Table Of ContentKesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19:
Pertikaian Dalam Kesultanan
Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat, SS, M.Hum
Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstract
The foreign of influence always intervened in Banjarmasin sultanate, which at that time
was experiencing a chronic internal discord notably in the sultanate family due to
hatred, envy, greed and the power thirst on them. Then there were also political
conspiracies leading to the number of murders in that time. All this was happening in
Banjarmasin sultanate, for example, in the 19th century of hostility between Prince
Hidayatullah and Prince Tamjidillah. In this hostility, there was a very deep
intervention of the East Dutch government in the sultanate, since the East Dutch
government was deeply concerned about the sultanate's richness of coal mines and
other natural resourses.
This paper covers the era of the East Dutch government in the 19th century, which, of
course, the source coming from the Netherlands is used. The primary sources are the
documents or the archives, such as Kolonial Verslag, Memorie Van Overgave, journey
reports and others. The local sources are the tale scripts, the pedigree, kroniek and the
contemporary books. Also used as the secondary sources are the researches that
support and the researches of community academic’s result. How to use them is by
using historical method which is begun with the research of the source (heuristics), and
then continues on criticizing or selection of the sources. Afterward, the sources are
interpreted and analyzed before moving into the writing of history (historiography) as
the final step.
Keywords: Hidayattullah, Tamjidillah, Banjarmasin sultanate, the East Dutch
government
Pengaruh asing selalu ikut campur dalam Kesultanan Banjarmasin, yang
mengalami pertentangan internal yang kronis, terutama di antara anggota keluarga
sultan, kebencian, iri hati, ketamakan dan lapar kekuasan. Terbentuk intrik-intrik atau
persekongkolan politik merupakan sebab terjadinya pembunuhan. Hal ini terjadi dalam
sejarah Banjarmasin misalnya Pangeran Samudra melawan Pangeran Tumenggung
(Pamannya) pada abad ke-16, Pangeran Amir melawan Penembahan Nata pada abad ke-
18, pada abad ke-19 Pangeran Hidayatullah berseteru dengan Pangeran Tamjidillah.1
1 J.J. Ras, Hikayat Banjar, (Leiden; The Hague-Martinus Nijhoff, 1968); Lihat juga E.B. Kielstra, De
Indische Archiepel. Geschiedkundige Schetsen (Harlem, 1917); Lihat juga E.B Kielstra, “De 0ndregang
van het Bandjermasinsche Rijk, “ I.G. II (1890), hal 2389-2390.
243
Dalam persetuan antara Pangeran Hidayatullah dengan Pangeran Tamjidillah, terjadi
campur tangan pemerintah Hindia Belanda, yang sangat mendalam pada pemerintahan
kesultanan.
1. Perebutan Jabatan Mangkubumi
Pada tahun 1825 Sultan Sulaiman meninggal dunia dan digantikan anaknya,
yang bernama Sultan Adam Alwasih Billah. Puteranya yang sulung, Pangeran
Abdurahman, diangkat menjadi putera mahkota dengan gelar Sultan Muda
Abdurahman. Sultan Adam amat dihormati rakyatnya karena sifatnya yang lemah
lembut dan kasih sayang terhadap lingkungannya. Sifat baik ini tidak didukung oleh
watak kepribadiannya yang kuat hingga ia jatuh ke bawah pengaruh isterinya dan tidak
mampu menguasai keluarga dan pemerintahan. Istrinya Nyai Ratu Komala Sari, anak
rakyat bisa dari Amuntai, Nyai ini menguasai pemerintahan, kekayaan dan cap
kesultanan sampai Sultan Adam Alwasih Billah meninggal dunia.
Perselisihan dalam kesultanan terus-menerus berkembang, karena rival dari
mangkubumi yaitu Prabu Anom mengadakan intrik untuk merebut jabatan
mangkubumi, yang merupakan jabatan tertinggi sesudah sultan. Biasanya dipilih dari
putra atau keluarga raja. Sedangkan untuk jabatan putra mahkota, yang bergelar sultan
muda, telah diangkat putra tertua sultan Adam, yaitu Sultan Muda Abdurahman. Ia
berhubungan dengan seorang putri Cina, yang bernama Nyai Aminah (Nyai Damang)2
yang dijadikan selir. Dari hubungan ini lahirlah Pangeran Tamjidillah pada tahun 1817,
yang merupakan anak tertua, kemudian lahir pula anak-anak yang lain.3 Kakek dan ayah
Sultan Muda Abdurahman tak setuju melihat hubungannya dengan selir Cina tersebut.
