas panitia meminta saya untuk menyoroti
buku karya Suryawan dari sudut pandang sejarah. Rupanya jawaban ini
dikaitkan dengan tema seminar yang bertajuk “Memperkuat

 Artikel ini tidak dimaksudkan untuk melecehkan karya Antropolog,
melainkan sebuah latihan intelektual bagi saya pribadi sebagai seorang sejarawan yang
diberikan tugas khusus untuk membedah buku karya I Ngurah Suryawan, Papua Versus
Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya (Yogyakarta: Labirin 2017). Tugas khusus itu
datang dari orang-orang yang punya kuasa bicara dalam kepanitiaan Seminar Nasional
& Temu Alumni (Angkatan 1979-2012) dalam rangka 50 Tahun Jurusan Pendidikan
Sejarah FHIS Undiksha, yang berlangsung di Ruang Seminar FHIS Undiksha.
Keindonesiaan Melalui Reorientasi Pembelajaran Sejarah untuk
Menangkal Intoleransi dan Radikalisme di Era Global.” Lantas, apa yang
bisa saya petik dari buku karya Suryawan ini untuk dipakai meninjau
kembali pembelajaran sejarah. Ini tugas yang sangat berat karena akan
memaksa saya mencari dan menemukan nilai-nilai dan norma-norma
peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat dipetik dari buku ini supaya
layak dipakai untuk melakukan reorientasi terhadap pembelajaran.
Maafkan saya, selaku sejarawan akademis, bukan sejarawan pendidik,
yang dilatih untuk selalu bersikap kritis terhadap fakta, saya seobjektif
mungkin mengakui belum bisa memenuhi permintaan itu.

Antropologi di Mata Sejarawan

Hadirin yang mulia,
Pandangan sejarawan Prancis Denys Lombard boleh jadi bisa
disebut mewakili sejarawan dalam melihat antropologi. Dia berkata:

“Konsep sejarah mentalitas yang sedikit demi sedikit
dipertajam pengertiannya oleh para ahli peradaban Barat,
dapat dikatakan merupakan hal baru di bawah iklim negeri
ini, di mana kajian-kajian tentang agama-agama, seni dan
kesusastraan yang dulu dilakukan dengan sangat cermat,
cenderung digantikan oleh antropologi yang terlalu
menyederhanakan masalah atau ilmu politik yang
terlampau elementer.”1

Tentu bukan hanya sejarah mentalitas, selain itu masih banyak
konsep sejarah lainnya yang akan mengalami penyederhanaan seperti
itu jika sampai dikaji dari sudut pandang studi antropologi. Ada begitu
banyak konsep sejarah, antara lain sejarah sosial, pedesaan, ekonomi
pedesaan, wanita, kebudayaan, agama, politik, pemikiran, dan biografi.
Namun bukan berarti ilmu sejarah pasti dan lebih baik dibandingkan
antropologi, melainkan karena beda model.
Selain sosiologi, ilmu politik, dan ekonomi, antropologi termasuk
ke dalam model sinkronik dan sejarah diakronik. Sebuah model
sinkronis mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan

1 Denys Lombart, Nusa Jawa: Silang Budaya 1, terj. Winarsih Partaningrat,
Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayati Yusuf (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), p.
3.
tidak memikirkan terlalu banyak dimensi waktunya. Sedangkan model
diakronik lebih mengutamakan panjangnya lukisan dimensi waktu,
dengan sedikit saja luasan ruangan. Model sinkronik umumnya diawali
dengan menyajikan lingkungan material dan historis.
Dilanjutkan dengan sumber-sumber produksi, konsekuensi
dalam struktur ekonomi seperti masalah pembagian kerja, tukar
menukar barang, akumulasi barang, serta hubungan sosial yang muncul
karena latar belakang itu. Sementara model diakronis mengarah bukan
saja pada sebuah struktur dan fungsinya, tetapi juga gerak dalam waktu
dari kejadian-kejadian yang konkret, yang menjadi tujuan utama dalam
penulisan sejarah. Model diakronis akan menunjukkan ‘evolusi’ dari
sebuah bentuk budaya menghilangkan rekaan waktu nol. Model
diakronis akan menjadi pelengkap yang lebih sempurna bagi model
sinkronis.2
Jika memang ada tujuan untuk melengkapi karya Suryawan ini,
sebagai seorang sejarawan saya harus melakukan penelitian sendiri
dengan berpijak pada perubahan dan perpecahan budaya Papua. Topik
ini bisa dimasukkan ke dalam konsep sejarah kebudayaan. Sejarawan
yang hanya mengambil tema-tema kebudayaan, belum bisa disebut
sejarawan budaya, jika tidak menggunakan pendekatan atau metodologi
sejarah kebudayaan. Kebudayaan yang hanya dikaji dengan pendekatan
idealis hanya akan melahirkan pesan-pesan moral (the informing spirit).
Jika memakai pendekatan materialis yang akan muncul adalah
keseluruhan tatanan sosial (the whole of order), artinya produk estetik
dan intelektual diposisikan sebagai ekspresi dari kegiatan-kegiatan
sosial, bukan dominan kegiatan budaya dan spiritualitas seperti yang
secara panjang lebar diuraikan dalam buku yang dihimpun oleh Lynn
Hunt. Pendekatan materialis juga akan memberikan peluang bagi
sejarawan untuk melakukan sintesa tentang berbagai definisi
kebudayaan menurut berbagai disiplin.
Burckhardt salah seorang sejarawan kebudayaan, tidak saja
mengabaikan gaya tulisan kronologis-diakronik, tetapi juga tentang
evolusi ekonomi, politik, institusi keagamaan, perkembangan
intelektual, dan kegiatan-kegiatan artistik. Dia lebih suka membicarakan
‘jiwa’ dan ‘budaya’ Renaissance. Dia berusaha melukiskan kesenian,
agama, festivals, negara, mitos, puisi, dan bentuk ekspresi kejiwaan
lainnya dari kebudayaan ke dalam bagian yang berimbang dari kesatuan
yang menyeluruh.
Begitu banyak pilihan yang diajukan oleh Burckhardt, antara
lain. Pada saat membahas negara, dia hanya menguraikan sistem-sistem

2 Kuntowidjoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2003), pp. 43-44.
kenegaraan: tirani, dinasti, dan republik. Negara disebutnya sebagai
‘karya seni’ karena merupakan mekanisme yang dengan cermat
dibentuk dan dimanipulasi. Negara tak bisa dipisahkan dari budaya,
karena di satu sisi dia mendorong munculnya bentuk budaya dan di sisi
lain, bagian dari sebuah sistem budaya.
Burckhardt salah satu dari sekian banyak sejarawan yang
memperkenalkan model metodologi sejarah kebudayaannya. Selain dia,
masih banyak sejarawan kebudayaan lainnya yang karya-karyanya
perlu dicermati seperti Voltaire (1694-1778), Guizot (1787-1874),
Lamprecht (1856-1915), dan Huizinga (1872-1945). Jadi akan banyak
sekali model yang bisa dijadikan sebagai pedoman, sehingga akan
muncul berbagai wujud perubahan dan perpecahan Budaya Papua.
Lagi pula Papua bukan entitas tunggal, sebab Papua bukan
seperti Bali yang terdiri dari satu suku bangsa, melainkan 446 suku
bangsa, yang menempati sisi barat Pulau Papua atau disebut pula West
New Guinea. 3 Tak akan ada seorang pun sejarawan yang mampu
meneliti dan menulis sejarah kebudayaan yang bertema ‘perubahan dan
perpecahan budaya Papua’ di seluruh wilayah suku bangsa tersebut.
Jika pun mau dipaksakan, caranya adalah dengan menggunakan
pendekatan geokultural, bukan geopolitik. Karya Ngurah Suryawan ini
juga seperti itu, bahwa Papua yang dia maksudkan adalah Papua secara
geo-kultural, yakni orang-orang yang dipersatukan oleh kultural
Papuan. Jadi seperti dikatakan oleh Lombardi di atas, akan terjadi
penyederhanaan masalah.
Berdasarkan keterbatasan itu, ada baiknya saya ‘menari’ di atas
suara genderang yang ditabuh oleh Suryawan melalui Kata Pengantar
Manuel Kaiseipo.