Oleh sebab itu, mereka menikahkan Sultan Muda Abdurahman dengan seorang putri
bangsawan keturunan raja, yang bernama Putri Siti. Ia adalah putri dari kakak sultan
Adam yaitu, Pangeran Mangkubumi Nata (mangkubumi yang meninggal pada tahun
1842, kemudian jabatan mangkubumi digantikan oleh Ratu Anom Mangkubumi
Kencana/putra Sultan Adam)4. Putri inilah yang kemudian dijadikan permaisuri, yang
melahirkan Pangeran Hidayatullah pada tahun 1822, dan dua putri lainnya, yaitu Ratu
Syarif dan Ratu Jaya Kasuma.5
Sultan Muda Abdurahman sangat memanjakan selir dan putranya yang tertua,
sedangkan permaisuri dengan putra-putra yang lain diabaikan. Misalnya dalam hal
pemberian tanah lungguh,6 Sultan Muda Abdurahman memberi tanah lungguh kepada
Tamjidillah secara berlebih-lebihan antara lain daerah Alua, Takaran, Taramatan,
2 Sebutan “Nyai” bagi istri sultan, karena berasal dari rakyat kebanyakan , tetapi jika keturunan raja
disebut “Ratu” yang disahkan dengan undang-undang kesultanan. Permaisuri yang melahirkan putra
mahkota atau melahirkan raja, yang berasal dari rakyat biasa disebut “Nyai Ratu,” untuk membedakan
tingkatannya lebih tinggi dari “Nyai” misalnya, terhadap ibu dari Sultan Adam adalah Nyai Ratu Intan
Sari dan ibu dari Sultan Muda Abdurahman adalah Nyai Ratu Kamala Sari. Ibu dari Pangeran
Tamjidillah tetap disebut “Nyai,” karena yang berhak menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah,
bukan Pangeran Tamjidillah, lihat Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 21.
3Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 12.
4Kiaibondan, Suluh Sejarah Kalimantan, h, 33
5Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, , h. 10.
6 Tanah lungguh = tanah apanage adalah tanah pinjaman dari raja yang seluruh hasilnya boleh dipungut
oleh orang yang diberi pinjaman.
244
Amandit, dan Alai, serta tambang emas dan intan di sekitar daerah-daerah tersebut,
yang sudah lama dikelola oleh Tamjidillah.7
Di samping itu Pangeran Tamjidillah menggunakan pengaruh ayahnya untuk
mengambil hak saudara-saudaranya dalam memperkaya diri sendiri, dan juga untuk
menguasai kesultanan dengan intrik-intriknya, Ia juga mengincar jabatan mangkubumi
tersebut, bahkan pada tahun 1850 ia berusaha menggeser mangkubumi, tetapi tak
berhasil.8
Walaupun Nyai Aminah (selir) mendapat perhatian yang berlebihan dari sultan
Muda Abdurahman, ia tetap tak senang terhadap permaisuri yang berasal dari keturunan
raja, apalagi karena permaisuri melahirkan Pangeran Hidayatullah. Ia khawatir tentu
putranya tersisihkan dalam penggantian raja, karena yang berhak menggantikan raja
menurut adat kebiasaan kerajaan harus seorang putra mahkota, yang adalah keturunan
raja dari kedua belah pihak orang tuanya.9
Pengaruh selir ini cukup besar terhadap Sultan Muda Abdurahman, seperti
halnya Nyai Ratu Kamala Sari terhadap Sultan Adam. Oleh sebab itu, antara permaisuri
dan selir Sultan Muda Abdurahman ada kebencian dan fitnah memfitnah. Demikian
pula halnya antara kedua putra mereka yaitu, Hidayatullah dan Tamjidillah. Ini akibat
dari tindakan mereka yang kurang bijaksana dalam keluarga. Ratu Siti dan putranya
kemudian memisahkan diri dari Sultan Muda Abdurahman dan minta perlindungan
kepada mertuanya, Sultan Adam, dan Sultan Adam menempatkan mereka di kediaman
Ratu Keramat (seorang putri dari Sultan Adam) di Martapura. Kemudian Hidayatullah
dan ibunya pindah ke Karang Intan (disebut juga Riam Kanan), yang merupakan salah
satu dari tanah lungguh yang diberikan ayahnya, tanah lungguh yang lain adalah Riam
Kiwa (disebut juga Pengaron). Di sana ia hidup terasing dengan berburu, dan kurang
dikenal orang-orang Belanda dalam pergaulan sehari-hari.10 Hidayatullah bersifat
ramah-tamah, berbudi luhur, dekat dengan rakyat dan penganut Islam yang baik.
Sedangkan Pangeran Tamjidillah, yang berdiam di Banjarmasin, sifatnya sangat akrab
bergaul dengan pejabat-pejabat Belanda, senang bersuka-ria dengan pesta yang
memabokkan, kurang dekat dengan rakyat, dan bukan penganut Islam yang baik,
sehingga ia tak disukai rakyat. Ia juga sering membantu tugas-tugas mangkubumi dalam
berhubungan dengan Belanda, karena pergaulannya yang erat dengan Belanda
tersebut.11
Pada bulan September 1851 mangkubumi Ratu Anom Mangkubumi Kecana
meninggal dunia. Residen atas nama Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai pejabat
mangkubumi. Alasannya adalah karena politik Belanda yang ingin menguasai seluruh
daerah tambang batu bara, yang terdapat di Martapura, dengan surat rahasia yang
diberikan kepada Residen Van Hengst di Batavia. Isi surat tersebut menyatakan, bahwa
selama kesultanan Banjarmasin menepati janji-janji yang ada dalam kontrak dan tidak
7 Missive residen Bandjermasin van 15 April 1852, l s II geheim. In beskuit 10 Juni l c I, Arsip Nasional
Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
8 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik
Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
9Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 12.
10Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, h. 11.
11Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik
Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh
Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35.
245
menghalangi kemajuan pertambangan batu bara, maka Belanda akan menjalankan
politik bersahabat dan melindungi. 12
Melalui Tamjidillah sebagai penguasa kesultanan akan memperlancar politik
Belanda tersebut. Karena sifat dan janji-janji dari Tamjidillah akan memberikan daerah-
daerah yang dituju Belanda, asalkan Belanda berhasil mendukungnya menjadi penguasa
ksultanan.13
Atas tindakan Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai pejabat mangkubumi
ditentang oleh Prabu Anom dan Sultan Adam. Prabu Anom merasa barhak untuk
jabatan tersebut atas dasar putra sultan, dan senior. Sedangkan Sultan Adam menentang
pengangkatan tersebut atas dasar karena Tamjidillah bukan keturunan raja, dan dia
mengusulkan Prabu Anom untuk jabatan tersebut. Namun demikian. Belanda tetap pada
pendiriannya, karena beranggapan bahwa Prabu Anom tak pantas untuk jabatan
tersebut. Atas dasatr Prabu Anom kejam, karena menaikan segala macam pajak di
daerah lungguhnya antara lain, daerah Campaka, Tamirung (di sekitar Martapura).
Akibatnya rakyat menderita dan membencinya.14 Dalam hal ini tentu saja Belanda
condong kepada yang menguntungkan yaitu, Tamjidillah. Maka pada tanggal 21
September 1851 Pangeran Tamjidillah dilantik sebagai pejabat mangkubumi oleh
residen atas nama Belanda dalam suatu upacara yang dihadiri oleh para pembesar
kesultanan, penguasa pribumi dan para alim ulama.15
Ternyata jabatan mangkubumi diperebutkan oleh Prabu Anom putra Sultan
Adam yang keempat, dan seharusnya memang Prabu Anomlah yang berhak menjadi
mangkubumi kesultanan menurut adat yang berlaku di Kesultanan Banjarmasin, apalagi
Prabu Anom didukung oleh Sultan Adam. Tetapi karena Belanda sudah sangat
mencampuri urusan dalam negeri kesultanan dan kesultanan tidak berdaulat lagi. Maka
dengan mudah Belanda mengangkat mangkubumi kesultanan, yang menguntungkan
baginya, sesuai dengan perjanjian tahun 1826. Dengan demikian Belanda mengangkat
Pangeran Tamjidillah (putra dari seorang selir) sebagai mangkubumi Kesultanan
Banjarmasin pada tahun 1851.
2. Perebutan Jabatan Putra Mahkota
Setelah sekitar 6 bulan Pangeran Tamjidillah memangku jabatan tersebut, tiba-
tiba putra mahkota Sultan Muda Abdurahman wafat pada tanggal 5 Maret 1852. Sultan
Muda tersebut diduga diracun oleh ibunya (Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari) dan
saudara kandungnya (Prabu Anom).16
12 Arsip Nasional Republik Indonesia, surat tgl 29 September 1849, zeer. Geh. Kab. La B., dikutip oleh
M.Idwar Saleh, Pangeran Antasari, (Jakarta: P.D.K., 1982/11983), h, 12.
13 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik
Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
14 W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme,
1867), h. 12; Lihat juga Kiaibondan, Suluh Sejarah Kalimantan, h. 34.
15 Verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note,
Borneo Z & O 1850 No. 140.
16 W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem; D.A. Thieme,
1867), h. 36; Alasan Prabu Anom adalah karena ia berambisi sekali untuk berkuasa di Kesultanan
Banjarmasin. Untuk tujuan itu, ia membujuk ibunya (Permasiuri Nyai Ratu Kamala Sari) agar
mendukungnya dalam menyingkirkan rival-rivalnya, anatar lain Sultan Muda Abdurahman.
246
Dalam tahun 1852 tersebut ada tiga calon yang ingin menjadi putera mahkota
yaitu: a). Pangeran Prabu Anom, adik bungsu almarhum Sultan Muda Abdurahman.
Sebagai calon putera mahkota, kedudukannya tidak terlalu kuat. Karena semenjak kecil
ia terbiasa dimanjakan orang tua, setelah besar ia amat angkuh, suka memeras dan
menindas rakyat. Ia leluasa berbuat sesuatu, hanya karena rakyat segan terhadap Sultan
Adam dan ibunya. Satu-satunya penyokong untuk menjadi putera mahkota hanyalah
ibunya; b). Pangeran Hidayatullah adalah calon kedua, kedudukannya sebagai putera
mahkota pengganti ayahnya kuat sekali. Ia diberi nama dengan nama Hidayatullah.