Etnografi Gaya Clifoord Geertz

Manuel Kaiseipo dalam kata pengantarnya mengatakan, dari bab
pertama buku ini “Reproduksi Ilmu Antropologi dalam Perubahan Sosial
Budaya di Tanah Papua,” sudah bisa dibaca di mana posisi dan orientasi
keilmuan Suryawan sebagai seorang antropolog. Tentang hal ini
Suryawan menyatakan:

3 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_bangsa_di_Papua// diakses
tanggal 8 Juli 2017.
“Ilmu-ilmu humaniora (antropologi khususnya) berada di
tengah transformasi sosial di tengah masyarakat. Beriringan
dengan hal itu, kebudayaan dan masyarakat yang berada di
tengahnya juga akan terus berubah.” .............dan selanjutnya,
“salah satu yang akan terus berubah itu adalah imajinasi
(bayangan) masyarakat dalam memahami dan
mempraksiskan identitasnya dalam keseharian. Ilmu
humaniora, dalam konteks ini antropologi, memerlukan
pembaruan perspektif, metodologis, dan teori-teori dalam
memahami perubahan kebudayaan tersebut.”(p. 11)

Lebih lanjut Kaiseipo mengatakan dengan “meleburkan” dirinya
ke dalam masyarakat yang ditelitinya (melalui pendekatan inside-out
dan outside-in research), Suryawan bukan saja telah berusaha
mengetahui (to know) dan menjelaskan (to explain), melainkan juga
memahami (to understand), sehingga memungkinkan baginya untuk
melakukan tafsir makna (interpretation of meaning) atas masyarakat
dan kebudayaan Papua . (p.13)
Penegasan Suryawan seperti disebutkan dalam ‘kutipan
langsung’ di atas, menurut Kaiseipo sangat penting dan relevan bagi
Papua dalam upaya merintis pengembangan pendekatan baru
etnografis yang bukan saja lengkap (thick) tetapi juga mampu ke luar
dari bias kolonialisme, orientalisme, dan Eurosentrisme. Lebih dari itu
mampu keluar dari “pemikiran yang terbelenggu” (the captive mind)
yang menimbulkan ketergantungan akademis kepada semua teori dan
paradigma Barat tanpa sikap kritis. (p.13)
Atas dasar itu, Kaiseipo menilai buku karya Suryawan ini
berbeda dengan kajian antropologis konvensional pada umumnya.
Kajiannya terasa sangat dekat dengan paradigma yang dikembangkan
oleh Geertz. Menurut Geertz, ketika mengamati realitas sosial suatu
masyarakat, seorang ilmuwan hendaknya tidak hanya sekedar melihat
hubungan kausal, melainkan juga berusaha memahami dan menafsirkan
makna dalam kebudayaan masyarakat tersebut. Cara ini bisa dilakukan
jika peneliti bukan hanya mampu menjaga jarak objektivitas, tetapi juga
mampu “melebur” ke dalam masyarakat yang ditelitinya (inside-out dan
outside-in research). Aspek terakhir ini, menurut Kaiseipo, dilakukan
dengan baik oleh Suryawan yang sejak tahun 2009 telah melakukan
berbagai penelitian antropologis etnografis di beberapa daerah di
Papua. (p. 10)
Suatu hal yang aneh, sekalipun Kaiseipo telah menyebut karya
Suryawan sangat dekat dengan paradigma Geertz, namun seperti dapat
dilihat dalam daftar pustakanya, tidak satupun karya antropolog asal
Amerika Serikat ini dikutip sebagai referensi. Geertz berada dalam dua
posisi berlawanan di mata sejarawan. Sejarawan Suzanne Desan sampai
mengajak sejarawan budaya mengembangkan perbedaan yang lebih
mendalam antara masyarakat dan ritual. Sejarawan juga wajib memiliki
kepekaan untuk mengetahui bagiamana masyarakat menggunakan
ritual untuk menopang posisi mereka. Di matanya, Geertz adalah
antropolog yang paling unggul dalam hal ini, sehingga karyanya banyak
dikutip oleh sejarawan untuk memperluas wawasannya. Robert
Darnton seorang pengagum Geertz, mengatakan sejarah budaya
menurutnya adalah sejarah dalam perkembangan etnografi. Oleh karena
itu sejarawan budaya dituntut menguasai ilmu penafsiran agar mampu
memahami makna yang dicetuskan oleh zamannya, sebab sejarawan
budaya dituntut lebih banyak menguraikan makna daripada hukum
penjelasan kausalitas. 4
Berbeda dengan Darnton, Roger Chartier menggugat penafsiran
Geertz karena cenderung mentiadakan perbedaan dalam penilaian atau
manfaat bentuk budaya. Dorongan untuk melihat struktur dan makna
saja, menurut Chartier akan mengaburkan adanya konflik dan
perjuangan. Demikian pula halnya dengan Aletta Biersack yang
mengkritik Geertz dan mengajak sejarawan memikirkan kembali
struktur dan peristiwa atau struktur dan sejarah. Chartier mengajak
sejarawan budaya untuk tidak menggantikan teori reduktif budaya
sebagai pemantul realita sosial dengan asumsi reduktif yang serupa
karena ritual dan bentuk lain tindakan simbolis mengungkapkan makna
penting yang terpadu secara komunal. Sejarawan tidak boleh lupa
bahwa naskah akan selalu mempengaruhi pembaca dengan berbagai
cara. Chartier mengingatkan, dokumen yang menggambarkan tindakan
simbolis masa lalu tidaklah selalu naskah yang tanpa cela dan terbuka.
Naskah-naskah itu ditulis dengan berbagai taktik dan tujuan. Oleh
karena itu sejarawan budaya harus menyusun strategi untuk
membacanya. Dibutuhkan sikap yang selalu kritis saat menghadapi
dokumen seperti itu, dengan cara senantiasa melakukan kritik, yang
merupakan fondasi metoda sejarah. 5
Chartier juga mengajak para sejarawan budaya untuk menyadari
sepenuhnya, bahwa ada perbedaan antara konsep yang mereka gunakan
dengan yang digunakan masyarakat yang dikajinya. Dalam hal ini,
Geertz pernah mengatakan tidak mungkin mengalami dunia seperti