Sebuah kraton Banjarmasin menyebutkan bahwa calon putera mahkota harus diberi
nama raja terdahulu (misalnya dengan nama Sultan Hidayatullah,adalah sultan yang
ketiga). Ibunya adalah seorang ratu keturunan raja. Dari segi turunan bapak dan ibu,
serta anak laki-laki sulung menurut tradisi ia berhak menjadi putera mahkota. Tiga
orang sultan Banjarmasin dari Susuhunan Nata Alam sampai dengan Sultan Adam
kawin dengan rakyat biasa. Ini menyalahi tradisi keraton yang berlaku, karena itu Sultan
Sulaiman memerintahkan kepada Sultan Muda Abdurahman untuk kawin dengan Ratu
Siti, anak Pangeran Mangkubumi Nata, dan kemenakan Sultan Adam sendiri. Antara
Sultan Sulaiman (kakak), Sultan Adam (ayah), Pangeran Mangkubumi Nata (mertua)
dan orang-orang besar kerajaan, terdapat persetujuan, bahwa anak laki-laki sulung yang
lahir dari perkawinan ini akan menjadi raja pengganti sultan ayahnya. Demikian maka
Pangeran Hidayatulah, yang lahir tahun 1822, dianggap sebagai calon putera mahkota
yang akan datang. Karena selama hidupnya Sultan Muda Abdurahman amat
dipengaruhi oleh selir orang Cina, Nyai Aminah. Ia hidup di tanah lungguhnya di
Karang Intan. Di Karang Intan ia menghabiskan waktunya dengan berburu, dan kurang
dikenal oleh orang-orang Belanda di Banjarmasin dalam pergaulan sehari-hari.
Sikapnya terhadap bawahannya, baik sekali, sikap suka berkorban untuk orang lain,
ramah dalam pergaulan dan amat disenangi rakyat; c). Calon ketiga adalah Pangeran
Tamjidillah. Pangeran Tamjidillah lahir dari ibu seorang selir Cina, Nyai Aminah.
Ayahnya amat memanjakannya, sehingga sifatnya menjadi angkuh dan penindas
terhadap rakyat jelata, licik dan tamak. Hampir semua kekayaan Sultan Muda
Abdurahman akhirnya jatuh ke tangannya. Ia suka bergaul dengan Belanda. Karena
pergaulan dengan Belanda ia menjadi peminum dan pemabok, sehingga dia tidak
disukai rakyat, golongan bangsawan dan ulama.17
Jabatan Putra Mahkota, ini merupakan jabatan untuk menggantikan sultan,
karena Putra Mahkotalah yang nantinya menjadi sultan. Tugasnya adalah membantu
raja (sultan) dalam melaksanakan pemerintahan. Sebagai kesultanan yang di bawah
pengawasan Belanda, maka untuk jabatan tersebut Belanda ikut berperan dalam
menentukannya.18
Setelah jabatan tersebut kosong dengan kematian Sultan Muda Abdurahman
secara tiba-tiba, maka jabatan tersebut menjadi ajang perebutan di antara 3 orang
keluarga raja yaitu, pertama oleh Prabu Anom, kedudukannya tidak terlalu kuat, sejak
kecil biasa dimanja orang tua. Sudah dewasa amat angkuh suka memeras dan menindas
rakyat. Ia dapat bertindak leluasa, karena rakyat segan terhadap sultan. Pendukungnya
adalah Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, Kedua oleh Pangeran Tamjidillah
Pendukungnya adalah Belanda dan surat yang ada di tangannya dari almarhum ayahnya,
untuk mengisi jabatan tersebut, pengganti ayahnya. Tetapi Dewan Mahkota dan rakyat
17 Saleh. Sedjarah Bandjarmasin, h. 97-99
18 Surat-surat Perjanjian, h. 228-247
247
tak mendukungnya. Ketiga oleh Pangeran Hidayatullah, ia mendapat dukungan dari
Sultan Adam, Dewan Mahkota, dan rakyat, sehingga kedudukannya kuat sekali. Sultan
Adam mencalonkannya sebagai putra mahkota, dan mengusulkan kepada Belanda.
Belanda melalui Residen Zuid-en 0osterafdeeling van Borneo, Van Hengst, yang
menggantikan Residen Gallois pada tahun 1851, sangat menentang usul Sultan Adam
tersebut. Alasan yang dikemukakan Van Hengst adalah, bahwa Pangeran Hidayatullah
tidak pernah berkunjung ke Banjarmasin dan tertutup dalam pergaulannya dengan
orang-orang Eropa. Juga dikatakan bahwa ia selalu mengasingkan diri, dan selalu
mengutamakan kesenangan pribadi dengan jalan berburu dan menunggang kuda.