4 Bagian ini diambil dari Suzanne Dezan, “Crowds, Community, and Ritual in
the Work of E.P Thompson and Natalia Davis,” dalam Lynn Hunt (ed.), The New Cultural
History (Barkeley: University of California Press, 1989), pp. 47-71.
5 Bagian ini diambil dari Roger Chartiers, “Teks, Printings, Readings” dalam
Lynn Hunt (ed.), The New Cultural History (Barkeley: University of California Press,
1989), pp. 47-71.
yang dialami orang lain, namun demikian ada kemungkinan untuk
mempelajari konsep yang mereka gunakan. Geertz lalu membuat
perbedaan antara konsep yang digunakan orang pribumi dan konsep
yang dibuat oleh para pengamat. Dengan mengikuti Heinz Kohut, dia
menyebut konsep pertama sebagai “pengalaman dekat” (experience-
near) dan konsep kedua sebagai “pengalaman jauh” (experience-distant).
Seorang ahli etnografi yang sudah berpengalaman akan dengan leluasa
menggunakan keduanya, namun tugas ini tidaklah mudah seperti yang
dibayangkan.
Menurut Geertz, untuk memperoleh pemahaman yang benar
tentang budaya lain, terlebih dahulu harus dicapai pemahaman yang
memadai tentang wacana mereka. Dengan cara seperti itu, akan bisa
diperoleh informasi tentang konsep yang mereka gunakan sebagai dasar
untuk memandang dunia. Akan tetapi pada saat menafsirkan tingkah
laku seseorang, Geertz kadang-kadang melupakan pemahaman itu,
sehingga serta merta hanya menerapkan konsep dari teori modern.
Cara kerja seperti itu yang menyebabkan Geertz menuai kritik.
Salah seorang pengeritiknya bernama Vuincent Crapanzano
yang berkomentar mengenai penafsiran Geertz atas aktivitas adu ayam
Bali. Geerts dikritik karena dia tidak mampu memberikan bukti saat
mengatakan semua jenis pengalaman, makna, tujuan, motivasi, disposisi
dan pemahaman tentang adu ayam berasal dari Bali. Kritik Crapanzano
terhadap Geertz memberikan pemahaman bahwa sejarawan budaya
harus memberikan bukti atas analisisnya mengenai makna sosial dari
ritual suatu kelompok masyarakat yang ditelitinya. Sejarawan budaya
juga harus piawai membedakan konsep yang berasal dari dalam diri
subjek penelitian dengan konsep yang berdasarkan teori sosial.
Akhirnya muncul Volker Gottowik yang ingin membuktikan benar
tidaknya kritikan yang ditujukan kepada Geertz. Dia bekerjasama
dengan I Gusti Ngurah Bagus untuk menjawab sebuah pertanyaan:
kritik jenis apa yang diajukan para intelektual Bali terhadap deskripsi
etnografik budaya Bali; dan kepentingan apa yang seharusnya
dilekatkan dari kritik ini dalam proses penelitian etnografi? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Volker mengadakan seminar di
Universitas Udayana mulai Maret hingga Juni 1997. Selama rangkaian
acara ini, dia membahas teks etnografik klasik tentang Bali dengan
mahasiswa dan dosen-dosen Bali dalam sebuah seminar. Dalam seminar
ini, otoritas universitas memilih mahasiswa Program Studi S2 Kajian
Budaya. Ini adalah program pascasarjana yang memfokuskan pada soal