Karena ia mengabaikan panggilan residen, maka ia dianggap melawan Belanda.19 Juga
Belanda menolak usul Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari agar Prabu Anom menjadi
putra mahkota, dengan alasan Prabu Anom kejam tak disenangi rakyat.20
Arah untuk Pangeran Tamjidillah menjadi penguasa sudah terang, karena ia
mendapat dukungan yang kuat dari Residen Van Hengst. Walaupun sebenarnya
menurut adat kebiasaan, ia tak memenuhi syarat untuk jabatan tersebut. Hal ini
disebabkan karena anak selir, dari ibu keturunan Cina. Sedangkan yang seharusnya
menduduki tahta kesultanan Banjarmasin menurut adat kebiasaan adalah putra mahkota
raja dari ayah dan ibu keturunan raja (sultan). Tetapi residen tidak memperhatikan latar
belakang demikian, karena ia beranggapan adalah bahwa beberapa sultan yang terakhir
memerintah Kesultanan Banjarmasin antara lain, Sultan Sulaiman, Sultan Adam, dan
Sultan Muda Abdurrahman adalah anak-anak Nyai,21 dukungan itu terjadi, karena
Pangeran Tamjidilah memberi jaminan kepada Van Hengst bahwa bila ia diangkat
sebagai putra mahkota, maka dia akan membantu politik Belanda.
Janji ini terbukti dengan surat Tamjidillah kepada gubernur jendral di Batavia
tanggal 6 Maret 1852, yang dilanjutkan bersama-sama dengan surat permohonan dari
Residen Van Hengst. Isinya mengusulkan agar gubenrur jendral mengangkat Pangeran
Tamjidillah sebagai putra mahkota merangkap pejabat mangkubumi, hingga pangeran
lainnya terpilih untuk jabatan mangkubumi. Di samping itu antara lain Tamjidillah
menulis, bahwa ia akan menyerahkan daerah-daerah yang ada tambang batu baranya
kepada Belanda, dan membantu politik Belanda.22 Belanda melalui Residen Van Hengst
menerima permohonan Pangeran Tamjidillah tersebut, dan menyetujui usul Residen
Van Hengst.
Residen menjumpai Sultan Adam di Martapura23 untuk menyampaikan
persetujuan dari gubernur jendral, dan memanggil Hidayatullah untuk menghadap.
19 Verslag Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O
1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar,
1953), h. 35.
20Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh
Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35.
21 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh
Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35.
22 Missive residen Bandjermasin van 15 April 1852, l s II geheim. In beskuit 10 Juni l c I, Arsip
Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; Lihat juga E.B.
Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E. J. Brill, 1892), h. 17.
23 Di Martapura terdapat salah satu kesultanan Banjarmasin, yang lainnya terletak di Banjarmasin. Sejak
Sultan Muda Abdurahman masih hidup Sultan Adam berdiam di Martapura , sedangkan istana
248
Tetapi Pangeran Hidayatullah menolak panggilan tersebut, kemudian residen marah,
dan ia menulis surat kepada gubernur jendral di Batavia tertanggal 4 September 1852,
agar Hidayatullah diusir dari Karang Intan. Di Banjarmasin residen menyerahkan
penguasaan Kesultanan Banjaramasin kepada Pangeran Tamjidillah.24
Pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan pejabat
mangkubumi mendapat reaksi dari kalangan masyarakat baik dari kalangan istana,
maupun dari kaum agama dan rakyat.25 Dari kalangan istana yaitu, oleh Sultan Adam
dan Dewan Mahkota, yang menganggap Pangeran Tamjidillah sebagai musuh dalam
selimut, karena ia memihak Belanda. Sultan Adam menghendaki Pangeran Hidayatullah
sebagai putra mahkota sesuai dengan janjinya terhadap ayahnya (Sultan Sulaiman) dan
terhadap besannya (ayah dari Ratu Siti). Di samping itu reaksi dari Prabu Anom dengan
dukungan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, yang juga memperebutkan jabatan putra
mahkota tersebut. 26
Kemudian Sultan Adam dan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari kirim surat
protes kepada gubernur jendral di Batavia atas pengangkatan tersebut. Selain itu juga
eks residen Banjarmasin, Gallois, yang pada waktu itu menjabat residen di Rembang
(Jawa), ia banyak mengetahui tentang Pangeran Hidayatullah. Maka ia protes kepada
gubernur jendral di Batavia, bahwa Pangeran Pangeran Hidayatullah berhak atas jabatan
tersebut, karena tak pernah mengecewakan Belanda, dan dicintai rakyat, sehingga ia
banyak pengikutnya. Juga anjuran administrator tambang batu bara di Pengaron, W. van
Os, yang mendapat pertolongan dari Pangeran Hidayatullah dan telah mengetahui
keadaan diri Pangeran Hidayatullah dari dekat. Ia melaporkan tentang Hidayatullah ke
Batavia dan mengemukakan keadaan yang sebenarnya tentang Pangeran Hidayatullah.27
Berdasarkan laporan-laporan ini Van Hengst kurang teliti dalam menanggapi
masalah yang terjadi di kesultanan. Ia berpihak berat sebelah condong kepada Pangeran
Tamjidillah karena janji-janji Tamjidillah, yang ambisi akan kekuasaan. Di samping itu
pribadi Van Hengst lemah, cepat terpengaruh, sehingga Belanda merasa keliru
mengirimnya sebagai residen Banjarmasin. Maka pada awal Desember 1852, Raad van
Nederlandsch Indië memecat Van Hengst sebagai residen Banjarmasin, yang
digantikan oleh A. Van der Ven, yang pada waktu itu sedang menjabat asisten residen di
Sumedang (Jawa).28 Tetapi peranan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan
pejabat mengkubumi tetap berlangsung, walaupun Belanda telah mengetahui, bahwa ia
kurang berhasil dalam mengatur kesultanan.
Dengan pengangkatan Tamjidillah sebagai putra mahkota pada tahun 1853,
berdasarkan surat keputusan 10 Juni 1852 l c¹, ia tetap berdiam di Banjarmasin,
Banjarmasin dikelola oleh Sultan Muda Abdurahman. Setelah kematian Sultan Muda Abdurahman,
istana Banjarmasin dikelola oleh Tamjidillah , baik sebagai mangkubumi maupun sampai ia menjadi
sultan Banjarmasin yang terakhir.
24Missive 4 September 1852 l s II geheim in besluit 14 Januari 1853 No. 3. Arsip Nasional Republik
Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140;
25Surat Sultan Adam tahun 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O
1850 No. 140;
26 E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 10.
27 Verslag van Gallois van 1847, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O
1850 No. 140; Lihat juga Kementrian Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, 1953, hal
370.
28 Missive Raad van Nederlandsch Indië van 17 Desember, 30 Desember 1852. Arsip Nasional Republik
Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
249
sedangkan Sultan Adam yang sudah agak tua (sekitar 84 tahun) tetap menetap di istana
Martapura bersama-sama dengan istri-istrinya. Di Martapura yang berpengaruh adalah
Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, yang memegang stempel kesultanan. Sultan Adam
karena pribadinya lemah tak banyak berbuat atas tindakan permaisuri tersebut. Ia tak
ingin melepaskan penguasaan istana Martapura kepada Tamjidillah, dan tak rela tunduk
kepada Sultan Muda Tamjidillah.29
Sementara itu Sultan Muda Tamjidillah sebagai putra mahkota tidak bisa berbuat
apa-apa, sewaktu Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari dan pengikutnya merampas atas
hak Sultan Muda Tamjidillah dalam memungut 1/10 dari hasil padi di daerah sisi kanan
Sungai Barito ( di Alalah dan sekitarnya), dengan menggunakan stempel kesultanan
yang dikuasai oleh Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari. Selain itu juga Permaisuri Nyai
Ratu Kamala Sari merampas tanah warisan Tamjidillah, tanah kepunyaan almarhum
ayahnya. Tamjidillah hanya melapor semua ini kepada residen.30
Demikian gencarnya Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari memusuhi Tamjidillah,
sehingga ia tak berani datang ke istana Martapura. Di samping itu ia khawatir akan
diracun oleh Prabu Anom dan serangan rakyat, yang tak suka padanya. Sedangkan
menurut perjanjiaan antara Sultan Adam dengan Gubernur Jendral Weddik, yang
diwakili oleh penguasa tinggi di Zuider-en 0oster afdeeling van Borneo, Martinus
Henricus Halewijn, antara lain, siapa pun yang menjadi mangkubumi harus berdiam 6
bulan di Banjarmasin dan 6 bulan di Martapura dan harus menghadir pesta-pesta besar
(antara lain, maulid Nabi). Yang dihadiri oleh pembesar-pembesar kesultanan, ketua
agama, dan rakyat, juga jika bepergian harus diwakilkan pada wakilnya. Hal ini tak
dijalankan oleh Tamjidillah, dia hanya menetap di Banjarmasin di bawah perlindungan
residen. Akibat kesultanan dalam keadaan resah, kemudian sultan berulang kali dalam
suratnya, agar gubernur jendral mengembalikan keadaan seperti semula, yaitu, dengan
mencabut kembali keputusan yang telah dikeluarkan, dan mengangkat Hidayatullah
sebagai putra mahkota serta Prabu Anom sebagai mangkubumi.31 Tetapi jawaban
gubernur jendral adalah, bahwa apa yang telah diputuskan dengan keputusan 10 Juni
1852 l c¹, yaitu tentang Tamjidilah sebagai putra mahkota dan pejabat mengkubumi
adalah tak dapat ditarik kembali, karena sudah merupakan politik Belanda.32
Keresahan dalam kesultanan tersebut menjalar keluar kesultanan, karena
Belanda tetap bertahan meneruskan pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putra
mahkota dan pejabat mangkubumi, walaupun ini nyata-nyata bertentangan dengan
kebiasaan, Dewan Mahkota dan rakyat. Juga karena kepercayaan dan rasa hormat
terhadap Belanda hilang akibat segala usul dan tindakan Sultan Adam tak dihiraukan.