ilmu budaya, yang memiliki 26 peserta yang berasal dari berbagai
fakultas dari seluruh Indonesia.
Volker dan Ngurah Bagus mengadakan analisis teks karya
Clifford Geertz dengan mahasiswa-mahasiswa itu. Mereka memilih
“Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight’ {1972}. Dalam sastra
etnografi klasik ini, Geertz menggambarkan budaya Bali dari sudut
pandang penduduk asli. Mereka membahas pernyataan ini dalam 12
pertemuan, dengan membaca “Deep Play” paragraf demi paragraf dan
membahas pernyataan Geertz tentang budaya Bali dan apakah
mahasiswa dan dosen Bali juga akan membuat pernyataan seperti itu
tentang budaya mereka. Untuk mengatasi kesulitan bahasa satu sama
lain, mahasiswa diminta membaca terjemahan Indonesia teks ini. Dalam
kasus tunggal, pembahasan penerimaan kontroversial dilakukan dalam
Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, bahasa asli teks, yaitu bahasa
Inggris, disertakan selama seminar itu. Seminar itu didasarkan pada
gagasan timbal-balik. Pada satu sisi, Volker ingin memberikan akses
pada teks etnografi tentang Bali kepada mahasiswa, yang ditulis dari
tradisi intelektual yang berbeda, intelektual Barat. Di sisi lain, dia ingin
belajar dari para mahasiswa itu tentang bagaimana mereka membaca
dan memahami sebuah teks, yang ditulis dari sudut pandang tak lazim
mengenai sesuatu hal yang sudah mereka kenal dengan baik.
Ringkasnya, meskipun kelompok mahasiswa Bali heterogen
(mereka datang dari desa dan kota, tua atau muda, Kristen atau Hindu,
pecandu sabungan ayam, yang sangat tidak tertarik dengan tontonan
yang penuh keriangan ini), tetapi mereka membaca teks dengan cara
berbeda dengan mahasiswa dari bagian desa yang lain. Bagi kelompok
yang terakhir ini, fenomena sabung ayam Bali yang digambarkan dalam
teks juga merupakan hal yang asing; jadi mereka memiliki masalah
pemahaman yang serupa dengan etnografer Barat. Meskipun demikian,
sikap mahasiswa Bali lebih kritis. Agar tepat, mereka mendapati
pertanyaan itu diajukan dalam teks Geertz dan perdebatan itu menjadi
terlalu khusus (di Bali ada banyak hal yang lebih penting dari sabung
ayam) atau terlalu melakukan generalisasi (di kampung saya beda) atau
terlalu dangkal (Geertz tidak dapat menjelaskan mengapa juru sembuh
saya menyarankan untuk membiarkan ayam saya lebih sering bertarung
agar meningkatkan kesehatan anak saya).
Jika memang benar Suryawan mengacu pada gaya etnografi
Geertz, semestinya dia menyediakan ruang khusus untuk menjelaskan
cara-cara menghadapi para pengeritik Geertz. Bagaimana caranya
keluar dari kritikan tersebut. Menegakkan batasan-batasan studi,
kiranya sangat diperlukan seperti yang dilakukan oleh Frans Magnis-
Suseno dalam bukunya Etika Jawa. Dia memberikan batasan
menyangkut apa yang dimaksudkannya dengan ‘orang Jawa,’
masyarakat Jawa,’ dan etika.6 Lalu apa yang dilakukan oleh Suryawan,