Bahkan utusan kesultanan ke Batavia membawa surat-surat dari segala kalangan
29 Arsip Nasional Repulik Indonesia, Missive Raad van Nederlandsch Indië van 17 Desember, 30
Desember 1852. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
30Maandrapport Residen Zuid-en 0oster afdeeling van Borneo/bulan September 1853, Arsip Nasional
Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
31 Surat Sultan Adam tanggal 16 April 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note,
Borneo Z & O 1850 No. 140; 4 surat Sultan Adam yang terdiri darii 2 surat dari Sultan Adam dan 2
surat lainnya dari berbagai pembesar kesultanan yang ditujukan kepada Sultan Adam. Surat-surat ini,
kemudian dibawa oleh 3 orang utusan ke Batavia, yang berangkat tanggal 28 April dari Banjarmasin
dan tiba di Batavia tanggal 18 Mei 1853. Para utusan tersebut adalah, 1. Muhammad Amin (disebut
juga Gusti Bagus yang diangkat anak oleh Ratu Keramat, cucu Sultan Adam
32E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 40.
250
masyarakat untuk mencalonkan Hidayatullah sebagai putra mahkota ditolak Belanda.
Hal ini menyebabkan rakyat semakin marah kepada Belanda.33
Di samping itu pihak penguasa kesultanan di Benua Lima (yaitu, Negara,
Alabiu, Sungai Benar, Amuntai, Kalua), merupakan daerah pertanian sebagai sumber
beras yang utama bagi Kesultanan Banjarmasin. Diperintah oleh Kiai Adipati Danuraja,
adalah kemenakan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari. Ia bergelar Kiai Tumenggung,
bersama-sama ayahnya, Pembekal Karim diserahi tugas mengatur pemerintahan di
Benua Lima. Tetapi mereka tak disenangi rakyat, karena kesewenangan mereka antara
lain, Danuraja pernah melepaskan berpuluh sapinya di ladang para petani, sehingga
tanaman mereka rusak, hal mana membawa penderitaan bagi petani. Di samping itu
juga Kiai Adipati Danuraja menaikkan pajak kepala, pajak tanah, dan pajak hasil panen
menjadi 2 kali lipat, mengorganisir perampokan lada dan budak untuk dibawa ke Pasir
(daerah Tanah Bambu). Meskipun rakyat menderita mereka tak ada yang berani
melaporkan kepada sultan dan residen, hanya ada seorang saja yang berani melawan
Kiai tersebut, yaitu Jalil (sepupunya), yang adalah pengikut Pangeran Tamjidillah. Ia
menjabat sebagai kepala Batang Balangan.34
Jalil mengajukan permohonan kepada residen di Banjarmasin untuk pindah dari
Benua Lima ke daerah kekuasaan Belanda bersama lebih kurang 150 0rang, di samping
itu ia pun mengadukan tindakan Kiai Adipati Danuraja terhadap rakyat yang membuat
rakyat menderita. Namun permohonan dan pengaduannya tak ada hasil, karena ditolak
oleh residen. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1854. Ia tidak melapor kepada sultan,
karena ia merasa sia-sia, disebabkan adanya ikatan kekeluargaan dari Kiai Adipati
Danuraja dengan Permaisuri Nyai Ratu Sari. Akibat keluhan dan penderitaan rakyat tak
dihiraukan oleh residen, apalagi oleh sultan, maka Jalil sangat dendam terhadap Kiai
Adipati Danuraja. Dendam tersebut lebih mendalam, karena ayahnya dihukum mati oleh
Kiai tersebut.35
Keresahan ini terjadi karena tak ada kerja sama antara Sultan Adam dan Pejabat
Mangkubumi Tamjidillah. Hal ini menyebabkan daerah-daerah kesultanan antara lain,
Benua Lima kurang pengawasan dari pusat, sehingga para penguasa di sana seenaknya
menaikkan pajak-pajak. Akibatnya daerah ini berdiri sendiri lepas dari kesultanan.
Karena Tamjidillah sebagai pejabat mangkubumi tak dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, maka residen Banjarmasin A. Van der Ven mengusulkan kepada
gubernur jendral pada tahun 1854, agar Hidayatullah menduduki jabatan mangkubumi
tersebut. Alasan A. Van der Ven adalah, bahwa ia melihat hubungan yang akrab antara
Sultan Adam dan Hidayatulah, dan juga ia melihat pribadi Hidayatullah yang berbudi
bahasa luhur, di mana mereka bertempat tinggal di Martapura. Untuk mendatangkan
ketenangan dan keamanan dalam kesultanan diperlukan kerja sama yang baik antara
sultan dan mangkubumi. Usul Residen A. Van der Ven ini bertentangan dengan
kehendak Sultan Adam, yang menginginkan Hidayatullah sebagai putra mahkota.