6 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaam Hidup Jawa (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
mengingat bukan hanya suku bangsanya yang banyak, tetapi juga
bahasanya, mencapai 300.7

Epilog
Membaca karya Suryawan Papua versus Papua sekalipun tidak
sama persis, dalam batas-batas tertentu bagaikan ‘mendengarkan’
kutipan wawancara media ‘Kontinum’ dengan Victor Yeimo, juru bicara
Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB),8 sebagai berikut.
Bagi mereka masalah di Papua adalah permasalahan tentang kejahatan
negara dan korporasi, kekerasan militer, perusakan alam, genosida dan
pemusnahan kultur lokal. Isu Papua dalam pandangan mereka adalah
juga menjadi isu nasional di Indonesia yang tidak kunjung selesai.
Banyak warga asli dibunuh dan disiksa, untuk memapankan pengerukan
kekayaan alam tanah Papua oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia
bersama sekutu terdekatnya: pemerintah. Mereka menyebut
pemerintah memakai alasan konstitusi, logika persatuan nasional
maupun pandangan sempit nasionalisme ke-Indonesia-an sebagai
landasan pembenar penindasan dan kejahatan atas masyarakat dan
tanah Papua. Akan tetapi di tengah-tengah suasana yang represif yang
tetap berkelanjutan itu, rakyat Papua tetap berjuang dengan gagah
berani, situasi dan pandangan dari gerakan perjuangan di Papua.
Dalam wawancara itu Yeimo, antara lain mengatakan, situasi
terkini Papua masih diwarnai pelanggaran hak azasi manusia (HAM)
masyarakat sipil yang dilakukan oleh TNI/Polri. Di sisi lain, setelah
pemberlakuan ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA) investasi
global semakin membengkak. Sebagian besar investornya berasal dari
negeri Tiongkok yang pada enam bulan terakhir sudah mengalami
peningkatan sebanyak 28%. Demi investasi itu, seperti tercantum dalam
Jurnal Nasional (16 Mei 2011: 1) Yeimo mengatakan, Presiden SBY
sampai melontarkan instruksi supaya Kapolri dan Panglima TNI
mengamankan Papua.
Dengan mengutip sebuah sumber lain, tabloidjubi.com, Yeimo
menyebutkan di sela-sela itu terjadi pula kasus pemogokan buruh PT.
Freeport. Peristiwa ini menyatu dengan semakin meriahnya aksi bisnis