Walaupun Sultan Adam telah menjelaskan para residen dengan surat tanggal 8 Juli
1854, bahwa ia telah menulis surat pada gubernur jendral agar Hidayatulah menjadi
33E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892),, h. 40.
34Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2., Lihat juga W.A. Van Rees, De
Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 33-34.
35Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2., Lihat juga W.A. Van Rees, De
Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 33-36.
251
putra mahkota. Jika tidak demikian kesultanan akan mengalami kehancuran.36 A. Van
der Ven bersifat lebih netral, tidak memihak dan lebih tanggap dalam melihat situasi
yang ada di lingkungannya.
Residen menganjurkan agar masalah pertentangan ini diselesaikan dengan baik,
dan ia berusaha untuk mendamaikan perselisihan, sehingga kesultanan dapat tenang
kembali. Usaha untuk menyatukan dari residen A. Van der Ven dengan mengangkat
Hidayatullah sebagai mangkubumi kesultanan ditolak oleh Belanda. Juga usul Sultan
Adam pada gubernur jendral melalui residen pada tahun 1854, agar Prabu Anom
diangkat menjadi mangkubumi kesultanan tetap ditolak. Sultan Adam memberi usulan
tersebut, karena desakan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari.37
Di Martapura, Sultan Adam tak dapat mengelak desakan Permaisuri Nyai Ratu
Kamala Sari, agar ia mengangkat Prabu Anom sebagai putra mahkota. Maka Sultan
Adam pada bulan Juni 1855 tanpa memberitahukan kepada residen, ia melantik Prabu
Anom sebagai putra mahkota di mesjid Martapura.38
Reaksi Residen Banjarmasin A. Van der Ven atas tindakan Sultan Adam
tersebut, ia sangat terpukul setelah mengetahui bahwa Prabu Anom telah diangkat oleh
Sultan Adam sebagai putra mahkota. Residen meminta penjelasan pada sultan atas
pengangkatan tersebut, yang tanpa seiizinnya. Tetapi jawaban Sultan Adam adalah,
bahwa pengangkatan putra mahkota adalah hak sultan.39 Keterangan Sultan Adam yang
demikian ini membuat residen marah dan mengambil tindakan agar Prabu Anom
diasingkan, tetapi tindakan ini tak disetujui oleh gubernur jendral di Batavia, bahkan
tanggal 29 Novenber 1855 A. Van der Ven dipindahkan ke Palembang (Sumatra)
sebagai residen di sana. Jabatan residen untuk sementara dipegang oleh sekretaris
residen yaitu, R. Wijnen.40
Prabu Anom bertindak sebagai putra mahkota pada perayaan maulid Nabi di
Martapura. Perayaan ini dihadiri oleh para menteri, kaum ulama, dan rakyat, mereka
yang hadir ini diharuskan menghormatinya sebagai putra mahkota. Selain itu tindakan
lebih lanjut dari Prabu Anom adalah, karena ia merasa berkuasa, maka ia menggunakan
stempel kesultanan yang dikuasai Permasuri Nyai Ratu Kamala Sari. Dia bertindak atas
nama kesultanan memungut pajak kepala di daerah Kalua, yang dikuasai oleh Pembekal
Kamal dan Said atas kepercayaan Hidayatullah, yang merupakan tanah lungguh
Hidayatullah. Prabu Anom mengirim utusan ke Kalua dengan membawa surat yang
telah distempel kesultanan untuk menarik pajak. Oleh pembekal dan rakyat di sana
utusan ini ditolak maka terjadilah perlawanan. Akibatnya Said dibunuh oleh para utusan
Prabu Anom, ia dicap sebagai penghianat melawan pada kesultanan. Juga di daerah
Negara, Prabu Anom menaikkan 2 kali lipat pajak kepala, serta di daerah Benua Lima
lainnya. Bahkan Prabu Anom hendak membunuh ayahnya dengan sebilah keris,
36 Missive 8 Juli 1854 No. 715 geheim (in besluit 19 okober 1854 l s¹ , Arsip Nasional Republik
Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
37Maandrapport over September 1854, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z &
O 1850 No. 140.
38Maandrapport over Januari 1855 Residen Zuid-en Ooster afdeeling van Boreno, Arsip Nasional
Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
39Missive Skretaris Gubernemen 17 Agustus 1855 lT² , Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch
Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
40Missive 12 Januari 1856 No. 30 geheim, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo
Z & O 1850 No. 140.
252
Description:Pengaruh asing selalu ikut campur dalam Kesultanan Banjarmasin, yang
mengalami pertentangan .. dan Dewan Mahkota, yang menganggap Pangeran
Tamjidillah sebagai musuh dalam selimut, karena ia memihak Belanda. Sultan
Adam