7https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bahasa_di_Papua// diakses tanggal 9
Juli 2017.
8 Bagian ini sepenuhnya diambil dari hasil wawancara ‘Kontinum’ dengan
Victor Yeimo yang diakses pada hari Sabtu tanggal 8 Juli 2017 melalui
http://www.kompasiana.com/ragamtop/kutipan-wawancara dengan-jubir-int-komite-
nasional-papua-barat-knpb_550ac5bb813311cf14b1e20b/tanpa kritik sumber baik
secara ekternal maupun internal.
liar di kalangan TNI/Polri antara lain illegal logging, pendulangan emas,
pemasokan pekerja seks dari luar Papua, dan bisnis kayu gaharu.
Sementara tindakan-tindakan refresif yang dilakukan oleh militer untuk
membungkam gerakan demokrasi semakin menguat. Gerakan-gerakan
itu disebut dengan berbagai istilah, seperti separatis, teroris, dan
pengacau. Rakyat Papua tidak berdaya menghadapi kekuatan militer
seperti itu. Sementara uang yang mengucur dari investasi begitu
menggiurkan, sehingga banyak yang tidak ingin lagi bergabung dengan
gerakan perlawanan.
Sekalipun demikian rakyat masih terus mempersoalkan sejarah
integrasi Papua dalam NKRI yang dinilai penuh dengan rekayasa
Amerika Serikat, Indonesia, dan Belanda. Oleh karena itu Yeimo
menyerukan supaya rakyat terus merapatkan barisan perlawanan.
Bukan hanya soal integrasi, Yeimo juga mengatakan rakyat Papua
menolak campur tangan Jakarta dalam kehidupan sehari-hari dan
menentukan nasib sendiri, karena mereka memakai pola pendekatan
militeristik, eksploitatif, pembodohan, dan melakukan marginalisasi.
Sudah sejak lama Jakarta menganggap orang Papua sebagai manusia
kelas dua, manusia yang mendekati binatang.

“Lantas dengan demikian mereka melanggar aturan
yang mereka buat sendiri. Tidak konsisten pada
aturan dan segala kebijakan. Kebijakannya juga ‘bias
pendatang’. Makanya rakyat lebih berfikir mengatur
diri sendiri. Banyak orang Papua berfikir melalui
segala pengalamannya bahwa Indonesia di Papua
Barat hanya untuk memusnahkan orang Papua dan
menguasai wilayah ini.”

Demikianlah, sebagian kecil kutipan wawancara media
‘Kontinum’ dengan Victor Yeimo, yang sisi-sisinya terbaca dalam karya
Suryawan. Tulisan model ini dengan sendirinya telah menyederhanakan
permasalahan karena secara determistik melihat perubahan dan
perpecahan budaya Papua hanya dari luar. Sebagai seorang antropolog,
semestinya Suryawan juga melihat dari ‘dalam’ dengan mengajukan
pertanyaan sejauh mana budaya lokal ikut berpengaruh terhadap
perubahan dan perpecahan budaya Papua.
Semestinya pula Suryawan mendalami budaya masyarakat
Papua, salah satunya dapat dilihat pada suku Asmat, yang disebut-sebut
ikut berpengaruh pada munculnya aksi kekerasan terhadap perempuan.
Laki-laki Asmat diasosiasikan dengan budaya dan perempuan dan alam.
Perempuan dijauhkan dari budaya dan pada akhirnya mendekatkan